Langsung ke konten utama

PANGKAS PAJAK: ihsg menuju 6K, TANDA-TANDANYA seh (3)



KADAR KESERAKAHAN, yang wajar n berimbalhasil RUAAARRRRbiasa
RIBUAN PERSEN PLUS @ warteg ot B gw (2015-2017)

Trumponomics tampaknya akan meliputi strategi perpajakan: CUTS TAX RATE. Kok brani ya, padahal defisit fiskal juga terjadi di amrik. Apa tujuan akhir strategi Tariff Barrier ini? Menurut gw, sesuai dengan ekspektasi 60% pemilih Trump saat Pilpres: PEKERJAAN. Pekerjaan hanya bisa diciptakan jika LAPANGAN KERJA tersedia. Ketersediaan lapangan kerja bisa terjadi jika kondisi ekonomi, industri, n bisnis kondusif n berinsentif bwat pelaku industri, khususnya manufaktur, suatu industri PADAT KARYA. 
 MENJADI MISKIN kok diajak



per tgl 10 Okt 2017: 
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah lembaga pemeringkat mengerek rating emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain fundamental perusahaan, langkah Standard & Poor's (S&P) yang mengganjar peringkat Indonesia ke level investment grade turut mendorong kenaikan peringkat emiten. Pefindo, misalnya, mendongkrak peringkat PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Rating anak usaha PT Barito Pacific Tbk (BRPT) itu naik menjadi idAA- dari sebelumnya idA+. Rating tersebut berlaku untuk TPIA maupun Obligasi I Chandra Asri Tahun 2016. Sedang outlook terhadap peringkat TPIA stabil. BACA JUGA : Rating emiten naik, IHSG bisa tembus 6.100 Fundamental menentukan rating emiten Awal tahun ini, Moody's juga menaikkan rating PT Indika Energy Tbk (INDY) menjadi B2 dengan outlook stabil, dari sebelumnya Caa1. Bahkan, Moody's tengah mengkaji, apakah peringkat INDY bisa naik lagi seiring rencana emiten ini memperbesar porsi kepemilikan saham di PT Kideco Jaya Agung. "Kami menilai, rencana akuisisi saham Kideco akan positif, karena INDY bakal memiliki kontrol terhadap perusahaan batubara terbesar ketiga di Indonesia," ungkap Rachel Chia, Analis Moody's. Dari BUMN, ada PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Fitch Ratings menetapkan kembali peringkat jangka panjang issuer default rating (IDR) dan peringkat nasional jangka panjang untuk WIKA. Fitch menyematkan peringkat jangka panjang IDR WIKA di BB. Sementara peringkat nasional jangka panjang mereka ada di AA(idn). "Ini tak lepas dari sentimen S&P beberapa waktu lalu," ujar David Sutyanto, Analis First Asia Capital. Memang, ada kalanya prospek sebuah emiten sangat menarik. Namun, prospek emiten itu tertutup oleh rating negaranya yang kurang menarik. Sehingga, peringkat yang disematkan untuk emiten tak bisa terpaut jauh dari rating negaranya. Cuma sekarang, Indonesia sudah menjadi salah satu negara yang menarik untuk berinvestasi. Ini turut membuka tabir yang selama ini menutup prospek emiten. Hal senada dikemukakan Nico Omer, Vice President Research and Analysis Valbury Asia Securities. "Ketika ekonomi membaik, fundamental perusahaan secara umum akan mengikutinya," imbuh dia. Tapi penting juga mencermati faktor lain. INDY, misalnya. Nico menilai, upgrade rating emiten ini juga karena industri batubara kembali membaik. Selain rating negara, David menambahkan, fundamental emiten menjadi salah satu penentu naik atau tidaknya peringkat, baik untuk perusahaan maupun obligasi yang mereka rilis. Jika rating yang disematkan adalah untuk obligasi, maka itu menunjukkan kemampuan penerbit surat utang dalam membayar bunga. Sementara rating yang dilekatkan untuk perusahaan, salah satunya memperlihatkan prospek, terutama kekuatan arus kas emiten itu. "Jangan sampai arus kas hanya cukup membayar obligasi existing, tapi tak bisa ekspansi karena terbebani obligasi itu," jelas David. Jadi, rating turut menentukan kelancaran emiten dalam merilis instrumen utang di kemudian hari. Nico juga menilai, kenaikan rating emiten menunjukkan fundamentalnya membaik. Dia pun menyukai WIKA. Penetapan kembali rating perusahaan itu menampakkan kesehatan keuangannya masih solid. Tetapi, prospek ini belum tecermin dari harga saham WIKA yang sempat terkoreksi cukup dalam. Sehingga, Nico merekomendasikan buy on weakness WIKA. Target pertama di Rp 1.925 per saham sedang target kedua di level Rp 2.100 per saham. David menjagokan TPIA. Pasalnya, TPIA mengambil ancang-ancang untuk berakselerasi. Dia merekomendasikan buy TPIA, dengan target Rp 28.500. "Tapi yang paling penting, banyaknya upgrade rating emiten seharusnya bisa menambah kepercayaan diri investor," sebut David. Dengan kenaikan rating itu, banyak investor bakal kembali memburu saham di bursa tanah air. David tetap optimistis, IHSG masih mampu menyentuh level 6.100 di sisa tahun ini.


JAKARTA okezone - Pada perdagangan hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan mencoba break out resistance 5.950 hingga mencoba level fibonacci 161,8% di level 5.980 jika terus optimis. Rentan pergerakan berada di level 5.890-5.940.
Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan, secara teknikal IHSG berhasil ditutup mematahkan level tertinggi tahun ini.
"Indikator stochastic bergerak melanjutkan penguatan menuju level jenuh beli dengan momentum dari indikator RSI yang menguat cukup optimis," ujarnya dalam riset tertulis, Rabu (4/10/2017).
Sementara itu, IHSG ditutup menguat 25,42 poin dilevel 5.939,45 kembali mencatatkan rekor baru. Indeks pertambangan menguat signifikan setelah pemerintah menyerukan penyusunan peraturan IUPK dengan memotong tarif pajak penghasilan penambang batubara CCOW dari 45% menjadi 25%.
Aksi jual investor asing masih terlihat dengan net sell sebesar Rp238,45 miliar. "Pertumbuhan prospek ekonomi di AS menjadi faktor menerusnya capital ouflow yang kian melebar di emerging market," kata dia.
Saham-saham yang masih dapat dicermati antara lain INCO, JSMR, WIKA, WSKT, TINS.
(dni)
💘
JAKARTA okezone - Pasar saham Indonesia akhirya mencetak rekor baru tertinggi sepanjang masa pada penutpan perdagangan hari ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 25 poin atau 0,43% ke 5.939.
IHSG ditutup dengan 167 saham menguat, 165 saham menurun, dan 119 saham tak bergerak. Menutup perdagangan, telah terjadi transaksi sebesar Rp6,09 triliun dari 8,35 miliar lembar saham diperdagangkan.
Indeks LQ45 naik 4,9 poin atau 0,51% ke 977, Jakarta Islamic Index (JII) naik 5 poin atau 0,68% ke 743, indeks IDX30 naik 3 poin atau 0,58% ke 541 dan indeks MNC36 naik 1,68 poin atau 0,5% ke 339.
Sektor tambang naik paling tinggi 1,5% disusul tujuh sektor lainnya. Sementara dua sektor tersisa, perkebunan turun 1,1% dan industri dasar masih mengalami pelemahan.
Adapun saham-saham yang bergerak dalam jajaran top gainers, antara lain saham PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) naik Rp1.025 ke Rp26.075, saham PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN) naik Rp680 ke Rp4.880, dan saham PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (MAPB) naik Rp630 ke Rp3.150.
Sedangkan saham-saham yang berada di deretan top losers, antara lain saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun Rp550 ke Rp17.300, saham PT Roda Vivatex Tbk (RDTX) turun Rp325 ke Rp6.575, dan saham PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) turun Rp250 ke Rp18.450.
(mrt)
💗

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan awal kuartal keempat dengan kenaikan. Senin (2/10), IHSGmenguat 13,18 poin atau 0,22% ke level 5.914,03.
Enam dari 10 sektor menguat. Dua sektor mencatat penguatan tinggi. Kenaikan tertinggi tampak pada sektor barang konsumer 1,45%. Sektor manufaktur menguat 0,97%.
Sektor perdagangan menguat 0,25%. Sektor industri dasar naik 0,22%. Sedangkan sektor perkebunan dan aneka industri naik masing-masing 0,12% dan 0,11%.
Sektor pertambangan memimpin pelemahan 1,65%, disusul sektor konstruksi yang turun 0,59%. Sektor infrastruktur tergerus 0,12%. Sementara sektor keuangan turun tipis 0,04%.
Nilai transaksi bursa mencapai Rp 6,85 triliun dengan volume transaksi 7,30 miliar saham. Sebanyak 144 saham menguat, 183 saham melemah dan 118 saham stagnan.
Pada indeks LQ45, saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) menjadi top gainers dengan kenaikan harga 6,82%. Harga saham PT Global Mediacom Tbk (BMTR) menyusul dengan kenaikan 5,31%. Sedangkan kenaikan harga saham PT PP Tbk (PTPP) mencapai 5,19%.
Pada top losers, harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) anjlok 13,07%. Harga saham PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) pun terkoreksi 3,83% dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) turun 3,81%.
Investor asing mencatat pembelian bersih Rp 38,56 miliar di pasar reguler. Tapi, pemodal asing mencatat total penjualan bersih Rp 1,59 triliun di seluruh pasar. Penjualan bersih terbesar terjadi pada saham PT Summarecon Agung Tbk (SMRA).
Investor asing mencatat penjualan bersih Rp 1,4 triliun pada saham SMRA lewat transaksi tutup sendiri. Asing juga mencatat jual bersih pada saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 131,8 miliar dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) Rp 106,2 miliar.
Pembelian bersih asing masih terjadi pada saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp 74,7 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp 33,5 miliar, dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) Rp 14,2 miliar.
💃

JAKARTA okezone - Pasar saham Indonesia menunjukkan performa positif pada perdagangan hari ini. Hasilnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 13 poin atau 0,22% ke 5.914.
Mengakhiri perdagangan, telah terjadi transaksi sebesar Rp6,83 triliun dari 7,25 miliar lembar saham diperdagangkan. Sore ini, sekira 144 saham menguat, 183 saham melemah, dan 118 saham tidak bergerak.
Indeks LQ45 naik 2,9 atau 0,29% ke 971, Jakarta Islamic Index (JII) naik 2,02 poin atau 0,27% ke 742, indeks IDX30 menguat 1,67 poin atau 0,31% menjadi 530, dan indeks MNC36 naik 0,9 poin atau 0,28% ke 334.
Adapun saham-saham yang bergerak dalam jajaran top gainers, antara lain saham PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD) naik Rp150 ke Rp450, saham PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) naik Rp10 ke Rp77, dan saham PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) naik Rp50 ke Rp3.140.
Sedangkan saham-saham yang berada di deretan top losers, antara lain saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) turun Rp30 ke Rp4.460, saham PT Sitara Propertindo Tbk (TARA) turun Rp5 ke Rp670, dan saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) turun Rp80 ke Rp2.920.
(mrt)

Jakarta - Menutup perdagangan akhir pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cerah. IHSG berhasil balik ke 5.900 setelah tertekan hampir sepanjang pekan ini.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sore ini masih melemah. Dolar AS berada di posisi Rp 13.470 dibandingkan posisi pada perdagangan kemarin sore Rp 13.443.

Pada perdagangan preopening, IHSG naik 14,032 poin (0,24%) ke level 5.855,079. Sedangkan Indeks LQ45 naik 3,544 poin (0,37%) ke level 972,669.

Mengawali perdagangan, Jumat (29/9/2017), IHSG dibuka positif dengan kenaikan 16,371 poin (0,28%) ke level 5.857,418. Indeks LQ45 masih naik sebesar 3,605 poin (0,37%) ke level 972,760.

IHSG masih terus melaju. Hingga pukul 09.05 waktu JATS, IHSG naik 14.823 poin (0,25%) ke level 5.855,870. Sementara Indeks LQ45 menguat 2,925 poin (0,30%) ke level 972,080

Makin siang, IHSG makin perkasa. IHSG naik 48,382 poin (0,83%) ke 5.889,429. Indeks LQ45 menguat 12,085% (1,25%) ke 981,240.

Penguatan masih berlanjut hingga penutupan perdagangan sore ini. IHSG naik 59,807 poin (1,02%) ke 5.900,854. Indeks LQ45 bertambah 10,268 poin (1,06%) ke 979,441.

Posisi tertinggi IHSG terjadi di 5.907,438 dan terendah di 5.851,700. Asing mencatat netsell sebesar Rp 1,13 triliun. Aksi beli investor lokal berhasil menghalau sentimen negatif yang ada dan membuat IHSG melaju makin positif.

Perdagangan hari ini cenderung ramai dengan frekuensi perdagangan sebesar 296.569 kali transaksi sebanyak 7,2 miliar lembar saham senilai Rp 8,1 triliun.

Laju positif IHSG turut ditopang penguatan 9 sektor saham. Saham sektor aneka industri menguat paling signifikan sebesar 2,27%. Sebanyak 193 saham menguat, 131 saham melemah dan 125 saham stagnan.

Dalam beberapa hari yang lalu, sentimen negatif membayangi laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nyaris sepanjang hari.

Pasar saham Wall Street berakhir positif pada perdagangan Kamis waktu setempat. Indeks S&P 500 mencetak rekor tertinggi berkat penguatan saham McDonald's.

Bursa-bursa Asia rata-rata diperdagangkan variatif sore ini. Berikut situasi di bursa regional sore hari ini:
  • Indeks Nikkei 225 turun 6,830 poin (0,03%) ke level 20.356,279.
  • Indeks Hang Seng naik 132,701 poin (0,48%) ke level 27.554,301.
  • Indeks Komposit Shanghai naik 9,300 poin (0,28%) ke level 3.348,940.
  • Indeks Straits Times melemah 7,230 poin (0,22%) ke level 3.219,910.
Saham-saham yang masuk jajaran top gainers dia antaranya adalah Indo Tambangraya (ITMG) naik Rp 800 ke Rp 20.250, United Tractors (UNTR) naik Rp 600 ke Rp 32.000, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) naik Rp 575 ke Rp 15.275, Bank Central Asia (BBCA) naik Rp 475 ke Rp 20.300.

Saham-saham yang jajaran top losers di antaranya adalah Unilever Indonesia (UNVR) turun Rp 225 ke Rp 48.975, Bayan Resources (BYAN) turun Rp 200 ke Rp 6.000, Hexindo Asiperkasa (HEXA) turun Rp 180 ke Rp 3.900 dan Indocement Tunggal (INTP) turun 150 ke Rp 18.900.(dna/mkj)
👭
Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Donald Trump memulai kampanyenya untuk memangkas tarif pajak korporasi dan individu dan mengajukan proposal tersebut sebagai hentakan ekonomi yang akan meningkatkan tenaga kerja di AS.
"Negara dan ekonomi kita tidak dapat lepas landas seperti seharusnya jika kita tidak mengubah kode pajak usang AS yang kompleks," kata Trump pada sebuah pidato di Indiana State Fairgrounds, Rabu (27/9) waktu setempat, seperti dikutip Bloomberg.
Trump juga mengatakan bahwa rencananya akan memberikan potongan pajak terbesar dalam sejarah.
Gedung Putih mengeluarkan rencana tersebut pada hari sebelumnya setelah perundingan selama berbulan-bulan antara pejabat pemerintah dan anggota parlemen teratas di Capitol Hill.
Trump sekarang mengandalkan dukungan populis yang mengangkatnya ke kursi kepresidenan untuk memberikan momentum pada rencana tersebut.
Proposal tersebut akan mengurangi pajak perusahaan menjadi 20%, turun dari maksimum 35% dan menurunkan beban pajak untuk entitas perusahaan langsung, termasuk kemitraan dan perseroan terbatas.
Trump berpendapat bahwa dengan menghilangkan pajak, usaha kecil dan peternakan dapat lebih mudah dipindahkan dalam satu keluarga. Trump juga mengatakan bahwa usulan perubahan pada sistem pajak penghasilan akan membuat warga AS kelas menengah memiliki lebih banyak uang.
Presiden mengatakan bahwa sektor manufaktur yang bangkit kembali di Indiana adalah bukti bagaimana pemotongan pajak dapat menguntungkan keluarga kelas menengah.
Pemotongan pajak dan deregulasi di bawah Mike Pence, mantan gubernur negara bagian Indiana yang sekarang menjadi wakil presiden, memberi negara bagian ersebut keunggulan kompetitif yang kuat.
Pada tahun 2013, tahun di mana Pence menjabat, dia menurunkan pajak penghasilan rata-rata negara bagian dari 3,4% menjadi 3,23%. Tahun berikutnya, negara bagian mengeluarkan undang-undang yang menurunkan tingkat pajak korporasi dari 6,5% menjadi 4,9%.
Sejak Pence menandatangani pemotongan pajak pertama di bulan Mei 2013, pekerjaan pada manufaktur di Indiana telah tumbuh 8,5%, sekitar dua kali rata-rata nasional sebesar 4%, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS.
Namun, keseluruhan tingkat pekerjaan di Indiana tumbuh hanya 7%, sedikit lebih lambat daripada rata-rata nasional sebesar 7,8% pada periode yang sama.
Perombakan pajak merupakan janji utama dalam kampanye kepresidenan Trump. Usulan ini menghadapi perundingan sengit di Kongres antara anggota parlemen yang tidak setuju mengenai elemen penting dari proposal yang diajukan Gedung Putih.

😍

KONTAN.CO.ID - Pasar saham Amerika Serikat di Wall Street ditutup rebound, Rabu (27/9). Dow Jones mengakhiri koreksi yang sudah terjadi empat hari terakhir.
Mengutip CNBC, Indeks Dow Jones naik 56,39 poin atau 0,25% ke level 22.340,71. Lonjakan saham perbankan menyokong indeks.
Kemudian, indeks S&P 500 juga menguat 10,20 poin atau 0,41% ke level 2.507,04, dan Nasdaq naik 73,10 poin atau setara 1,15% ke posisi 6.453,26. 
Investor menyukai rencana pajak yang disusun pemerintah AS. House Freedom Caucus, kelompok anggota parlemen konservatif GOP, mendukung rencana reformasi pajak Trump yang dijabarkan pada Rabu. Rencana tersebut mencakup pajak lebih ringan yaitu hanya 20% bagi perusahaan Amerika yang membawa pulang dana mereka di luar negeri alias repatriasi.
"Seluruh sentimen pasar yang kuat karena ekspektasi terhadap keringanan pajak," kata Peter Cardillo, Kepala ekonom First Standard Financial seperti dilansir CNBC.
Pasar juga optimistis terhadap kenaikan suku bunga The Fed. Selasa, Ketua The Fed Janet Yellen mengatakan bank sentral harus waspada untuk bergerak terlalu lambat. Ia mendorong untuk terus memperketat tingkat suku bunga AS, sekalipun mengakui kemungkinan ada sesuatu yang menahan inflasi lebih rendah dari perkiraan. Rabu, indeks dolar AS diperdagangkan naik 0,37% menjadi 93,35. Ini mendekati level tertinggi sejak 23 Agustus. 


WASHINGTON boston globe— Republican tax negotiators are targeting a corporate tax rate of 20 percent, according to two people familiar with the matter, but there’s at least one potential obstacle: President Trump.

“We’ll see what happens, but I hope it’s going to be 15 percent,” Trump told reporters Sunday as he prepared to return to Washington after a weekend in New Jersey.


The current corporate tax rate is 35 percent.

Meanwhile, the group of administration officials and congressional leaders that’s planning a framework for tax legislation is also expected to recommend cutting the top individual tax rate to 35 percent, down from 39.6 percent, said two people familiar with the matter.

Trump confirmed his administration has hammered out a plan with congressional Republican leaders — but has stopped short of confirming any details. The corporate and individual tax rates will be key portions of that plan, and Trump’s brief remarks raised questions about both.

Trump plans a trip to Indiana Wednesday for a speech on tax issues, a person familiar with the planning said.

Trump and Treasury Secretary Steven Mnuchin have said previously that they didn’t want the tax plan to offer any tax cut to the highest earners — and that they’d balance a rate cut by eliminating deductions the wealthy use to reduce their tax bills. Mnuchin said in November that “there will be no absolute tax cut for the upper class.”


Reminded of that Sunday, Mnuchin said: “It was never a promise and it was never a pledge.” But he said again during an appearance on CNN’s “State of the Union” that the tax plan coming this week will be “getting rid of lots of deductions.”

“The current plan — for many, many people, it will not reduce taxes on the high end,” Mnuchin said. He also said the plan would provide a middle-income tax cut and create jobs.

For the top 1 percent of earners — roughly, those who make more than $465,600 a year — it would be “challenging” to close enough loopholes to offset the tax cut offered by the proposals under discussion, said Kyle Pomerleau, director of federal projects for the Tax Foundation, a Washington policy group.

That’s partly because lawmakers are also discussing a tax cut for “pass-through” businesses: those which don’t pay taxes themselves, but pass their earnings to owners, who then pay tax at their individual rates. Setting a lower tax rate for such businesses, which can be quite large and profitable, “is a significant tax cut for the top 1 percent,” Pomerleau said.

Mnuchin on Sunday didn’t mention specific tax rates for individuals, corporations, or pass-throughs. Nor did Marc Short, White House legislative affairs director, on “Fox News Sunday.” “The president will have to sign off on that and he’ll make his announcement on Wednesday,” Short said.

Senate minority leader Chuck Schumer, who has said Democrats want to prevent tax legislation from benefiting the top 1 percent, went on the offensive Sunday.

“If Republicans push a tax bill to please their hard-right wealthy contributors, instead of working from the middle, they will have the same trouble with taxes that they’re having with health care,” he said in an e-mail.

Trump said Friday night, during a campaign rally in Huntsville, Ala., that a tax plan would be released this week, and summarized it as “massive tax cuts.”

The effect of such cuts on the $20 trillion federal debt remains to be seen. Last week, a pair of key Republican senators reached an agreement on the framework for a 2018 budget resolution that’s expected to allow for a tax cut of $1.5 trillion over 10 years that would add to the deficit — before accounting for any growth or other economic effects of the cuts.

Though proponents say tax cuts would boost growth enough to make up for the shortfall, a budget that allows for deficit-increasing tax cuts would depart from years of Republican support for balanced budgets.

Short said Sunday that Trump’s administration “continues to be committed to making sure we’re being fiscally responsible.” While there may be a short-term decrease in revenue, he said, tax cuts would “provide growth that we think will bring in more revenue in the long term.”

The Washington Post reported that Republicans were “targeting” a corporate rate of 20 percent, citing three unnamed people. But the plan remains fluid, those people told the paper.


👃
Menembus indeks 6.000 bukan hal sulit. Dengan tren penurunan suku bunga dan kondisi ekonomi makro yang semakin stabil, indeks akan bergerak naik dalam waktu dekat. Aksi penjualan saham oleh asing akan segera berakhir. Menjelang akhir tahun, saham-saham yang undervalued akan rebound atau kembali terangkat.

Ujung tahun 2017 masih tiga bulan satu pekan. Dalam rentang waktu ini berbagai hal tak terduga bisa saja terjadi. Namun, melihat kondisi fundamental emiten dan ekonomi makro Indonesia, tak ada alasan bagi pemodal untuk terus melakukan aksi jual. Emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) umumnya menampilkan kinerja keuangan yang bagus.

Sebagian besar mencetak kenaikan laba signifikan, bahkan ada yang di atas 30% pada semester pertama 2017. Namun, mengkilapnya kinerja fundamental tidak sebanding dengan kinerja teknikalnya. Di lantai bursa, harga sahamnya anjlok hingga di atas 35% selama Januari hingga September 2017.

Kondisi ekonomi makro sudah membaik. Kurs rupiah relatif stabil di level Rp 13.300 per dolar AS. Surplus neraca perdagangan yang terus meningkat dan neraca modal yang membaik memperkecil defisit neraca transaksi berjalan. Cadangan devisa sudah menembus US$ 128 miliar.

Dengan kondisi ekonomi makro yang relatif stabil, suku bunga bisa terus diturunkan. Bank sentral pekan lalu memangkas lagi 25 basis poin BI 7-days repo rate ke level 4,25%. Kebijakan ini mendorong perbankan memastikan bunga deposito ke level 6% dan bunga tabungan di bawah 3%.

Indonesia kini memasuki rezim bunga rendah. Dengan tingkat bunga simpanan yang sudah jauh menurun, perbankan berani menyalurkan pinjaman dengan bunga single digit. Perbankan masih tetap menikmati net interest margin (NIM) yang tebal, 5-8%.

Membaiknya kondisi ekonomi makro mestinya mendongkrak indeks harga saham gabungan (IHSG). Sebagai leading indicator, indeks biasanya sudah bergerak naik sebelum terjadinya perbaikan kondisi ekonomi makro. Tapi, sudah lebih dari lima bulan, indeks hanya bergerak di kisaran 5.800-5.900.

Pada perdagangan di BEI, Jumat (22/9), IHSG naik 5,13 poin ke level 5.911,708. Sedang year to date, IHSG hanya naik tipis 11,61%. Lambannya pergerakan harga saham disebabkan juga oleh sikap asing yang lebih banyak menjual dibanding membeli. Lebih dari 60% transaksi saham di BEI terjadi atas order asing.

Asing yang pada semester pertama 2017 mencatat net buying, memasuki semester kedua lebih banyak melepaskan sahamnya hingga net selling mencapai Rp 8,3 triliun. Sejak 2012, posisi net selling dan net buying asing terjadi selangseling.

Setelah net buying Rp 15,9 triliun tahun 2012, pada tahun 2013 terjadi net selling Rp 20,6 triliun. Kembali net buying Rp 42,6 triliun tahun 2014, pada tahun 2015 terjadi lagi net selling Rp 22,6 triliun. Pada tahun 2016, net buying asing mencapai Rp 16,2 triliun.

Tekanan jual asing banyak dialami saham-saham berkinerja dan berprospek bagus seperti saham-saham sektor infrastruktur dan properti. Harga saham-saham ini jauh di bawah fair value. Dalam dua tahun terakhir, termasuk semester pertama 2017, emitenemiten ini mencetak kenaikan laba fantastik.

Apa gerangan yang terjadi dengan saham-saham ini? Dari pernyataan para analis kita mengetahui bahwa para investor asing khawatir akan masa depan perusahaan infrastruktur, khususnya emiten BUMN. Mereka khawatir, pemerintah tidak komit untuk mengembalikan dana talangan BUMN infrastruktur.

Kekhawatiran itu sama sekali tidak berdasar. Pemerintah memiliki komitmen yang sangat kuat, setidaknya untuk dua hal. Pertama, komitmen untuk membangun infrastruktur. Kedua, komitmen yang kuat untuk menarik investasi, langsung maupun investasi portofolio. Pemerintah takkan melakukan berbagai hal yang membuat pemodal hengkang.

Posisi net selling asing di BEI, kita yakin, lebih merupakan strategi investasi. Sekadar profit taking. Dana asing belum mengalir keluar, melainkan dialihkan ke surat utang negara (SUN). Asing memanfaatkan yield SUN bertenor 5-20 tahun yang berkisar 6-7,2%. Dana asing masih di Indonesia. Sejak awal tahun, capital inflow sebesar US$ 9,2 miliar.

Dari berbagai faktor, dalam dan luar negeri, IHSG tahun ini bakal menembus level 6.000 dan tahun depan bergerak menuju 7.000. (*)  

👱
investing.com: By David Morgan
WASHINGTON (Reuters) - U.S. President Donald Trump and top Republicans in Congress are about to show how aggressively they intend to cut the corporate tax rate, while trying to avoid the appearance of favoring the wealthy.
The "Big Six" team of Republican tax policy makers is expected to release a plan on Wednesday targeting tax cuts for businesses, but offering few clues about how to replace reduced federal revenues, said lobbyists and congressional sources.
Under pressure from corporate America, the team is expected to call for a corporate income tax target rate possibly within a range of 18-23 percent, down from the current rate of 35 percent.
But the Big Six, which includes top Trump aides and congressional Republican leaders, is expected to refrain from cutting the top individual tax rate of 39.6 percent, in a risky step that many Republicans in the House of Representatives could find hard to swallow.
"They're not going to cut the highest income tax rate. They're not," predicted Stephen Moore, a fellow at the conservative Heritage Foundation think tank. Moore helped write Trump's campaign tax plan.
Overhauling the tax code was a key pledge for Trump in his 2016 presidential campaign. But after eight months in office, he has made only limited progress. Washington has achieved no major tax overhaul since 1986.
Trump portrays lower corporate taxes as a boon to workers, saying they would lead to more jobs and higher salaries. A rate cut on corporate profits could also be used to benefit shareholders and to offer up more executive bonuses, however.
"The details leaking out of the Big Six meetings paint a clear picture of an unprecedented tax giveaway for the most fortunate and biggest corporations," Senator Ron Wyden, top Democrat on the Senate Finance Committee, said this week.
The Big Six -- Treasury Secretary Steven Mnuchin, Trump economic adviser Gary Cohn, Senate Republican leader Mitch McConnell, House of Representatives Speaker Paul Ryan and two tax committee chairmen -- have been working on their plan for months. 
But they are still undecided on key issues, including whether to let businesses write off new investments immediately; how to lower tax rates for small businesses; and whether to cut middle-class taxes simply by doubling the standard deduction for individuals and families, according to lobbyists.
Resolving such issues will help determine how aggressively Republicans can cut corporate taxes.
Lobbyists said they do not expect the Big Six to offer many details about the tax loopholes and deductions that could be eliminated to help pay for tax cuts.
"Our expectation is that it will be a bold transformative tax reform. That would mean a dramatic corporate rate cut, an aggressive stripping out of set-asides and special interest carve-outs and simplification," said Tim Phillips, president of Americans for Prosperity, a political group backed by billionaire conservatives Charles and David Koch.
White House spokeswoman Natalie Strom declined to comment on the blueprint. "We have always said that tax reform will include lowering rates, closing loopholes and broadening the base by ending special interest tax breaks. Those priorities will be reflected in the plan," she said. 
The Big Six will likely address the estimated $2.6 trillion in U.S. corporate profits held overseas by requiring companies to bring the money home at rates of 3.5 percent for reinvested profits and 8.75 percent for on cash and equivalents, lobbyists said. 
To offset lost revenue, the Trump administration plans to forecast a flood of new tax revenue in coming years, based on aggressive assumptions of tax-fueled economic expansion.
But Senate Republicans have shown signs of moving away from such "dynamic" scoring of any tax legislation impact. 
Two senators, including a prominent fiscal hawk, agreed this week to a "static" score that could allow tax reform to lose up to $1.5 trillion over the next decade. Senate Republicans also are likely to avoid budget baseline changes to generate savings for tax reform on paper.
That could well mean the Big Six plan would balloon the federal budget deficit.
"Without those, the price goes up. There's no other way to look at it," said John Gimigliano, a former House Ways and Means Committee tax counsel who leads federal legislative and regulatory services at KPMG LLP.


Bisnis.com, JAKARTA – Indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Jumat (22/9/2017),
IHSG turun 0,03% atau 1,90 poin ke level 5.904,67 di akhir sesi I, setelah dibuka dengan pelemahan tipis 0,02% atau 1,35 poin di level 5.905,22
Sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak di kisaran 5.883,57 - 5.911,03. Adapun pada perdagangan Rabu (20/9), IHSG ditutup menguat 0,09% atau 5,25 poin di level 5.906,57.
Kresna Sekuritas memperkirakan IHSG pada perdagangan bursa saham hari ini bergerak di rentang 5.890-5.920.
IHSG masih terus berlanjut dalam sideways market 5.730-5.900, menjelang hari libur tahun baru Islam.
“Kami memperkirakan IHSG masih berkonsolidasi di area resisten di tengah minimnya katalis penggerak pasar,” ungkap tim riset Kresna Sekuritas dalam riset mereka, Jumat (22/9/2017).
Sementara itu, nilai tukar rupiah terpantau menguat 5 poin atau 0,04% ke level Rp13.334 per dolar AS pada pukul 11.48 WIB.
Di pasar regional, indeks FTSE Straits Time Singapura siang ini terpantau melemah 0,02%, indeks FTSE Malay KLCI turun 0,14%, indeks SE Thailand melemah 0,60%, sedangkan indeks PSEi Filipina turun 0,1%.
Mayoritas bursa Asia lainnya juga melemah, dengan indeks Topix terpantau turun 0,36% setelah yen menguat menyusul kembali meningkatnya ketegangan di semenanjung Korea.
Berdasarkan laporan kantor berita Koreal Selatan yang dikutip CNBC, Ri mengatakan bahwa kemungkinan pengujian "ledakan bom H yang paling kuat" akan menjadi tindakan "tingkat tertinggi" yang mungkin dilakukan terhadap AS.
Ri menambahkan bahwa dia tidak tahu tindakan apa yang akan diperintahkan oleh Kim Jong-un. Ancaman Ri sangat penting karena uji coba itu akan memindahkan kegiatan senjata nuklir Korea Utara di luar perbatasannya untuk pertama kalinya. 
Bisnis.com, JAKARTA - IHSG pada perdagangan bursa saham hari ini, Jumat 22 September 2017 diperkirakan bergerak di rentang 5813 – 5927.
William Surya Wijaya, Analis Indosurya Sekuritas menjelaskan pola gerak IHSG di tengah capital outflow menunjukkan berada dalam rentang konsolidaasi wajar.
Capital outflow yang terjadi tidak menggerus perjuangan naik IHSG sejak awal tahun. Tentunya hal ini ditopang oleh perekonomian kita yang stabil.
Pengaruh harga komoditas yang masih bergejolak serta nilai tukar rupiah terhadap USD masih akan mewarnai pergerakan IHSG saat ini.
Rilis data perekonomian BI Rate yang dilansir hari ini dan disinyalir belum akan ada perubahan juga akan turut mewarnai pola gerak IHSG.
IHSG hari ini berpotensi bergerak dalam zona positif.
Menu saham pilihan hari ini:
- ASII
- ASRI
- PWON
- SMRA
- WTON
- LSIP
- ICBP
- INDF
- JSMR
👂
KONTAN.CO.ID - Ingin mendapat hasil optimal dari pasar saham? Cobalah melakukan akumulasi beli bulan ini. Menurut riset Sucorinvest Asset Management, September adalah waktu yang tepat untuk kembali masuk saham. Investor bisa mendapat hasil optimal bila masuk di September dan keluar di April.
Sucorinvest mencatat, sejak tahun 2000, bila dihitung sejak akhir September hingga akhir Juni, IHSG selalu menguat. Jadi, jika investor membeli saham di September dan menjualnya kembali di kisaran bulan April, imbal hasil rata-rata yang dikantongi bisa mencapai 16%.
Jemmy Paul Wawointana, Plt CEO & Direktur Investasi Sucorinvest Asset Management, mengatakan, dalam 17 tahun terakhir, hanya di tahun 2014-2015 IHSG bergerak melemah di September-April. "Tahun lainnya, return yang diperoleh bisa mencapai belasan hingga puluhan persen," ujar dia, Senin (19/9).
Bahkan, periode 2004-2005, return dari pemanfaatan strategi ini mencapai Rp 36,85% (lihat infografik).
Dilihat dari sejarahnya, wajar jika September jadi waktu yang tepat untuk mengoleksi saham. "Di September, IHSG sering terkoreksi karena minimnya sentimen," ujar Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee, Selasa (19/9).
Meski begitu, pembelian saham harus tetap dilakukan dengan selektif. Analis OSO Sekuritas Riska Afriani mengatakan, salah satu cara memilih saham yang tepat yakni dengan mengamati saham-saham yang sudah tertekan cukup berat di tahun sebelumnya. "Karena lazimnya, sektor yang sudah tertekan itu akan jadi idaman investor di tahun berikutnya," kata Riska.
Salah satu contohnya ialah sektor properti dan konstruksi yang sudah tertekan 1,98% sepanjang tahun ini. Penurunan suku bunga tahun ini akan menjadi stimulus bagi sektor properti dan konstruksi untuk menguat di tahun depan. Ia pun merekomendasikan saham BSDE, WIKA, PTPP, PWON, CTRA dan SMRA sebagai pilihan investasi.
Saham sektor industri dasar, seperti BRPT, SMGR dan TPIA juga menarik dicermati. Selain itu, saham tambang seperti ADRO, ANTM, TINS dan ITMG juga bisa menjadi pilihan. "Saham-saham ini akan terdorong kenaikan harga komoditas," tutur Riska.
Hans juga menyarankan untuk tetap memperhatikan valuasi harga dan kinerja fundamental emiten. Saat ini, ia merekomendasikan saham konstruksi, seperti WIKA, WSKT dan PTPP. Hans melihat harga saham sektor konstruksi BUMN sudah murah dan berpotensi rebound.
Hans juga merekomendasikan WTON, SMRA dan LPKR untuk investasi bulan ini. Hans juga masih menyukai saham PTBA yang diprediksi punya prospek kinerja ciamik hingga akhir tahun 2017.
👄

JAKARTA – Pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) masih diyakini bisa menembus level 6.000 sebelum akhir 2017. Penguatan bakal ditopang oleh aspek fundamental, antara lain kenaikan kinerja emiten termasuk di sektor konstruksi, serta kreativitas pemerintah terkait belanja negara.

Pada perdagangan pekan lalu, IHSG ditutup pada level 5.872,39 atau menguat 20,39 poin (0,34%). Mayoritas indeks sektoral menguat, kecuali indeks sektor agrikultur, pertambangan, aneka industri, dan barang konsumsi.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), nilai transaksi perdagangan menunjukkan angka normal, yaitu sebesar Rp 8,12 triliun. Namun, investor asing membukukan transaksi jual bersih (net sell) di semua pasar sebesar Rp 682,1 miliar.

Direktur PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee masih optimistis investor asing kembali mencetak transaksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 6-8 triliun pada akhir tahun ini, dibandingkan saat ini yang mencatat transaksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 7,69 triliun (year to date/ytd).

Dia juga yakin IHSG bisa menembus level 6.000 sebelum tutup tahun. Penguatan itu akan didukung oleh kenaikan laba bersih emiten pada kuartal III dan IV, sehingga dapat meningkatkan laba per saham (earning per share/ EPS) dan menurunkan valuasi harga saham earning ratio (PER) emiten Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah naik menjadi 20,21 kali, seiring dengan keputusan Standard and Poor’s (S&P) yang menaikkan peringkat surat utang luar negeri Indonesia menjadi investment grade.

Selain itu, pemerintah sebaiknya membeli obligasi zero coupon Amerika Serikat (AS), yang nantinya bisa digunakan sebagai jaminan saat Negara ini menerbitkan surat utang. Pasalnya, kondisi penerimaan pajak yang masih berat dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

“Selama ini, pemerintah sudah mulai menerbitkan obligasi global, tapi alangkah lebih baik kalau mulai mencoba menerbitkan surat utang dengan pola struktur,” kata Hans kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu. (jm)

👄
Bisnis.com, JAKARTA - IHSG pada perdagangan bursa saham hari ini, Rabu 20 September 2017 diperkirakan bergerak kembali mixed menguat terbatas menguji level tertinggi tahun ini dengan rentang pergerakan 5869-5916.
Analis Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi menjelaskan mayoritas indeks saham di Asia ditutup mixed dengan Indeks saham Nikkei (+1.96%) dan Topix (+1.77%) memimpin penguatan sejak awal sesi perdagangan sedangkan Indeks Hang Seng (-0.38%) dan Shanghai (-0.29%) memimpin pelemahan. BOJ belum mengungkap kapan akan melepas stimulus saat peninjauan kebijakan pada pekan ini.
IHSG (+0.28%) ditutup menguat 16.72 poin dilevel 5901.33 dengan indeks sektor pertambangan (+1.31%), Property (1.03%) dan Trading (1.01%) menguat diatas 1%.
Harga komoditas yang kembali bergairah sejak awal sesi perdagangan menggiring saham-saham pertambangan menuju penguatan.
Meskipun demikian IHSG masih tertahan pada aksi jual investor asing yang tercatat dilevel 229.81 Miliar rupiah. Dimana saham-saham bank seperti BBRI, BMRI dan BBCA menjadi yang terbanyak terjadi net sell investor asing pada perdagangan kali ini.
Bursa Eropa juga dibuka mixed bervariasi dimana Eurostoxx (+0.02%), FTSE (+0.23%) dan DAX (-0.17%) bergerak beragam terkonsolidasi.
Euro naik dan dolar diperdagangkan sideways sebelum pertemuan Federal Reserve yang diharapkan untuk menetapkan sebuah rencana untuk mengurangi kepemilikan obligasi bank sentral.
Pergearkan IHSG kembali cukup positif meskipun bergerak terbatas. Harga saat ini melakukan pengujian level upper bollinger bands setelah berhasil tutup diatas 5900.
Indikator stochastick yang berada pada level overbought menahan pergerakan optimis selanjutnya meskipun momentum RSI masih cukup positif.
Diperkirakan IHSG akan bergerak kembali mixed menguat terbatas menguji level tertinggi tahun ini dengan range pergerakan 5869-5916.
Saham-saham yang masih dapat dicermati diantaranya AKRA, BBNI, INCO, RALS, ADRO, LPCK, PWON, TINS.
Disclaimer on
JAKARTA ID- Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan Selasa (19/9) sore ini ditutup menguat 16,7 poin atau naik 0,28% ke level 5.901,7.

Berdasarkan data yang diolah Beritasatu.com,asing melakukan penjualan bersih (net sell) Rp 229 miliar. Kumpulan saham bluechips yang tergabung dalam indeks Investor33 naik 1,5 (0,35%) mencapai posisi 426,4.

Sementara indeks LQ-45 naik 2,7 poin (0,28%) ke level 982,8. Adapun indeks berbasis syariah yang tergabung Jakarta Islamic Index (JII) naik 2,2 poin (0,29%) menjadi 744,8.

Perdagangan hari ini tercatat dengan volume 94,772 miliar saham senilai Rp 5,991 triliun. Sebanyak 164 saham menguat, 150 saham melemah, dan 147 saham stagnan. Indeks sempat mencapai level tertinggi 5.812 dan level terendah sebesar 5.749.



Mayoritas pergerakan sektor saham menguat dengan kenaikan tertinggi saham sektor pertambangan 1,3% disusul properti sebesar 1,01%. Sementara sektor saham yang melemah di antaranya industri dasar sebesar 0,3%. (b1)
Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tak khawatir apabila kebijakan yang bakal diterapkan terkait insentif ke sektor tertentu akan memicu sektor lainnya meminta kebijakan serupa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah akan hati-hati  dalam menentukan sekor yang akan diberikan fasilitas fiskal seperti insentif pajak.
"Saya sampaikan kami harus hati-hati, di satu sisi kami akan mendengar," kata Sri Mulyani, Selasa (12/9/2017).
Adapun, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan pemerintah akan merespons kebutuhan masing-masing profesi tetapi tetap akan menjaga supaya keseluruhan kebijakan pajak.
"Aparat pajak kita kan juga manusia kalau untuk menjalankan kebijakan yang berbeda mereka pasti akan tertekan. Ini yang kita lakukan, antara simplicity tapi juga ada keadilan dan kemampuan untuk merespons," terangnya.
Adapun rencananya hari ini Ditjen Pajak akan bertemu dengan pelaku industri kreatif untuk membicarakan soal pajak bagi industri kreatif.
👯
KOMPAS.com - Pemerintah akan segera menurunkan pajak final bagi pelaku usaha mikro kecil menengah ( UMKM). Jika saat ini UMKM dikenakan pajak final 1 persen dari omzet per tahun, akan diturunkan menjadi 0,25 persen dari omzetnya.
Rencana ini akan tertuang dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu.
Sesuai PP 46/2013 pajak UMKM bersifat final sebesar 1 persen dan berlaku bagi UMKM dengan omzet maksimal Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Asisten Deputi Pembiayaan Non-Bank dan Perpajakan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Soeprapto menyebut, melalui revisi PP tersebut, pajak penghasilan UMKM akan diturunkan menjadi 0,25 persen.
"Tinggal rapat kabinet mungkin. Ini sudah dibahas bersama Menteri Koordinator Perekonomian. Tinggal bagaimana diserahkan ke presiden," kata Soeprapto usai penandatanganan memorandum of understanding aplikasi perpajakan di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Selasa, (29/8/2017).
Selain tarif, Soeprapto menambahkan, definisi peredaran bruto juga akan diperjelas. Ini bertujuan agar peredaran bruto yang dikenai pajak penghasilan telah memperhitungkan biaya yang dikeluarkan ataupun laba yang didapatkan.
"Bagaimana kalau ada return. Kan biasanya tahu-tahu tidak laku orang jualan. Diperjelas di situ," ujarnya.
Menurut Soeprapto, dengan peredaran bruto yang tidak terdefinisi, maka terkadang apabila pengusaha rugi, mereka akan tetap keluar uang untuk bayar pajak lantaran PPh yang dipatok final.
"Yang belum selesai peredaran bruto ini, kadang kalau sudah bayar pajak final, bagaimana kalau dia merugi? Ini masih agak alot," terangnya.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya memperkuat definisi dari peredaran bruto ini, "Kalau tidak didefinisikan dengan baik, (tarif) 0,01 persen juga percuma," kata dia.
Dalam RAPBN 2018, pemerintah telah memasukkan rencana penurunan PPh UMKM. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara sebelumnya bilang, selain aspek PPh, pemerintah juga akan memastikan kemudahan peraturan pajak pertambahan nilai (PPN).
Dengan tarif murah dan perhitungan sederhana, diharapkan bisa mendongkrak kesadaran UMKM bayar pajak. (Ghina Ghaliya Quddus)
Berita ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Pajak final UMKM turun menjadi 0,25 Persen" pada Rabu (30/8/2017).
👄
JAKARTA okezone - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan pertemuan tertutup dengan jajaran Menteri Kabinet Kerja. Pertemuan ini secara khusus membahas tentang pembiayaan pembangunan.
"Tadi pagi Bapak Presiden mengundang beberapa menteri, untuk membahas bagaimana kita bisa mengakselerasi pembangunan Indonesia dikaitkan dengan perkembangan di sektor jasa keuangan maupun di bidang-bidang yang menyangkut pembiayaan," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Menurut Sri Mulyani, sektor perpajakan juga tak luput dari pembahasan Jokowi pada pertemuan ini. Evaluasi kebijakan perpajakan pada sektor infrastruktur pun akan dilakukan untuk meningkatkan minta investor ke Indonesia.
"Jadi tadi dibahas apa hal-hal yang bisa dilakukan suatu perubahan atau evaluasi kebijakan, misalnya di bidang perpajakan misalnya bagaimana kita bisa memperlakukan industri maupun pembangunan infrastruktur ini dan juga dari sisi korporasi agar mereka mau menanamkan modalnya maupun dananya di Indonesia," ungkapnya.
Kebijakan perpajakan terkait instrumen surat berharga juga akan dievaluasi oleh Sri Mulyani. Tak hanya itu, Jokowi juga meminta Sri Mulyani melakukan evaluasi terhadap pajak dividen.
"Kita akan evaluasi berbagai kebijakan menyangkut perpajakan yang berhubungan dengan surat-surat berharga, surat instrumen keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan infrastruktur, dan Presiden juga meminta saya melihat dan mengevaluasi mengenai pajak dividen," ujar Sri Mulyani.
Arahan dari Jokowi ini akan menjadi perhatian utama dari Sri Mulyani. Melalui evaluasi ini, diharapkan minat investor akan meningkat untuk berinvestasi pada sektor infrastruktur.
"Kita akan lihat semuanya secara komprehensif agar kita mampu membangun atau menciptakan suatu instrumen pajak dan kebijakan pajak yang memberikan insentif agar minat untuk investasi terutama di bidang infrastruktur itu bisa terjaga," ujarnya.
Tak hanya itu Jokowi juga meminta agar Gubernur BI, OJK, dan Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian untuk memformulasikan kebijakan agar korporasi yang ingin menerbitkan surat berharga seperti bonds bisa dan dipermudah. Hal ini juga turut menjadi tugas khusus bagi Sri Mulyani.
"Ini salah satu area yang terus koordinasi antara BI, OJK dan kami dalam membangun berbagai kebijakan di sektor keuangan, sehingga dia bisa menunjang dan berhubungan langsung," tukasnya.
(rzy)

Jakarta detik - Belum lama ini, ada beberapa pedagang hewan kurban yang mengeluhkan dagangannya sepi pembeli, atau tidak seramai penjualan di Idul Adha tahun sebelumnya.

Diketahui, sebelum sampai pada perayaan Idul Adha, perekonomian nasional tengah dihadapkan fenomena perlambatan daya beli masyarakat.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Kementerian Keuangan akan kembali melakukan studi mengenai fenomena daya beli masyarakat.


"Ya kita akan melihat kembali yang tadi disebutkan, beberapa studi yang dilakukan internal Kemenkeu masalah daya beli ini," kata dia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (4/9/2017).

Sri Mulyani menjelaskan, untuk kelompok masyarakat kelas menengah telah terjadi pertumbuhan namun tidak setinggi di tahun sebelumnya. Dia mencontohkan, misalnya tahun ini tumbuh sekitar 7%, pada tahun lalu berada di level 8-8,5%. Begitu juga pada kelompok masyarakat miskin yang telah terjadi pertumbuhan konsumsi lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.

"Jadi memang kita lihat di satu sisi ada satu kelompok masyarakat yang pertumbuhan konsumsinya lebih tinggi dan daya belinya ada, dan itu terjadi akibat dari berbagai kebijakan pemerintah yang memfokuskan untuk meningkatkan daya beli kelompok yang berpendapatan 40% ke bawah," jelasnya.

"Sementara yang menengah ada sesuatu yang menyebabkan pertumbuhan konsumsi mereka lebih rendah dari tahun sebelumnya, ini juga penyebab dalam hal kenaikan listrik yang rumah tangga kelas menengah," ungkap dia.

Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, akan terus berusaha memperbaiki dari sisi kebijakan agar daya beli masyarakat tetap tumbuh dan mampu berdampak pada perekonomian nasional.

"Karena kita anggap policy ini kemudian akan dikompensasi dengan kebijakan yang bisa menciptakan lapangan kerja, memperbaiki tingkat daya beli melalui tingkat upah, perbaikan ekonomi dan confident dari tingkat investasi yang baru yang bisa menciptakan perputaran ekonomi baru, itu yang kita harapkan dari paket-paket kebijakan," tutup dia. (mkj/mkj)


👀
SPRINGFIELD, Mo. (Reuters) - U.S. President Donald Trump turned his populist rhetoric to tax reform on Wednesday, calling for “pro-American” business tax cuts as a way to create jobs and telling Congress that it needs to deliver.

Speaking at a manufacturing company in Springfield, Missouri, Trump called on Democrats to join his tax overhaul effort, which he said would also cut taxes and simplify the sprawling U.S. tax code for the middle class. But he offered few specifics, and tax reform will be an uphill task in Congress.

“We must reduce the tax rate on American businesses so they keep jobs in America, create jobs in America and compete for workers right here in America,” Trump said in his first presidential speech specifically on tax reform, one of his key 2016 campaign issues.

Both congressional Democrats and Republicans say tax reform is needed but the Republican goal of enacting legislation this year faces a battle in Congress, which has already failed to deliver on healthcare reform sought by Trump.

Trump reiterated his longstanding call for slashing U.S. corporate tax rate to 15 percent from 35 percent at a time when lawmakers believe they could be lucky to bring it down to 25 percent.

Independent analysts and lobbyists are increasingly pessimistic that Congress can act by the end of 2017, and some believe final tax legislation could be more like a straight tax cut than a reform.

“I don’t want to be disappointed by Congress. Do you understand me?” Trump said to cheers. “I think Congress is going to make a comeback, I hope so. I’ll tell you what, the United States is counting on it.”



Trump said business tax cuts would lead to higher wages for workers by boosting economic growth and making American companies more competitive, an argument Democrats dismiss as more of the “trickle-down” economics that they blame for leaving workers behind in recent decades.

“If President Trump’s previous tax plans are any indication, the wealthy and big corporations will be the ultimate winner,” Representative Richard Neal, the top Democrat on the tax-writing House Ways and Means Committee, said in a statement.

There has been no comprehensive overhaul of the tax code since 1986.

Trump singled out Missouri’s Democratic Senator Claire McCaskill, telling voters to throw her out of office in the 2018 midterm elections if she does not get on board with tax reform.

U.S. President Donald Trump arrives to speak about tax reform during visit to Loren Cook Company in Springfield, Missouri, U.S., August 30, 2017.

“So we must -- we have no choice: We must lower our taxes. And your senator, Claire McCaskill, she must do this for you. And if she doesn’t do it for you, you have to vote her out of office,” Trump said.

McCaskill’s office did not immediately respond to queries from Reuters about Trump’s remark.

FAR FROM AGREEMENT

Republicans said Trump’s speech would help underscore tax reform’s priority in Congress, as lawmakers return next week to grapple a number of other vital issues including the U.S. borrowing limit, disaster relief and government funding.


“We are united in our determination to get this done,” House of Representatives Speaker Paul Ryan said in a statement.

But after more than seven months in power, Trump and Republican leaders who control both the U.S. Senate and the House are still far from agreement on a tax package. Initially expected in the spring, tax reform legislation now may not emerge until as late as November, lobbyists say.

Trump set out four tax reform principles: simplicity, a competitive tax code, tax relief for the middle class and international corporate tax reform.

“Each is perfectly laudable, and achieving any one of them is doable. But achieving all four, simultaneously, in the same bill will be incredibly challenging,” said John Gimigliano, who heads federal legislative and regulatory services for the accounting and consulting group KPMG LLP.

Trump owes his November election victory partly to his ability to get working-class Americans to support a range of business policy positions, including his call for cutting the U.S. corporate tax rate.

That connection makes Trump “uniquely positioned as a politician to make the case for an overhaul of the business side of the code and to frame it as being good for the American worker,” said Rohit Kumar, a tax policy expert at accounting and consulting group PwC and a former senior Senate tax aide.

Trump will discuss a tax overhaul at a White House meeting next Tuesday with the “Big Six” tax reform negotiators: Ryan, Treasury Secretary Steven Mnuchin, White House economic adviser Gary Cohn, Senate Republican leader Mitch McConnell and the Republican chairmen of two congressional tax committees.

Lawmakers will have other issues to handle when they return from vacation next week, including raising the federal debt ceiling and avoiding a government shutdown.

Reporting by James Oliphant in Springfield, Missouri, and David Morgan in Washington; Writing by David Morgan; Editing by Jonathan Oatis and Alistair Bell


KONTAN.CO.ID - Harga saham perusahaan-perusahaan pengolahan minyak naik di tengah naiknya harga bensin dan gas. Kenaikan harga bahan bakar ini terjadi akibat penutupan sebagian pengolahan minyak di Houston, Texas, Amerika Serikat akibat badai tropis Harvey.
Indeks Dow Jones justru turun tipis 0,02% ke 21.808,40. indeks S&P 500 naik 0,05% ke 2.444,24. Indeks Nasdaq naik 0,28% ke 6.283,02.
Mendekati bulan September, pasar saham AS mulai berhati-hati. "Ancaman terbesar pasar saat ini adalah situasi politik," kata Cardillo, analis First Standard Financial kepada CNBC.
Beberapa politikus Partai Republik menjauh dari Trump setelah kasus rasis di Charlottesville, Virginia. Tapi John Stoltzfus, chief investment strategist Oppenheimer Asset Management mengakatan, omongan politik biasanya berlebihan dan tidak diikuti dengan tindakan yang nyata.
Stoltzfus menambahkan, kebijakan ekeonomi yang mendukung seperti reformasi pajak akan menjadi dasar dukungan bagi pemerintah dari berbagai pihak. Sekadar mengingatkan, Presiden AS Donald Trump akan mulai kampanye reformasi pajak pekan ini. 
👄
Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) optimistis arus uang masuk ke pasar modal Indonesia pada 2017 bisa dua kali lipat dari arus uang masuk pada 2016.

Presiden menyambangi Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (4/7/2017). Selain mengelilingi beberapa tempat di BEI, Jokowi  juga berdialog dengan pelaku pasar. Jokowi mengatakan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sudah menembus level 5.900 menunjukkan bahwa pasar menilai ada prospek bagus dari investasi di BEI.

BACA JUGA :
Korut Luncurkan Rudal Balistik, Begini Reaksi Donald Trump
K-POP, SNSD Luncurkan Album Baru Bulan Depan
Pendiri Alibaba Bilang Amerika Salah Investasi
"Artinya, kita mendapatkan kepercayaan bahwa ekonomi kita, dari sisi persepsi, itu baik," kata Jokowi usai berdialog dengan pelaku pasar.

Berdasarkan catatannya, sepanjang tahun lalu arus dana masuk (capital inflow) di pasar modal Indonesia mencapai Rp126 triliun. Sementara itu, selama semester I/2017 capital inflow sudah mencapai Rp124 triliun, hampir menyamai capital inflow selama satu tahun penuh pada 2017.

"Ini artinya apa? Ada arus uang masuk yang banyak ke negara kita Indonesia. Ini kepercayaan, ini momentum yang tadi saya sampaikan, bursa harus betul-betul dimanfaatkan, dijaga sehingga memberikan manfaat kepada negara kita," tutur Presiden Jokowi.

Jokowi yakin  total capital inflow pada tahun 2017 bisa meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.

"Kita harus optimistis. Angkanya kan sudah disebut. Tahun lalu saja Rp126 triliun, ini baru setengah tahun sudah Rp124 triliun. Ini kan memberikan optimisme ke kita," ucapnya.

Sepanjang tahun berjalan, total beli bersih investor asing di BEI sebesar Rp17,85 triliun. Hingga akhir perdagangan Senin (3/7/2017) IHSG berada di posisi 5.910,23, meningkat 11,58% sepanjang tahun berjalan ini.

JAKARTA kontan. Pascalibur panjang Lebaran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampak bersemangat. Di akhir sesi II hari ini (3/7), indeks mencatat kenaikan 1,38%. Dengan demikian, posisi indeks saat ini adalah 5.910,23.

Kenaikan indeks ditopang 181 saham. Sementara, jumlah saham yang turun sebanyak 167 saham dan 95 saham lainnya tak berubah posisi.

BACA JUGA :
IHSG Senin siang toreh rekor baru 5.862,78
IHSG jajal rekor baru setelah libur panjang
Volume transaksi perdagangan sore ini melibatkan 6,821 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 8,722 triliun.

Sementara itu, sembilan sektor mendaki. Tiga sektor dengan kenaikan terbesar antara lain: sektor infrastruktur naik 3,8%, sektor keuangan naik 1,98%, dan sektor pertambangan naik 1,26%.

Saham-saham indeks LQ 45 yang berada di jajaran top gainers di antaranya: PT Bumi Resources Tbk (BUMI) naik 10% menjadi Rp 374, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) naik 5,97% menjadi Rp 4.790, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) naik 5,88% menjadi Rp 13.500.

Sedangkan di jajaran top losers indeks LQ 45 terdapat saham-saham: PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) turun 3,26% menjadi Rp 1.780, PT XL Axiata Tbk (EXCL) turun 2,93% menjadi Rp 3.310, dan PT Sawit Sumbermas Tbk (SSMS) turun 1,79% menjadi Rp 1.650.

Hari ini, investor asing juga tampak memborong saham Indonesia. Data RTI menunjukkan, investor asing membukukan penjualan bersih (net buy) senilai Rp 478,61 miliar di seluruh market dan Rp 481,9 miliar di pasar reguler.

👄
MUMBAI. Belum juga tuntas soal perang nilai tukar, negara-negara di dunia masuk ke gelanggang pertandingan baru: perang tarif pajak.
Di India semisal, mulai 1 Juli nanti, India mewajibkan semua transaksi oleh pelaku industri usaha kecil menengah (UKM) secara digital. Dengan begitu, transaksi transparan dan penggelapan pajak bisa terpangkas. Hitungan, Menteri Keuangan India Arun Jaitley, langkah ini bisa mengerak pendapatan hingga 14%.
Hanya saja, kata eks Kepala Statistik India Pronab Sen, seperti yang dilansir Bloomberg, transaksi ini masih akan sulit dilakukan pengusaha kecil, "Bahkan, bisa menimbulkan kekacauan," prediksi dia.
Aturan ini sepaket dengan reformasi pajak India. Akhir April 2017, India meresmikan pajak satu pintu untuk barang dan jasa atau goods and services tax (GST), berubah dari sebelumnya yakni aturan berbeda di berbagai negara bagian India berbeda-beda.
GST diproyeksi memangkas banyak pajak yang harus dibayar warga Indonesia. India juga memangkas pajak penghasilan (PPh) dari 10% menjadi 5% bagi individu dengan pemasukan antara US$ 3.700 hingga US$ 7.400.
Di Amerika Serikat, Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan merilis anggaran tahun 2018 pada pekan ini. Salah satu isinya: reformasi perpajakan. Aksi ini diharapkan bisa mendongkrak ekonomi dan daya saing AS.
Sejauh ini, Trump mengatakan akan memangkas pajak perusahaan kecil dari 39,6% jadi 15%. Adapun tarif pajak korporasi dari 35% menjadi 15%. Sementera perusahaan multinasional akan mendapat insentif tarif pajak 10% dari 35% yang berlaku saat ini jika mereka membawa masuk dana yang selama ini disimpan di luar AS.
Filipina juga akan menurunkan tarif PPh badan dari 30% menjadi 25% dan tarif PPh orang pribadi dari 32% menjadi 25%. Langkah serupa juga ditempuh Malaysia.

jpnn.comJAKARTA - Dunia usaha masih menantikan perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh).
Sebab, Presiden Joko Widodo telanjur berjanji untuk menurunkan tarif PPh Badan dari saat ini 25 persen menjadi 17 persen.
Draf revisi tersebut tengah digodok dan dijanjikan rampung tahun ini sehingga bisa maju ke DPR.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menuturkan, saat ini pihaknya masih melakukan pembahasan secara mendalam terkait wacana penurunan tarif PPh Badan itu.
”Memang sekarang ada diskusi di intern kami untuk melakukan revisi PPh. Tapi, revisi tersebut relatif komplet. Bukan hanya soal tarif, tapi bagaimana membuat PPh kita lebih kompetitif,” jelasnya.
Dia melanjutkan, yang terpenting dari pembahasan revisi aturan itu adalah menyangkut bagaimana agar aturan PPh selaras dengan ketentuan-ketentuan pajak internasional.
Dia menekankan, pemerintah masih menimbang untung rugi jika tarif PPh Badan jadi diturunkan.
”Tarif memang ada rencana apakah turun, tetap, atau seterusnya. Itu masih kami dalami,” ujarnya. 
👄

time.com: Maya MacGuineas is president of the nonpartisan Committee for a Responsible Federal Budget.

President Trump is on the right track by turning focus toward fixing our nation’s broken tax code. But so far, he is going about it all wrong.
We desperately need tax reform. True reform requires making the tough choices about what works and what doesn’t, not simply offering tax giveaways for all. Tax rate cuts are important and a driver of growth, but do not be hoodwinked: no way will they pay for themselves.
The President understands the challenges we face. Growth is sluggish; our 35% corporate tax rate is the highest in the developed world; our strategy for international taxation is a mess; and the income tax seems to get more complicated and opaque every year.
But these problems cannot be solved by simply lowering all businesses taxes to 15% while cutting taxes for individuals. In fact, the President’s current proposal is likely to worsen our country’s growth prospects by ballooning our record high national debt.
The President’s plan could add over $5 trillion to the national debt over the next decade. As a result, debt would rise to a higher share of the economy than any time in history.

When it comes to tax cuts, there is always the free lunch crowd claiming if we cut taxes, they will pay for themselves through growth. Here in the real world, smart, pro-growth tax cuts can at best cover a fraction of their costs. In fact, large tax cuts can actually harm economic growth by creating a massive debt load.
So if the initial Trump offer is unaffordable, what should we do?
Step one is thoughtful and responsible business tax reform. The average corporate tax rate among wealthy countries is about 10 points below ours, putting them at a competitive advantage. America is the greatest economy in the world, and if we can get our corporate rate to 25 or even 28 percent, we’ll be the most competitive as well. We should finance those rate cuts by ending tax breaks that favor some businesses over others and distort business decision-making. We can also raise revenue by shifting taxation from mobile business entities to the shareholders who actually profit from corporate gains. We can cut the rate further with more aggressive payfors.
Step two is to clean up and simplify the individual tax code. Most of the nation’s $1.6 trillion of annual tax breaks go to individuals – largely to wealthier Americans and mostly in ways that add complexity and hurt economic efficiency. The more tax breaks we can repeal or reform, the better. Most of the revenue can go to cutting individual rates; some should go for deficit reduction. One idea worth trillions is a cap I developed with Marty Feldstein and Dan Feenberg to limit the total value of major tax preferences as a share of income. The Administration could keep all the tax breaks it wants to protect (like the mortgage deduction) but include it in this limit.
Step three is to reform our entitlement programs. Social Security, health, and interest spending are responsible for 82 percent of projected spending growth over the next decade; and both Social Security and Medicare are headed toward insolvency. Thoughtful reforms can improve health outcomes, encourage work, strengthen retirement security, and reduce the long-term debt all while protecting the most vulnerable.
The final step is to do everything else we can to encourage economic growth. While promises of 4 percent annual growth are pure fantasy, we need to get our growth rates well above 2 percent. That faster economic growth needs to be broadly shared so it lifts all incomes, improves everyone’s wealth, and helps our fiscal situation. To achieve faster growth, policymakers need to fire on all cylinders -- pursuing reforms to taxes and entitlements but also regulations, immigration, federal investment, trade, and energy. A critical component of the growth agenda is to get our debt under control.
As a nation, we cannot pretend we can grow our way out of any hard choices.But the President is right to focus on economic growth. If we don’t get our economy growing again, the American dream may be history.
👪


JAKARTA kontan. Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan mengubah sejumlah kebijakan pajak. Selain tarif pajak penghasilan (PPh), pemerintah juga akan mengubah basis penghitungan pajak. Rencananya, perubahan ini masuk dalam revisi Undang Undang Pajak Penghasilan (PPh).
Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak sekaligus Ketua Tim Reformasi Pajak Suryo Utomo mengatakan, revisi UU PPh memang ditunggu banyak pihak. Rencananya, pasca kuartal II, rencana revisi UU PPh ini akan dibahas lebih tajam.
Usulan yang masuk, pertama, penurunan tarif PPh badan. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu melihat, PPh badan bisa turun sebesar 2% atau kurang. "Perubahan tarif masih dikaji. Yang jelas, kami ingin simplifikasi," ujarnya, Selasa (25/4).
Kedua, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak juga mengusulan penghapusan penghitungan PPh final untuk beberapa sektor industri. Antara lain: konstruksi dan properti. Pajak mengusulkan hitungan pajak berbasis pembukuan, tak lagi pajak final seperti yang berlaku saat ini.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Goro Ekanto mengatakan, perubahan PPh final harus mempertimbangkan efeknya ke penerimaan negara, inflasi, serta kepentingan pengusaha.
Untuk itu, Goro minta agar Ditjen Pajak memperdalam usulan atas revisi UU PPh. Apalagi, sebelumnya, sudah ada perubahan PPh final jadi PPh non final. "Kalau mau dinonfinalkan lagi, kajian harus dalam," kata Goro ke KONTAN. Risiko perubahan aturan itu mengharuskan pajak paham struktur pembukuan perusahaan secara detail.
Namun, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi bilang, penghapusan PPh final, pajak yang harus dibayarkan wajib pajak (WP) bisa lebih kecil karena dikurangi dengan biaya. Makanya, WP wajib melakukan pembukuan.
Ditjen Pajak bisa melacak penerimaan potensi pajak lain jika ada pembukuan. "Penerimaan negara bisa dapat dua kali lipat," kata Ken yakin.
Menurut Ken, jika penghitungan pajak dilakukan dengan PPh final, kontraktor yang rugi, misalnya, tetap akan kena pajak. Kontraktor atau pengusaha properti juga akan diuntungkan. Meski labanya besar, mereka hanya dikenakan tarif kecil yaitu 2,5%.
Selain properti, perubahan penghitungan PPh final juga akan berlaku ke usaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang kena tarif 1%.
Peneliti pajak Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiadji bilang, perubahan tarif pajak penghasilan harus melihat tujuan perubahan, untuk menarik investasi atau menggedekan penerimaan.
Jika pro investasi, kebijakan pajak tak hanya dengan memangkas tarif tapi bisa dengan memberikan insentif seperti tax holiday, tax allowance. Desain rezim pajak juga harus menarik minat investasi. "Tapi harus dirumuskan hati-hati karena pemerintah harus memastikan kebijakan ini efektif menarik investasi," ujar Bawono.
Risiko kebijakan ini akan menurunkan penerimaan. Apalagi, jika revisi tarif juga berlaku ke PPh perorangan. Hanya, penurunan tarif pajak serta insentif pajak akan berdampak pada aktivitas ekonomi di jangka panjang.

Usulan tarif dan tarif pajak yang berlaku:
PP Nomor 34/2016 tentang PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan.
Objek pajak:
Yang menjadi objek PPh Final adalah: atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
1. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
2. Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya
Berdasarkan aturan baru tersebut maka transaksi berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah dan/atau bangunan sudah terutang PPh Final walaupun belum dibuat Akta Jual Beli.
Terdapat 3 jenis tarif PPh Final yang diatur:
1.    2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan;
2.    1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; atau
3.    0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bag, pembangunan untuk kepentingan umum.
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah No. 46/ 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Dalam PP 46 ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan yang penghasilan brutonya berbeda-beda.
1.    Badan usaha yang penghasilan bruto di bawah Rp 4,8 miliar kena pajak final 1%,
2.    Badan usaha yang penghasilan bruto di atas Rp 4,8 miliar dan kurang dari Rp 50 miliar kena pajak dengan tarif 25% dan dapat fasilitas diskon 50%.
3.    Badan usaha yang penghasilan bruto (gross income-nya) lebih dari Rp 50 miliar, tariff normal 25%. 
Sumber: PPNo. 46 Tahun 2013, PP 34 /2016
JAKARTA–PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengusulkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) agar pajak dividen bagi investor saham dihapus atau dibuat 0%. Usulan itu berlaku bagi investor ritel yang menabung saham sekitar Rp 10 juta secara rutin setiap bulan.
                                                                                                 
“Kami berharap kebijakan ini mampu meningkatkan jumlah penabung saham atau investor ritel saham dan mengembangkan pasar modal domestik,” ujar Direktur Utama Bursa BEI Tito Sulistio di Jakarta, Kamis (6/4).

Menurut Dirut BEI Tito Sulistio, pihaknya segera mengajukan proposal usulan kepada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ihwal pembebasan pajak dividen saham.

“Jika disetujui, kami yakin kebijakan ini mampu memicu euphoria masyarakat untuk menjadi penabung saham. Pembebasan pajak dividen sudah dilakukan sejumlah negara, di antaranya Jepang. Kebijakan itu terbukti efektif meningkatkan jumlah investor,” tutur dia.

Ketentuan pajak dividen saham tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Dalam Pasal 1 PP tersebut dinyatakan, penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dikenai pajak penghasilan (PPh) sebesar 10% dan bersifat final.

Tito mengungkapkan, pembebasan pajak dividen bagi investor saham bakal menarik perhatian investor dari segmen rumah tangga. Namun, dia tidak merinci berapa persisnya rentang nilai tabungan saham yang diusulkan mendapat pembebasan pajak dividen, apakah Rp 10 juta itu merupakan angka ratarata, angka maksimal, atau angka minimal.

Tito Sulistio hanya mengatakan, di Indonesia ada sekitar 64 juta rumah tangga. Dengan asumsi ada sejuta rumah tangga yang ikut menabung saham Rp 10 juta per bulan setelah pajak dividen saham dihapus, berarti bakal ada tambahan dana di pasar saham sebesar Rp 10 triliun dalam sebulan. (az)



 👪

JAKARTA – Pergerakan bursa saham Indonesia sepanjang perdagangan minggu ini mengalami kenaikan. Meski belum mampu menyentuh rekor, namun pada penutupan perdagangan berhasil menyentuh level 5.540,43
Analis Binaartha Parama Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2017 belum dapat menembus level 6.000. Menurutnya, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi Pemerintah tahun ini sehingga untuk menembus level tersebut bukan perkara mudah.
“Untuk level 6.000 di tahun ini saya rasa masih agak berat, sebab secara teknikal dia harus menembus di atas level 5.750 terlebih dahulu, “ ujarnya saat dihubungi Okezone, belum lama ini.
Faktor yang menjadi tantangan pertumbuhan IHSG ke level 6.000 adalah dana repatriasi tax amnesty yang belum mencapai target. Berikutnya adalah dinamika politik yang terjadi karena periode Pilkada masih berlangsung.
Kendati demikian, sejauh ini peran pemerintah masih sangat baik dalam menjaga stabilitas politik di dalam Negeri. Sehingga berimbas pada laju IHSG yang masih positif.
“Hal ini bisa memberikan implikasi positif terhadap stabilnya pertumbuhan ekonomi nasional yang ditunjang oleh basis fundamental makroekonomi yang kokoh,” tukas dia.
(rzk)
Bisnis.com, JAKARTA--Indeks harga saham gabungan (IHSG) diproyeksi menembus batas tertinggi baru di atas level 5.500 pada semester II/2017 seiring fundamental ekonomi Indonesia yang membaik serta kejelasan hasil Pilkada.
Handi Huta Jaya, analis Bahana Sekuritas, memperkirakan bank sentral Amerika Serikat The Fed hanya akan menaikkan Fed Fund Rate sebanyak dua kali pada tahun ini.
Pasalnya, jalan untuk normalisasi kebijakan moneter tidak hanya melalui kenaikan suku bunga kembali ke level 3% pada 2020, tetapi juga dengan memangkas neraca keuangan The Fed yang telah menyentuh US$4,5 triliun.
"Kami yakin The Fed butuh momentum ekonomi untuk memberikan cakupan (scope) dan waktu untuk mencapai normalisasi moneter," kata Handi dalam risetnya, Jumat (3/3).
Bahana Sekuritas juga menekankan antisipasi penurunan harga CPO dan batu bara. Harga baru bara diperkirakan menyentuh US$62,5 per ton dan harga CPO US$700 per ton pada 2017.
"Kami berharap akan terbentuk pola V pada harga CPO dan batu bara seiring ekspektasi rasionalisasi suplai pasca musim dingin oleh pemerintah Tiongkok dan melemahnya harga CPO pada kuartal II dan kuartal III/2017 akibat kenaikan produksi secara musiman," paparnya.
Bahana Sekuritas merekomendasikan taktik portofolio netral dalam penyelenggaraan Pilkada Jakarta pada April 2017. Investor jangka panjang harus membangun posisi long term yang solid untuk mendapatkan beta yang tinggi.
Apabila asumsi Bahana Sekuritas tepat, imbuh Handi, pada akhir kuartal II/2017 investor akan mendapatkan fakta bahwa fundamental Indonesia telah bottomed out.
"Saat itu, investor juga dapat kejelasan tentang situasi politik Indonesia. Kami proyeksi IHSG mencoba untuk menembus level resisten selama 3 tahun pada posisi 5.500 pada semester II/2017," pungkasnya.Industri padat karya yang dikehendaki oleh Trumponomics bisa terjadi seh, walo kondisi berat ekonomi global saat ini. Caranya pasti multidimensi n multidisiplin. Dimensi politik, sosial, agama, budaya, hukum, dll menjadi faktor-faktor utama dalam memberikan landasan pembangunan ekonomi yang kerakyatan (populistik) seperti itu.
👌

Disiplin ekonomi tetap menjadi tolak ukur berlanjutnya pergerakan ekonomi mencapai kondisi ketenagakerjaan tersebut. Disiplin ekonomi makro yang memberi ruang pada para pelaku industri, khususnya manufaktur. Deindustrialisasi yang terjadi pasca kebangkrutan sistem finansial amrik 2008 memang sulit direindustrialisasikan tanpa keutuhan strategi ekonomi.
Reindustrialisasi manufaktur amrik bisa terjadi dengan salah satu strategi utamanya mengurangi BEBAN INDUSTRIAWAN lewat insentif dan perpajakan yang ringan.
Saat ini, Indonesia juga sedang berhadapan dengan fasa DEINDUSTRIALISASI, yang mungkin sudah melampaui FASE AWAL. Fase lanjut deindustrialisasi ini wajib dimaknai sebagai kondisi serius. Berbagai kebijakan ekonomi makro saat ini tampaknya belum membangkitkan kembali pertumbuhan ekonomi makro kita yang di atas 6% (seperti pernah terjadi di masa pemerintahan SBY).
Dengan mempertimbangkan dan merancang pengkondisian dimensi politik, hukum, sosial, agama, dll sebagai pra dan penyerta kondisi disiplin ekonomi makro, maka ekspektasi keringanan bagi pelaku industri bisa juga dengan cara yang sama yaitu PEMANGKASAN PAJAK KORPORASI. Tingkat pajak di bawah 30% p.a. akan menolong para stakeholders berkeringat dan bekerja dengan motif ekonomi yang pas dalam mengembalikan kejayaan manufaktur kita, termasuk di bidang tekstil.

Pemangkasan pajak penghasilan dengan sendirinya akan meningkatkan daya saing industri dan daya beli publik, sehingga kondisi konsumer akan semakin pulih. Sektor konsumsi menjadi fondasi ekonomi makro dan domestik kita selama ini. Pertumbuhan ekonomi global maseh akan sulit diandalkan sampai 1 dekade yang akan datang, karena faktor dimensi sosial politik beberapa negara maju, yang raksasa, sedang dilanda ketidakpastikan politik proteksionistik dan "inward looking". Ekonomi domestik yang kondusif dan memberi banyak kesejahteraan tak semu (politik kesejahteraan yang bergantung pada pemerintah saja) akan menolong dan meningkatkan perekonomian makro. Politik kesejahteraan yang ketinggalan jaman sudah terbukti malah membebani APBN kita. Utang bertambah, terutama menambal kebutuhan biaya pendidikan dan kesehatan yang merupakan langkah awal menuju kesejahteraan yang berkelanjutan. Kesejahteraan awal dan semu ini akan amat membebani APBN kita jika daya kreatif dan daya tumbuh industri kita terkendala segala macam urusan Non-Tariff Barriers dan Tariff Barriers.
Saatnya dengan serius pemerintah dan rakyat mempertimbangkan keekonomian yang lebih ringan beban namun tetap berdayaguna, salah satunya dengan memangkas tarif pajak penghasilan menjadi di bawah 30%, saat rerata angka tarif pajak global @ + 33%. Angka pertumbuhan yang diekspektasikan + 6% p.a. bisa diandalkan dengan mengurangi beban industri, sekaligus dengan melakukan reindustrialisasi, khususnya yang padat karya.
Penghasilan dari perpajakan malah akan meningkat lebe tinggi, karna faktor suppy dan demand sekaligus diperkuat lewat kebijakan anti biaya tinggi. Faktor korupsi dan pungli dengan sendirinya akan menjadi lebih ringan ditanggung pelaku industri dan negara.
Kebijakan pemangkasan perpajakan akan lebih efektif daripada kebijakan suku bunga perbankan yang rendah. Pemangkasan pajak langsung mengurangi biaya, sementara kredit oleh perbankan sendiri telah menjadi beban bagi industri karena persyaratan yang rasional tinggi. Pemangkasan pajak mendorong penciptaan daya beli konsumsi yang lebih tinggi pada saat era penjualan kuat sedang terdesak sekali.
well, liat aza :)













































Tahun Ayam, IHSG Ditaksir Tembus 6000


xxxxxxxxxxx
Jakarta detik - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor tertinggi sepanjang masa dengan berada di level 5.540 pada penutupan perdagangan pekan ini. Diprediksi IHSG bakal tembus level 6.000 akhir tahun ini. 

Harry Su, Head of Corporate Strategy & Research Bahana Securities, mengatakan IHSG diprediksi mencapai level 6.000 akhir tahun ini.

"Target saya sampai akhir tahun sampai lah 6.000, tapi kalau politik stabil dan infrastruktur spending bisa meningkat, bisa saja tercapai September," kata Harry kepada detikFinance, Jakarta, Sabtu (18/3/2017).

Baca juga: Setelah 5.540, Bisakah IHSG Melesat ke 6.000? Ini Kata BEI

Menurutnya faktor pendorong IHSG bisa melesat ke level 6.000 karena pasar keuangan, khususnya pasar modal Indonesia, tidak terganggu dengan kenaikkan Fed Fund Rate sebesar 0,25%. Selain itu, ada kemungkinan peningkatan level Indonesia menjadi investment grade dari lembaga pemeringkat S&P.

Sementara Satrio Utomo, Head Of Research Division at PT. Universal Broker Indonesia, mengatakan kenaikan IHSG ditopang kinerja emiten yang baik.

"Sebenarnya kalau kita lihat dari kinerja emiten kemarin, kan memang bagus-bagus, sebagian besar sekitar 80% kinerja emiten yang keluar Full year kemarin itu di atas ekspektasi, jadi memang banyak sekali emiten yang kinerjanya cukup bagus. Surprise juga dengan ekonomi yang lamban tetapi terus bagus, kemudian orang juga memperkirakan ke depan dengan kondisi yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi tinggi, komoditas tinggi, orang berharap kinerja bisa lebih bagus lagi," jelas Satrio.

Baca juga: IHSG Cetak Rekor 5.540, OJK: Dana Asing Masuk Rp 2 Triliun

Menurutnya, pergerakan IHSG akan mulai menunjukan peningkatan pada semester I. Penguatan ini akan terbantu lembaga pemeringkat S&P yang diprediksi akan meningkatkan rating Indonesia menjadi investment grade pada Mei mendatang.

"Target sejauh ini masih 6.000, kalau saya pikir itu bisa sampai akhir tahun. Semester 1 di level 5.650-5.750, kalaupun 6.000 itu akhir tahun atau mulai semester 2," tambah Satrio. (hns/hns)
NERACA
Jakarta – Pasca merayakan tahun baru imlek, banyak pelaku pasar menaruh harapan besar di tahun ayam ini keberuntungan akan didapat jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu juga halnya dengan investasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bahkan menurut Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee, sepanjang tahun ini indeks harga saham gabungan (IHSG) diproyeksikan mampu menembus ke level 6.000. “IHSG seminggu setelah tahun baru masih bergerak naik. Kita pikir memang pasar setelah naik agak konsolidasi, masih ada peluang mengalami penguatan.- Setahun bisa bergerak di kisaran 5.800-6.000,”ujarnya di Jakarta, kemarin.
Mengenai rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) alias Fed Fund Rate sebanyak dua hingga tiga kali, menurut Hans Kwee, diperkirakan tidak membuat IHSG terguncang begitu dalam. Pergerakan IHSG dengan adanya ancaman eksternal masih akan bergerak positif di tahun ayam api ini.”Kita pikir ada beberapa kendala. Kita pertahankan baik-baik kenaikan Fed Fund Rate dipastikan tahun ini 2-3 kali tapi masih positif,” tuturnya.
Dirinya menambahkan, saham-saham sektor perbankan, energi hingga infrastruktur bisa dijadikan sasaran investasi di tahun ini. Turunnya rasio kredit bermasalah alias Non Performing Loan (NPL) dan bergeraknya harga komoditas membuat sektor tersebut perlu dilirik untuk dijadikan lahan investasi.”IHSG tadi kalau kita lihat komoditas bagus. Kita pikir banking bagus, NPL bank akan turun komoditas jalan sehingga banking akan bergerak. Tahun ayam api ini konstrkusi infrastruktur akan berger-ak,”ungkapnya.
Sebelumnya, analis dari PTMandiri Sekuritas, Adrian Joezer pernah bilang, IHSG hingga akhir tahun 2017 diperkirakan akan berada di level 5.800. Prediksi itu mempertimbangkan kenaikan yang sepenuhnya didukung oleh pertumbuhan laba per saham (EPS). “Skenario dasar kami memprediksi ada penurunan tipis pada rasio harga saham per laba prediksian (forward PE ratio) menjadi 14,8 kali,” ujarnya.
Menurut Adrian, untuk skenario optimistis dia memprediksi IHSG dapat menutup tahun ini pada level 6.100. Namun untuk skenario pesimistis, IHSG dapat turun menjadi 4.925 jika belanja fiskal mengecewakan dan yield (imbal hasil) obligasi pemerintah Amerika Serikat naik lebih tinggi daripada prediksi. Adrian mengatakan, stimulus fiskal, nilai tukar mata uang yang stabil, dan inflasi yang terkendali merupakan hal pentingyang dapat mendukung kondisi pasar saham Indonesia ketika pelonggaran moneter tidak terjadi.Tercepatan pertumbuhan dapat mendukung indeks, tapi bukan tanpa adanya angin haluan. Kami lebih memilih saham defensif dan beberapa saham seleksi siklus atau konstruksi untuk berkinerja lebih tinggi dari pasar,” ungkapnya.
Dirinya menganalisis bahwa pada tahun ini dapat menjadi kisah dua babak, dengan angin angin buritan dari harga komoditas dan kondisi amnesti pajak yang akan menguntungkan pada semester I 2O17.
bani
👂
TEMPO.COJakarta - Oxfam di Indonesia (Oxfam) dan International NGO Forum on Indonesia Development atau INFID menerbitkan laporan tentang ketimpangan di Indonesia. Laporan yang diterbitkan hari ini, Kamis, 23 Februari 2017, berjudul “Menuju Indonesia yang Lebih Setara” itu ditujukan untuk memberi kontribusi pemikiran ihwal ketimpangan di Indonesia.

Menurut Oxfam dan INFID, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil dan proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah berkurang hingga di kisaran 8 persen. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu belum diimbangi pendapatan yang lebih merata. 

Baca: Pertumbuhan Ekonomi Mampu Atasi Ketimpangan Kesejahteraan
Dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara kaum superkaya dan penduduk lainnya di Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain di Asia Tenggara,” ujar Direktur INFID Sugeng Bahagijo dalam acara Peluncuran Laporan Ketimpangan Menuju Indonesia yang setara di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis, 23 Februari 2017.

Selain itu, dalam laporan disebutkan bahwa Indonesia memiliki tingkat ketimpangan yang terburuk keenam di dunia. Kekayaan empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Besarnya pendapatan tahunan dari kekayaan orang terkaya di Indonesia cukup untuk mengatasi kemiskinan ekstrem di Indonesia. Laporan ini juga menjabarkan meningkatnya ketimpangan di wilayah perkotaan dan kesenjangan antardaerah. 

Baca: Bank Dunia: Pertumbuhan Bagus, Ketimpangan Indonesia Parah
Dalam laporan juga diterangkan bahwa melebarnya kesenjangan antara kekayaan orang-orang superkaya di Indonesia dan kelompok masyarakat lainnya adalah ancaman serius pada kesejahteraan rakyat Indonesia ke depan. “Karena, jika ketimpangan tidak segera diatasi, upaya keras pemerintah menurunkan kemiskinan akan mengalami hambatan dan bisa menyebabkan ketidakstabilan di masyarakat,” tuturnya.

Pesan utama dari laporan hasil kolaborasi Oxfam dan INFID menuturkan bahwa ketimpangan ekstrem bukanlah sesuatu yang tidak terelakkan. Mereka menganjurkan pemerintah melaksanakan dua hal besar dan utama untuk mengatasi ketimpangan tersebut.

Pertama, memperbarui kebijakan pajak di Indonesia sesuai dengan potensi ekonomi Indonesia dan prinsip pembagian beban dan manfaat yang adil. Kedua, memulihkan dan memberikan penekanan yang lebih atas pembangunan sumber daya manusia dan ketenagakerjaan.

Menurut Sugeng, Undang-Undang Pajak yang ada harus diperbarui, karena tidak dapat mengakomodasi potensi pendapatan pajak dan realitas kekayaan kelompok superkaya Indonesia selama 15 tahun terakhir. “Potensi pajak Indonesia, menurut IMF, berada di atas 21,5 persen dari PDB, namun sementara ini capaian pajak Indonesia hanya 13 persen PDB,” katanya.

Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam International Steve Price Thomas menyeru pemerintah untuk memperkuat komitmen dan menjalankan paket kebijakan penurunan ketimpangan. Ia juga menyarankan agar pemerintah mengakhiri konsentrasi kekayaan di tangan sekelompok orang dan perusahaan, memastikan menyempitnya kesenjangan antardaerah dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi pekerja dan kelompok masyarakat miskin serta bagi perempuan. 

“Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan yang multi-dimensi. Namun Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan untuk membuktikan Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin perjuangan global melawan ketimpangan,” tuturnya.

DESTRIANITA
😖
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar daerah atau provinsi yang mengalami perlambatan ekonomi sebagai konsekuensi fluktuasi ekonomi global harus dibantu dan diperhatikan oleh pemerintah pusat.

"Saya ingin menekankan pada ratas sore hari ini, daerah-daerah yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, sebagai konsekuensi dari fluktuasi ekonomi global, perlu mendapatkan perhatian dan dibantu oleh pemerintah pusat," kata Presiden Jokowi di Kantor Presiden di Jakarta, Selasa.

Saat memimpin rapat terbatas Evaluasi Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Program Prioritas Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Presiden menyatakan bahwa di satu sisi daerah-daerah penghasil sumber daya alam seperti Kalteng, memiliki potensi yang luar biasa mulai dari mineral, batubara, sampai dengan hasil-hasil perkebunan dan kehutanan.

Di sisi yang lain, menurut Presiden, daerah-daerah tersebut juga terkena dampak paling besar dari penurunan harga komoditas di pasar global.

"Ini artinya melambatnya perekonomian global jelas memberi dampak signifikan bagi perekonomian di daerah," kata Presiden.

Oleh karena itu, Presiden meminta kondisi yang terjadi saat ini digunakan sebagai momentum untuk pengembangan nilai tambah dari komoditas-komoditas tersebut.

"Kita lama terbuai dengan tingginya harga komoditas sehingga akhirnya melupakan pembangunan industri hilir, industri pengolahan untuk mendapatkan nilai tambah dari sumber daya alam yang kita miliki," ujar Presiden.

Indonesia, dinilai Presiden, harus mulai mengembangkan industri hilir, karena ini akan berpengaruh langsung pada masyarakat, akan membuka lapangan pekerjaan, dan menggerakkan ekonomi di daerah.

Selain pengembangan industri hilir, Presiden mengemukakan, Indonesia juga perlu memikirkan untuk menggali potensi-potensi khususnya di Kalteng yang belum tereksplorasi sebagai alternatif untuk menjaga keberlanjutan momentum pertumbuhan ekonomi.

"Kalteng perlu mengembangkan potensi ekonomi yang belum tersentuh agar tidak tergantung pada eksploitasi minerba dan kekayaan hutannya yang pada suatu saat akan habis," demikian Presiden Jokowi.
Editor: Priyambodo RH
👌

One of the hallmarks of Donald Trump’s theme of “America First” is the need to restore lost jobs in manufacturing owing to unfair foreign competition. But since assuming office, President Trump has focused attention on another group — namely, U.S. auto companies and other businesses that have outsourced jobs abroad. 
Trump’s tactic has been to use both the carrot — his pledge to lower the U.S. corporate tax rate to 15%, and the stick — his threat to impose duties on items U.S. companies import from affiliates outside of the U.S.
By doing so, the president has upped the ante on companies that are planning to locate facilities abroad.
Such an approach is at odds with traditional Republicans who believe in the principles of free trade. Accordingly, the leadership of the House Republicans has crafted tax legislation that would meet several objectives: (i) lower the corporate tax rate significantly, albeit to 20%; (ii) create incentives for U.S. businesses to produce at home; and (iii) produce added revenue of more than $1 trillion over the next 10 years to ensure the legislation is deficit-neutral.
One of the centerpieces of the Republican effort is the inclusion of a border-adjustment tax (BAT) that is intended to remove incentives for U.S. companies to outsource jobs.  It would do so by excluding revenue from items that are exports from taxes, while not allowing imported items to be deducted as costs. In this way, the BAT ensures that an American consumer would pay the same price for a domestically produced good or a comparable item that is produced abroad.
In a recent press interview, however, Trump rejected the BAT idea on grounds it is “too complicated.”  Instead, he favors a simpler solution — namely, imposing a 35% duty on items that are produced abroad and imported into the U.S.  The president failed to mention that the American consumer would ultimately pay for the duty: Businesses, after all, would merely pass along the cost increase to the final purchaser.
This begs the question: Should the president address the American public directly and explain why it is their patriotic duty to pay 35% more for a car or good that has been produced abroad? Also, what should the president and Congress tell American workers who are displaced by the tariff or BAT?
Imagine the dilemma Wal-Mart Stores WMT, -0.37%  faces.  Since the 1980s, Wal-Mart’s goal has been to provide low- and middle-income households with the most affordable products available. It has done so with a business model that creates a complex global supply chain, and at the same time it has become the largest employer in the U.S.  Wal-Mart (and other companies) would find its business model disrupted either if the Republican House proposal of a BAT is enacted, or if Trump’s alternative of a 35% tariff on imported inputs is implemented.
There are always winners and losers from trade — and from protectionist policies.




















































This goes to the heart of the debate about international trade: Namely, there are always winners and losers from trade — and from protectionist policies.  The case for free trade is based on the principle of comparative advantage that dates back to Adam Smith and David Ricardo, and to the basic notion that two parties would not engage in voluntary exchange unless they were both better off. This is very different from the Trumpian (mercantilist) world in which trade is a zero-sum game, and the losers are countries that run deficits.
While the debate about free trade and protectionism dates back to the founding of our country, the context today is very different.  First, the traditional case for tariffs — namely, protection of infant industries — has been turned on its head by Trump, who is seeking to revive established businesses.  Second, protectionist fervor typically is greatest when unemployment is high or rising; yet today it is low and declining.
Missing from the current debate is what gave rise to outsourcing in the first place, and which policies will influence it.  The origins date back to the early 1980s, when the U.S. ran “twin” budget and current account deficits. With interest rates at record levels, massive capital flows drove the dollar to unsustainable levels.  In order to compete, U.S. businesses had little choice but to cut costs, and they increasingly did so by shifting production abroad.   
While interest rates today are considerably lower, they are well above those abroad and the U.S. dollar DXY, +0.06%   stands at a 14-year high.  With the Fed poised to raise interest rates further and the federal budget deficit estimated to expand by an estimated $6 trillion dollars over 10 years under Trump’s plan, both the dollar and the U.S. trade imbalance are poised to rise. 
From this perspective, the focus of economic policy should be on containing the expansion of the trade deficit by limiting the increase in the budget deficit, rather than on raising tariffs on imports. For this reason, the House Republican leaders must hold their ground that any changes to the tax code be deficit-neutral. Otherwise, an enlarged budget deficit would render the president's goal of a lower trade deficit impossible.
Nicholas Sargen is chief economist, Fort Washington Investment Advisors, and author of Global Shocks: An Investment Guide for Turbulent Markets. (Palgrave Macmillan, 2016)
👀
NEW YORK. Pasar saham AS mendaki ke rekor terbarunya pada transaksi Senin (13/2). Data CNBC menunjukkan, Pada pukul 16.00 waktu New York, indeks Dow Jones Industrial Average naik 0,7% menjadi 20.412,16. Saham Caterpillar mencatatkan kenaikan tertinggi. Sedangkan Verizon menduduki posisi top losers.
Adapun indeks S&P 500 berhasil naik 0,52% menjadi 2.328,25. Sektor finansial berhasil memimpin kenaikan tertinggi di antara sepuluh sektor lainnya. Sedangkan sektor dengan penurunan terdalam yakn sektor telekomunikasi.
Indeks Nasdaq berhasil naik 0,52% menjadi 5.763,96.
Dalam setiap sembilan saham yang naik, terdapat lima saham yang tertekan. Volume transaksi perdagangan tadi malam melibatkan 798,70 juta saham dengan volume transaksi gabungan mencapai 3,327 miliar saham saat penutupan market.
Market berhasil mendaki ke level rekor seiring bullish-nya investor terhadap agenda ekonomi Presiden Donald Trump.
"Market merasa optimistis mengenai rencana kebijakan pajak Trump yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Ini merupakan kabar yang baik bagi market," jelas Robert Pavlik, chief market strategist Boston Private Wealth.
Nick Raich, CEO The Earning Scout, berpendapat sama. "Bias bullish di market terjadi setelah Trump mengatakan akan ada kebijakan pajak yang fenomenal dalam waktu dekat," jelasnya.
👍


An interesting paper from Owen Zidar showing that tax cuts really do increase employment, really do create jobs. This isn't all that unusual a finding it must be said as several different theories would lead us to the same conclusion. But it's nice, as always, to have empirical proof of a generally thought to be true theoretical result. After all, we don't want to be like the mythical French economists who, when presented with facts ask "Well, yes, but is it true in theory?"
However, there is one point from this paper that will, I fear, be misunderstood. Which is that the paper seems to be showing that tax cuts for the top 10% of income earners don't have all that much effect on jobs or employment growth. And, assuming that I'm reading this paper the right way (no sure thing that) that's not something that the paper, by its design, can really test.
Here's how the WSJ reports it:
Tax cuts are an effective way to bolster a weak economy and create jobs—as long as they are targeted at the bottom 90% of income earners.
That’s according to a working paper published by the National Bureau of Economic Research that adds new evidence to the age-old debate about the effectiveness of various types of economic policies aimed at spurring growth and fostering employment.
The paper itself is here:
This paper investigates how tax changes for different income groups affect aggregate economic activity. I construct a measure of who received (or paid for) tax changes in the postwar period using tax return data from NBER's TAXSIM. I aggregate each tax change by income group and state. Variation in the income distribution across U.S. states and federal tax changes generate variation in regional tax shocks that I exploit to test for heterogeneous effects. I find that the positive relationship between tax cuts and employment growth is largely driven by tax cuts for lower-income groups and that the effect of tax cuts for the top 10% on employment growth is small.
Now, be careful here, for I am only a journalist interested in economics, not an economist. So we must always have the possibility that I've misunderstood things to hand. Possibly to beat me with if I have. But the way that I read this paper is that what has been tested is the effect over the business cycle. Seems logical enough, we want to see what the effect of tax changes is over the cycle of the economy, not try and say that whatever we do to taxes is going to over ride the effects of being in a boom or a bust. However, the usual channels by which we think that top 10% income tax cuts might affect employment aren't likely to make themselves known over the 5-7 or so years of the average business cycle. They just take longer than that.
We don't, for example, think that if the high income earners get a tax cut then they go out and hire more gardeners. That's trickle down of the worst sort and not taken all that seriously. We also don't think that a cut in tax rates immediately makes the rich work longer and thus create more jobs that way. Rather, we've two mechanisms in mind. One is that a cut in tax rates might make the risks of entrepreneurship more appealing. The other is that higher income earners, if taxed less, might save more and this will then finance the next round of investment in industry, thus creating jobs. That second is rather important: it's the flip side of what Ben Bernanke means when he talks about the great global savings glut. Having more savings around will reduce the risk adjusted return to capital, just what everyone is talking about. More savings will thus reduce that rate and so presumably spur more entrepreneurship and so on.
However, we really don't think that either lower capital costs, nor more setting up of new business adventures, is going to have much effect over that short 5-7 years of the business cycle. So, if we're going to measure tax changes and their effects over such a cycle then we're going to miss the two major mechanisms by which we think that high end tax cuts might create more jobs.
I would thus read this paper as saying that tax cuts for the lower paid do increase job creation (that's good, for I like job creation almost as much as I like tax cuts) and the jury is still out on whether high end tax cuts also increase employment. Simply because the design of this study isn't likely to catch such effects if they do exist.
👏


























































The Tax SystemThe federal tax system relies on a number of different types of taxes to generate revenues. The largest source of funds is the personal federal income tax. According to the Internal Revenue Service (IRS), approximately 43% of tax revenues are generated through this tax. Personal income taxes are levied against income, interest, dividends and capital gains, with higher earners generally paying higher tax rates.
The second largest source of funds for the IRS, accounting for nearly 40% of total revenues, is the payroll tax. The payroll tax is a tax levied at a fixed percentage on salaries and wages, up to a certain limit and is paid equally by both employer and employee. For 2007, the percentage is 6.2% of income up to $97,500, up from $94,200 in 2006. Payroll taxes have become an important source of revenue for the federal government and have grown more quickly than income taxes as the government has raised rates and income limits. Commonly known as the FICA (the Federal Insurance Contributions Act) tax, the payroll tax is used to pay Social Security benefits, Medicare and unemployment benefits. (For related reading, see Introduction To Social Security and Medicare: Defining The Lines.)
The other major sources of revenues for the IRS are corporate taxes, comprising roughly 10% of total taxes, and excise taxes. Excise taxes are a form of federal sales tax, levied on miscellaneous items such as gasoline and tobacco. They account for approximately 4% of the total tax revenue.
A Shifty Tax BurdenThe federal government uses tax policy to generate revenue and places the burden where it believes it will have the least effect. However, the "flypaper theory" of taxation (the belief that the burden of the tax sticks to where the government places the tax) often proves to be incorrect.
Instead, tax shifting occurs. Shifting tax burden describes the situation where the economic reaction to a tax causes prices and output in the economy to change, thereby shifting part of the burden to others. An example of this shifting took place when the government placed a sales tax on luxury goods in 1991, assuming the rich could afford to pay the tax and would not change their spending habits. Unfortunately, demand for some luxury items dropped and industries such as personal aircraft manufacturing and boat building suffered, causing unemployment for many factory workers. Tax shifting must be considered when setting tax policy.
Gross National ProductGross national product (GNP), a measure of a nation's wealth, is also directly affected by federal taxes. An easy way to see how taxes affect output is to look at the aggregate demand equation:
GNP = C + I + G + NX
where:
  • C = consumption spending by individuals
  • I = investment spending (business spending on machinery, etc.),
  • G = government purchases
  • NX = net exports
Consumer spending typically equals two-thirds of GNP. As you would expect, lowering taxes raises disposable income, allowing the consumer to spend additional sums, thereby, increasing GNP. (To learn more, read Economic Indicators To Know.). Reducing taxes, therefore, pushes out the aggregate demand curve as consumers demand more goods and services with their higher disposable incomes. Supply side tax cuts are aimed to stimulate capital formation. If successful, the cuts will shift both aggregate demand and aggregate supply because the price level for a supply of goods will be reduced, which often leads to an increase in demand for those goods. (To learn more, read Economics Basics.)
Tax Cuts and the EconomyTax cuts, when used properly, have stimulated the economy. Many credit President George W. Bush's tax cuts for moving the economy out of recession. Similarly, in 1964, Congress enacted an 18% cut in personal taxes to spur growth. The legislation was designed to encourage consumer spending - many believe that it succeeded admirably as consumers delivered a textbook reaction.
According to a December 2004 article in Celtia.info, a magazine distributed in Celtic countries, tax cuts have also shown positive results in other countries as well. Ireland's recent tax cuts are believed to have improved living standards significantly. For years, the Irish were faced with high unemployment, budget deficits and high taxes. In 1986, Ireland faced a fiscal crisis. After reducing government spending, the government lowered taxes on both individuals and corporations. Over the next 13 years, Ireland's per capita income went from only 63% of the United Kingdom's average to besting it in 2000. Ireland now enjoys one of the highest standards of living in Europe.
According to a May 2007 article in the Herald Tribune, tax cuts in Poland, Slovakia and Hungary before their entry in the EU have spurred economic growth in those countries.
Tax Equity?Because of the ideal of fairness, cutting taxes is never a simple task. Two distinct concepts are horizontal equity and vertical equity. Horizontal equity is the idea that all individuals should be taxed equally. An example of horizontal equity is the sales tax, where the amount paid is a percentage of the article being purchased. The tax rate stays the same whether you spend $1 or $10,000. Taxes are proportional.
A second concept is vertical equity, which is translated as the ability-to-pay principle. In other words, those most able to pay should pay the higher taxes. An example of vertical equity is the federal individual income tax system. The income tax is a progressive tax because the fraction paid rises as income rises.
The Optics and Emotions of a Tax CutReducing taxes becomes emotional because, in simple dollar terms, people who pay the most in taxes also benefit most. If you cut the sales tax by 1%, a person buying a Hyundai may save $200, while a person buying a Mercedes may save $1,000. Although the percentage benefit is the same, in simple dollar terms, the Mercedes buyer benefits more.
Cutting income taxes is more emotional because of the progressive nature of the tax. Reducing taxes 25% on a family with an adjusted gross income (AGI) of $60,000 will save them approximately $2,042. But a smaller 10% tax cut for a family with a taxable income of $150,000 would save them $3,333.
It seems that every politician who opposes tax cuts uses this imbalance to fight the cut. Tax cutters are always open to the rich versus the poor argument. Even when tax cut proposals eliminate the taxes altogether for lower income individuals, some critics still maintain the cuts support the rich. This is true, in a sense, but if a tax cut generates broad-based increases in disposable income, it is likely that people who pay the most in tax dollars will save the most. In other words, those who do not pay taxes cannot benefit from a tax cut
A Taxing DecisionAnother problem for tax cut advocates is balancing the budget. Cutting taxes, at least theoretically, reduces government revenues, which creates a budget deficit. To counter this deficit, the government could cut spending. However, critics of tax cuts would then argue that the tax cut is helping the rich at the expense of the poor. That said, cutting taxes generally increases disposable income, which can boost consumer spending, directly enhancing GNP. If tax cuts succeed in increasing economic growth, the rich and poor may both benefit.
Jakarta (ANTARA News) - "Walaupun masih ada risikonya, tapi dibandingkan dengan masalah-masalah tahun lalu ini jauh lebih baik, yakni di komoditas dan perkembangan ekonomi yang lainnya sehingga kita lebih optimis lagi," kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, di Jakarta, Jumat. Biro Pusat Statistik menyatakan, pertumbuhan ekonomi nasional pada 2016 cuma 5,02 persen; meleset dari perkiraan banyak pihak. Kalla optimistis karena penerimaan dan pertumbuhan di daerah, serta harga komoditas mulai membaik.

Dia juga menepis anggapan pemerintah pesimistis mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di 2017 karena performa pertumbuhan di 2015 dan 2016 yang cenderung melambat.

Menurut dia, pemerintah tidak pesimistis, namun hanya mengharapkan peningkatan yang sedikit lebih baik karena pada 2015 dan 2016, penerimaan dan pertumbuhan di daerah tidak efektif serta harga komoditas, seperti batubara, sawit dan bahan tambang serta mineral sangat jatuh di pasaran.

Namun, sejak akhir 2016 hingga memasuki kuartal pertama 2017, Kalla melihat harga komoditas-komoditas itu telah naik, antara lain batubara dari 50 dolar AS per ton menjadi 80 dolar AS per ton dan minyak bumi dari 30 dolar AS per barel menjadi 50 dolar AS per barel.

"Tentu ini khan karena stok di negara, seperti China menurun. Kita harapkan pendapatan negara dan masyarakat juga naik sehingga pajak naik, penerimaan naik, dan kita dapat menjalankan APBN yang lebih baik dibandingkan tahun lalu, walaupun sudah kita kurangi juga," kata dia.

Terkait efektivitas penerimaan pajak, dia juga optimistis akan lebih baik karena proses perpajakan yang lebih luas dan adanya pengampunan pajak.

"Dua hal saja itu lebih baik, walaupun ada risiko global lagi akibat Amerika ke China, dan sebagainya, tapi tetap lebih baik daripada tahun sebelumnya," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan, pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 dapat bergerak di angka 5,4-5,7 persen dengan angka dasar 5,1 persen. 
Editor: Ade Marboen
👪

JAKARTA (KRjogja.com) - Perekonomian Indonesia diprediksi bisa tumbuh menjadi salah satu yang terkuat di dunia. Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan Perusahaan jasa profesional PricewaterhouseCoopers (PwC).
Dalam laporannya yang berjudul “The Long View: How Will The Global Economic Order Change by 2050?" tersebut, ekonomi Indonesia diprediksi bisa mendidiki peringkat kelima terkuat di dunia pada 2030. Hal ini meningkat 3 tingkat yang di tahun 2016 berada di urutan 8.
Pada 2030, PDB Indonesia akan berada di angka US$ 5.424 miliar. Melansir laman pwc.com, Jumat (9/2/2017) perekonomian Indonesia dan negara berkembang yang tergabung dalam Emerging 7 (E7) akan jadi motor penggerak ekonomi global.
Ekonomi negara E7 akan mampu tumbuh rata-rata 3,5 persen selama 34 tahun mendatang. Angka ini lebih besar dibanding perekonomian negara maju yang hanya tumbuh 1,6 persen selama lebih dari 30 tahun mendatang.
Di tahun 2050, kekuatan perekonomian Indonesia diprediksi makin meningkat dan duduk di peringkat empat dunia. Hal ini mengalahkan beberapa negara maju lain seperti Jerman, Inggris hingga Jepang.
Tahun 2050, Pendapatan domestik bruto Indonesia bisa mencapai US$ 10.502 miliar. PwC mengukur kemajuan ekonomi 32 negara melalui prediksi PDB dan paritas daya beli.
Paritas daya beli (purchasing power parity) atau keseimbangan kemampuan berbelanja dalam ilmu ekonomi adalah sebuah metode yang digunakan untuk menghitung sebuah alternatif nilai tukar antar mata uang dari dua negara.(*)


SUMMARY OF KEY POINTS 
  • Private sector growth is a key contributor to alleviating poverty 
  • Interventions to promote growth must promote inclusivity and minimise risks associated with inequality 
  • The private sector already ‘does’ development and has a shared interest in achieving ‘development outcomes’ 
  • In order that aid can be used effectively and achieve value for money, donors need to be fully apprised of the context(s) in which they seek to operate 
  • The private sector of the Pacific is not the same as the private sector of Australia 
  • The private sector of one Pacific island country may differ significantly from the private sector of another Pacific island country owing to a number of factors 
  • Interventions to support private sector growth in the Pacific island region should focus on ‘home-grown’ businesses not on businesses located in Australia 
  • To develop the private sector, a diversity of markets needs to be identified and the significance of domestic markets should not be overlooked 
  • There is much that we already know and this knowledge needs to be brokered and leveraged effectively to enhance future activities 
  • To maximise available opportunities and alleviate the burden of transaction costs, bilateral and multilateral donors need to work together strategically 
  • Regional ‘solutions’ should be approached with caution 
  • Opportunities to work with sub-regional groupings should be explored
INTRODUCTION
Private sector growth is widely acknowledged to be an essential component in the alleviation of poverty as a means of providing more and different economic opportunities in any given society. However, to focus on growth alone generates a risk of creating or exacerbating inequality and this is particularly hazardous in small countries that are in the midst of rapid transition from subsistence-based economies to those that are increasingly cash-based. Development interventions, including use of aid money, must first ‘do no harm’ in relation to inequality and then act to enhance inclusivity not only in relation to opportunity but also when it comes to benefitting from increased economic growth at the national level.
This submission is provided as a means of informing the inquiry as to the context of private sector engagement in the Pacific island region. This submission does not focus on the private sectors of Australia and Papua New Guinea (PNG). Rather it is intended to provide useful background information regarding the private sectors of other, smaller economies of Melanesia and the wider Pacific region (e.g. Vanuatu, Solomon Islands, Samoa).
Before moving to more practical issues, there is a question of ideology to be addressed: is it good practice for private sector organisations to be given money from the aid budget in order to pursue 'for profit' activities in the hope that they will also deliver development outcomes?
Many Pacific island businesses already 'do' development. The terminology they use may differ from mainstream 'development speak', and the drivers of business may be different, but development objectives are most certainly achieved. Providing regular employment over a long period of time leads to improved livelihood for workers and their families, including increased access to education, health services and more. Private sector operatives have a shared interest in the countries in which they work being secure and stable with healthy, well-educated populations.
However, it is hard to assess this impact either in any one country or across the Pacific island region. This is partly because the private sector is exactly that, private. In addition, the costs associated with collecting this information are high compared to the amount of data collected, owing to the small size of the formal business sector in each country.
THE IMPORTANCE OF UNDERSTANDING CONTEXT
There are several aspects of context that need to be appreciated and interrogated in order
that any interventions are ones that will maximise available opportunities and minimise
risks. The importance of context cannot be underestimated and requires appropriate
investment, whether in relation to design, implementation or evaluation of aid-funded
activities. This not only enhances effectiveness but also contributes to achieving value for
money.
Private Sector Context
Historically, aid agencies and their staff have had limited exposure to or engagement with those who work in the private sector, other than as procurers of goods and services. Observations have indicated that there was an absence of a real and nuanced understanding of what business is and what the drivers of business actors actually are. Unless and until donors inform themselves of some basic tenets of what private sector entities do and do not do, meaningful engagement will be hard to bring about. Time and again complaints come from private sector actors who have been ‘engaged’ that ‘no-one in the aid programme has ever run a business’ – this is somewhat glib and sweeping but what it indicates is that people who are in business do not feel that the engagement is valid because there is no shared understanding of what business is or is not. It is likely that the converse also applies: that  many members of the business communities in the Pacific island region do not have a sophisticated or nuanced understanding of what development partners do beyond the project/program level.
Pacific Island Context
'Engaging with the private sector' is a broad formulation. It remains somewhat unclear to what extent this engagement is intended to be with Australian private sector players, the private sectors of the Pacific, or both.
With the obvious exception of PNG (and, to a lesser extent, Fiji) and very small inroads elsewhere (and leaving aside obvious examples such as ANZ and Westpac), Australian companies are not present in the private sectors of the region in meaningful terms. While there may be advantages to encouraging Australian companies to set up shop in the larger economies of South East Asia, the reality in Pacific island countries — with the notable exception of PNG — is that markets are generally too small to be attractive or to justify set- up costs.
It is important to be clear that what 'works' for the private sector in Australia will not necessarily work for private sector operations in the Pacific. Perhaps more importantly, the approach to private sector engagement in one Pacific island country will not necessarily be appropriate in another. A number of factors are likely to affect what type of engagement is going to be best in each environment, including national investment  policies and procedures, legal frameworks and regulatory requirements for business registration and operations.
It is to be hoped that the envisaged private sector engagement comprises elements designed for 'home grown' businesses, and there are indications that this will be the case. While visiting Vanuatu late last year, Foreign Minister Julie Bishop announced an allocation of $15 million over five years to the Pacific Business Fund (via the Asian Development Bank) to provide business advisory services to over 250 companies in the region. This appears to build on one of the key lessons learned from the experience of the Enterprise Challenge Fund (ECF)1and bears further comment, as it illustrates the importance of knowing the environments in which these activities are intended to operate.
It is likely that challenge funds (or similar modalities) will be more effective if linked to business advisory services. However, this is a space that is becoming quite crowded especially in the Pacific and there will be a need for co-ordination here in order to maximise positive outcomes.2 Activities aimed at providing more and improved business advisory service need to be nuanced and adopting a ‘cookie cutter’ approach should be avoided. Not all businesses need the same types or levels of support at the same time. Needs may vary according to sector, type and size of business, existing capacity, the location in the business life cycle and the type of any additional technical assistance required from external sources. It is also important to recognise that not every environment is equipped with enough business service providers (accountants, lawyers, financial advisers, graphic designers (for packaging, marketing and so on) etc.) to be able to provide the types and levels of support required. Whilst it might be tempting to go down the track of setting up some sort of ‘regional facility’ approach to delivering services of this type, it is necessary to ensure that appropriate recognition is made of differing regulatory regimes and investment strategies between countries. This is another lesson that should be learned from the ECF experience; the systems and procedures associated with this programme were lacking in this regard, at least in the early stages.3In relation to the provision of knowledge and advisory services it is recommended that they should be provided more broadly rather than at the level of individual firms and projects. The reason for this is that environmental enabling is important and there is value in enabling the overall environment so as to (over time) reduce the need for project subsidies.
There has been some discussion of modifying the challenge fund methodologies so that public subsidies are linked to results and more recently this concept has been explored within the context of Development Impact Bonds (DIB), which are about to be trialled in Uganda and Rajasthan4. More needs to be learned about this approach and particular attention needs to be given to their potential (and potential limitations) in small economies such as those of the Pacific island region.5
THE IMPORTANCE OF IDENTIFYING A DIVERSITY OF MARKETS
Much of the literature on developing economic growth in  the Pacific island region has tended to focus on the importance of developing export potential and many of the perennial challenges that have been identified as affecting these economies arise within this paradigm. Other than large-scale resource extraction, which is not available in many Pacific island countries, there are very few opportunities to develop exports to the extent that justifies the associated costs.
There has historically been a focus on agriculture, with copra having featured heavily. However, price fluctuations on the world market make this a difficult activity to sustain over time without the use of subsidies. Other agricultural products that have had some success in terms of volume are coffee and cocoa.
However there is more to be done in assisting Pacific island countries in identifying a diversity of markets, whether for agricultural produce or other economic activities, such as tourism.
Domestic markets
An issue that is often overlooked within the context of this debate is the significance of domestic markets to economic growth. Whilst it is true that domestic markets in Pacific island countries are small, it is also the case that they are accessible and that they are growing both in terms of absolute numbers6 and in terms of an emerging ‘middle class’ with growing disposable incomes.
In addition, the nature of domestic markets, particularly with reference to agricultural produce, is changing as a result of increasing urbanisation and more people participating in the formal economy. Lack of access to gardens and/or lack of time to prepare traditional foods are leading to a reliance on imported, highly processed foods. This has serious implications both in terms of health and food security. Improved supply and value chains between primary producers and urban centres are required to address these issues.
In some countries (e.g. Vanuatu, Fiji, Cook Islands) there is a particular subset of the domestic market for agricultural and cultural products, which is the tourism sector. More needs to be done to improve linkages between primary producers and purchasers within this  sector,  notably  hotels,  resorts  and  restaurants.  For  purchasers,  key concerns are assuring regularity of supply both in terms of quantity and quality and this means that opportunities for establishing aggregators exist and can be further explored and developed.7
Niche products
Rather than trying to overcome entrenched barriers to developing exports on a large scale (including distance from major markets, susceptibility to natural disaster and lack of skilled labour forces), more attention should be paid to developing niche agricultural products that are low volume and higher return. Examples include vanilla, chocolate and specialty nut products. There are opportunities for Pacific island countries to benefit from increasingly sophisticated consumer choices with a focus on organic and ethical production plus the demand for products that come with a ‘story’ attached. Development of these activities is also focused on increased value adding in country, which fosters skills development as well as improved economic returns.
Australia would be expected to be a significant market for products of this type although there are opportunities to access and exploit other opportunities, including in Asia and Europe depending on the particular product.
A particular area for concern here (and  one which requires a ‘joined up’ approach to development from the government of Australia) is that of quarantine restrictions, which already prove a very significant barrier to Pacific island countries seeking to export agricultural produce to Australia. More needs to be done to assist Pacific island countries to navigate Australian regulatory procedures in order to access this market now and in the future.8
THE IMPORTANCE OF COOPERATION AND COLLABORATION
What do we already know?
There is much to be learned from what has already gone before. The concept of donors (bilateral and multilateral) engaging with and developing the private sector in the Pacific is not new and the space is quite crowded.  This indicates that there is a need  to  invest appropriate resources in establishing what is already known about context, about what works and, possibly more importantly, what doesn’t or hasn’t so far. There are also lessons to be learned from donor activity in other parts of the world (e.g. DFID’s use of challenge funds in Africa). Whilst it is certainly possible to overplay Pacific ‘exceptionalism’, it is important to maintain a very real sense of how and why the region is different (politically, culturally, geographically, etc.) and ensure that these differences are acknowledged and accommodated.

Working together for effectiveness and value for money
In relation to integration of effort, bilateral and multilateral donors should be doing this already with particular reference to the Cairns Compact. Engagement with the private sector is not new either globally or in the Pacific island region. Numerous players already have runs on the board, including Pacific Islands Trade and Invest, the Asian Development Bank, the International Finance Corporation and the European Union, each of which have run several activities receiving co-financing from Australia and/or New Zealand. They have good information to share, based on experience and networks in individual countries. Australia has learning of its own to add  from  previous  activities  in  this  area,  including  the pilot Enterprise Challenge Fund for the Pacific and SE Asia, which concluded recently.
As the drive for private sector engagement moves from policy articulation to implementation, we would hope to see a real commitment to donor integration and cooperation, as envisaged by the Cairns Compact. Private sector entities in the Pacific island region have small management teams (often the senior management is one person) so there is limited capacity and tolerance for accommodating multiple teams of consultants scoping, designing, monitoring and evaluating the (apparently) same thing.
There is certainly more scope for domestic actors (governments, business groups, civil society) to drive greater integration from their side of the fence and also lead by example – if they come together as a coalition for change around a particular issue and can then present a united front ‘upwards’ to donors then there will be an added pressure for donors to integrate more. Generally, donors should welcome this sort of approach. However, the current reality is that this type of activity is not well established in Pacific island countries, whether in this arena or others.
In terms of how this operates at country or regional level, the key is to be well informed as to what is actually happening on the ground and  this requires time and energy to be invested in relationship building and establishing good channels of communication, including some fairly basic project management components such as using the right location, communicating in the most appropriate language, having realistic expectations as to how much time private sector people can devote to things that are not directly linked to their core business, etc.
It is already apparent that transaction costs are high in the Pacific. The IFC reports that it costs them $3 for every $1 of finance provided. To a certain extent, this is something that just has to be accepted. The nature of business in the Pacific island region (including the business of aid) is such that it is a costly exercise. However, there are opportunities for donors to share resources (including information) and work strategically to achieve savings at a meaningful level. This may require adjusting and aligning processes in some areas (e.g. around design, reporting and M&E).
Regional vs national strategies
Adopting regional approaches to delivering services has been a long-held tenet of the way forward for Pacific regional integration and economic development. It forms an integral part of the Pacific Plan for Strengthening  Regional Cooperation and  Integration.  In  terms of overcoming the diseconomies of scale associated with Pacific island states, especially the microstates, centralisation of service provision (including service provision to the private sector) would appear to make a lot of sense. It is an approach that is attractive to donors as it reduces overheads and administrative costs to a degree. However, despite many years of attempting to deliver a range of services (including education, shipping, air transport, audit services, bulk procurement…) there has been very little done in terms of assessing the extent to which regional service providers have succeeded in delivering on their mandate. Research undertaken by this author and Dr Matthew Dornan of the Development Policy Centre during 2013 sought to rectify this deficit and established the following:
The Pacific experience with pooling of services has been one of mixed fortunes. Of the 20 initiatives where pooling of services was a primary objective, 11 could be considered to have achieved some success. Eight initiatives were found primarily to be failures, and one could not be evaluated due to its recent establishment. Initiatives were assessed on the basis of whether pooling was effective; some initiatives that were failures in this respect were nevertheless successful examples of cooperation between states. It was clear that initiatives whose areas of focus are non-commercial have fared better than those that have ventured into commercial areas such as transportation services (e.g. Air Pacific and the Pacific Forum Line). 9
This is not to say that regional service delivery in the area of private sector support is never appropriate or successful. Indeed, Pacific Islands Trade and Invest was assessed to be one of the more successful ‘pooling’ activities that were examined.10
However, seeking to establish new forms of regional service delivery is something that should, in general, be approached with caution.
Due consideration should also be given to the potential for working at the sub-regional level which is where it is expected that future successes in sharing resources and delivering services are likely to be. The obstacles that exist to regional service provision may be more easily overcome when working at the subregional level. The Melanesian Spearhead Group has already commenced work on addressing a number of service provision needs collectively (shipping, tourism marketing, bulk procurement of pharmaceuticals) and has been explicit in its desire to work with the private sector in these areas.
[1] Disclosure: Tess Newton Cain was the country manager (Vanuatu) of the ECF between 2008 and 2010.
[2] See below for further points regarding the importance of collaboration and coordination by donors.
[3] See below for further comments on adopting a regional approach to private sector support.
[4] See, further, Rita Perakis (2014) ‘Two DIB Pilots Will Test New Development Partnerships’ on Views from the Center blog: http://www.cgdev.org/blog/two-dib-pilots-will-test-new-development-partnerships?utm_content=buffer8c435&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_camp aign=buffer.
[5] See, further, Center for Global Development (2013) ‘Investing in Social Outcomes: Development Impact Bonds.’ Report of the Development Impact Bond Working Group, http://international.cgdev.org/publication/investing-social-outcomes-development-impact-bonds.
[6] This applies in Melanesian countries where populations are growing although not as fast as might previously have been thought. It needs to be recognised that this does not apply throughout the region and indeed there are some places (e.g. Cook Islands) where the opposite holds true.
[7] See, further, Astrid Boulekone & Tess Newton Cain (2014) ‘Pacific Conversations: Private Sector Development in Vanuatu with Astrid Boulekone’ on Devpolicy blog: http://devpolicy.org/pacific- conversations-private-sector-development-in-vanuatu-with-astrid-boulekone-20140306/.
[8] See, further, Wesley Morgan (2013) ‘Growing Island Exports: High Value Crops and the Future of Agriculture in the Pacific’, Crawford School Research Paper No. 05/2013.
[9] Matthew Dornan and Tess Newton Cain (2013) ‘Regional Service Delivery in the Pacific – Have Expectations Been Met’, Devpolicy blog http://devpolicy.org/regional-service-delivery-in-the-pacific- have-expectations-been-met/.
[10] See, further, Matthew Dornan and Tess Newton Cain (2013) ‘Regional Service Delivery among Small Island States of the Pacific: An Assessment’, Asia and the Pacific Policy Studies (APPS) Working Paper Series 04/2013.

Komentar

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ihsg per tgl 2-17 OKTOBER 2017 (pra BULLISH November-Desember 2017)_01/10/2019

  RIBUAN PERSEN PLUS @ warteg ot B gw (2015-2017) ada yang + BELASAN RIBU PERSEN (Januari 2017-Oktober 2017) kalo bneran, bulan OKTOBER terjadi CRA$H @ IHSG, well, gw malah bakal hepi banget jadi BURUNG PEMAKAN BANGKAI lah ... pasca diOCEHIN BANYAK ANALIS bahwa VALUASI SAHAM ihsg UDA TERLALU MAHAL, mungkin satu-satunya cara memBIKIN VALUASI jadi MURAH adalah LWAT CRA$H, yang tidak tau disebabkan oleh apa (aka secara misterius)... well, aye siap lah :)  analisis RUDYANTO @ krisis ekonomi ULANGAN 1998 @ 2018... TLKM, telekomunikasi Indonesia, maseh ANJLOK neh, gw buru trus! analisis ringan INVESTASI SAHAM PROPERTI 2017-2018 Bisnis.com,  JAKARTA – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini, Selasa (1/10/2019), akan mendapat sentimen positif dari hijaunya indeks saham Eropa dan Amerika Serikat pada perdagangan terakhir bulan September. Berdasarkan data  Reuters , indeks S&P 500 ditutup menguat 0,50 persen di level 2.976,73, indeks Nasdaq Comp

ihsg per tgl 15 Desember 2014

JAKARTA – Investor asing dipastikan masih bertahan di Indonesia. Kendati bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga hingga 100 bps tahun depan, imbal hasil (yield) portofolio di Indonesia tetap lebih atraktif, sehingga kenaikan Fed funds rate tidak akan memicu gelombang pembalikan arus modal asing (sudden reversal). Imbal hasil surat utang negara (SUN) dan obligasi korporasi Indonesia bertenor lima tahun saat ini berkisar 7-8%, jauh lebih baik dibanding di Eropa dan AS yang hanya 2-2,5%. Begitu pula dibanding negara-negara lain di Asia, seperti Korea dan Thailand sebesar 2,5-3,5%. Di sisi lain, dengan pertumbuhan laba bersih emiten tahun ini sebesar 10-15% dan price to earning ratio (PER) 14 kali, valuasi saham di bursa domestik tergolong murah. Masih bertahannya investor asing tercermin pada arus modal masuk (capital inflow). Secara year to date, asing membukukan pembelian bersih (net buy) di pasar saham senilai Rp 47,54 triliun. Tren

Waspada: ekonomi 2024

  INFLASI: +0.04% (Januari 2024) INFLASI: +0.34% (Februari 2024) INFLASi: inflasi pangan Maret 2024 PDB: +5.05% (2023, yoy) Cadangan Devisa : $144 M, aza Cadangan Devisa: $140,4 M, aza Cadangan Devisa : $136,2 M (April 2024) SBY v. Jokowi: ekonomi yang lebe bagus 🍒