Langsung ke konten utama

PESIMIS @ ekonomi 2017

šŸ‘€

Simon Saragih, Wartawan Senior Kompas
Asian terus tumbuh dan berperan sebagai penggerak perekonomian dunia. Hal ini terjadi karena permintaan domestik yang tinggi dan kebijakan yang akomodatif di Asia. Akan tetapi ada risiko signifikan yang harus diantipasi dalam waktu dekat.
Hal ini menjadi semacam nasihat yang disampaikan oleh Wakil Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Mitsuhiro Furusawa dalam sebuah seminar di Tokyo, Minggu, 4 Juni 2017.
Furusawa mengatakan, meski prospek cerah namun, “ada bayang kelabu dalam waktu dekat bernuansa ketidakpastian dan risiko yang signifikan.”
Hal itu adalah potensi efek negatif dari ketidakjelasan kebijakan ekonomi di AS. Hal lain adalah pertumbuhan di China yang kuat tetapi ditopang kucuran kredit perbankan yang “sembarangan”. Dengan dunia yang saling tersambung, gejolak di sebuah negara mudah menjalar ke negara-negara lain.
Terkait AS ada ketidakjelasan tentang anggaran pemerintah yang mengalami defisit tinggi sehingga harus ditutupi dengan utang. Bagaimana menutupi defisit karena syaratnya adalah pagu utang, yang sudah mencapai 19,7 triliun dollar AS, harus dinaikkan. Belum ada kesepakatan antara kubu Republikan dan Demokrat tentang kenaikan pagu utang, yang harus sudah beres pada Agustus 2017.
Masih terkait AS, Fursawa menambahkan ada juga risiko bagi pinjaman internasional jika swaktu-waktu AS menaikkan suku bunga domestik. Hal ini berpotensi menaikkan beban bunga pinjaman asing di Asia.
Risiko lain adalah kredit perbankan domestik China yang menggelembung. Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service sudah menurunkan peringkat kredit perbankan China dari Aa3 menjadi A. Ini menandakan kekuatan pasar pinjaman perbankan melemah walau masih tergolong baik dibandingkan dengan banyak negara lain.
Di harian Inggris The Financial Times edisi 24 Mei, seorang peneliti bernama George Magnus dari China Centre at Oxford University menyebutkan ada aliran kredit perbankan domestik China yang tergolong sembarangan.
Kurang penilaian dari perbankan tentang kelayakan saat mengucuran kredit. Hal seperti ini berpotensi menaikkan status kredit masalah dan jika terus membesar akan melahirkan efek domino negatif bagi kawasan lain. Indonesia termasuk negara yang semakin erat hubungan ekonominya dengan China.
Dari sisi Eropa Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi menyebutkan situasi perekonomian membaik tetapi tidak cukup kuat untuk menyerap penggangguran yang masih tinggi.
Semua itu merupakan risiko jangka pendek yang harus menjadi perhatian bagi Asia. Saran Furusawa menghadapi potensi negatif seperti itu adalah agar setiap negara mengamankan dengan kebijakan yang akomodatif. Intinya, agar negara-negara di Asia selalu waspada untuk menghapi risiko dalam waktu dekat yang siap meletus.
Pengalaman empiris menunjukkan negara-negara yang visioner dan cermat dalam mengantisipasi krisis global selalu menjadi negara yang relatif aman dari goncangan. (Reuters/AP/AFP)
šŸ’¤

market views: In the four years between 1993 and 1996 the tiger economies of Asia led the world in terms of gross domestic product (GDP) growth and stock market returns as foreign and local investors piled in and embraced the opportunity. But trouble was brewing and Thailand was the canary in the coal mine. Strong growth was being funded by ever increasing levels of debt and with offshore interest rates far more attractive than those available at home, US dollars became the funding currency of choice.

While currencies remained pegged to the US dollar risks were minimal but as a growing trade and current account deficit and rising inflation led to increasing overvaluation of the Thai Baht, speculation grew and short-term money started to move out of the Thai currency.

In July 1997, after a futile attempt to stem the outflow, the Thai central bank removed the peg triggering an immediate 25% fall in the currency – by the end of the year it had lost half of its value. The impact on the economy was devastating. Interest rates initially spiked making dollar debt signficantly more expensive. Loans started defaulting, peaking at almost 50% of total loans in 1999. The figures reflect the severity of the downturn: GDP took five years to return to pre-crisis levels, consumption – the use of good and services by households – was four years, and private sector loan growth only returned to positive territory in 2002.


Although Thailand was the trigger, the ticking time bomb of unhedged foreign currency debt[1] and a  prolonged period of over-exuberance prevailed across all of South East Asia.  The Philippines and Malaysia were also significantly impacted but the most significant downturn occurred in Indonesia, which, although running a current account deficit only half the size of Thailand, saw its currency go from 2000 rupiah to the US dollar to 16000, and bank loan books fill up with defaulting loans.

Contagion and a severe lack of confidence dented the whole region and although Hong Kong managed to hold on to its peg to the US dollar, a prolonged period of high interest rates and slower growth resulted in a 40% fall in residential property prices and a deflationary period that took many years to recover from. Even South Korea, which was the 11th largest global economy at the time, had to call in the International Monetary Fund (IMF) as interest rates ballooned and the currency weakened.

The recovery, which on average took more than 5 years, was supervised by stringent IMF requirements and has put Asian economies on a much firmer footing. With a few exceptions Asian currencies are free floating, meaning their value is determined by the foreign exchange (forex) markets through supply and demand, and as a result they have much more flexibility to reflect domestic economic cycles ensuring that pressures don’t build. Current and trade accounts, with the exception of India and Indonesia, are now in surplus, with the practice of unhedged foreign borrowing all but ended. Short term foreign debt in ASEAN (the Association of South East Asian Nations) nations has dramatically dropped from 160% to now less than 30%.

The Global Financial Crisis (GFC) in 2008 was borne out of exuberance in the West but not in the East and although Asian economies were impacted by the slowdown in global growth, Asian economic credibility was never called into question.

The only economy that is showing a worrying trend is China. A credit boom following the GFC has seen debt-to-GDP balloon from 160% in 2008 to 260% in 2017. The nature of this debt however is different from that accrued by South East Asian Countries in the late 1990’s. Firstly, most of the debt lies with state owned enterprises (SOEs) and is hence backed by the >$3tn worth of foreign exchange reserves, and most of it is denominated in renminbi. Secondly, although China operates a managed exchange rate regime against a basket of trading currencies, the capital account is closed which restricts the amount of speculative flows. Finally, a lot of the debt is owned by domestic institutions and is long term in nature which reduces the likelihood of enforced withdrawal leading to a liquidity crisis.

The impact of the Asian crisis lives long in the memory of Asian corporates. The days of rapid expansion and growth for the sake of growth have gone and been replaced by conservatism and a focus on cash flow and profitability. Corporate debt levels are at all-time lows while cashflow compares favourably to any other region of the world. Interestingly it is developed economies that are now showing the stresses Asia encountered and recovered from 20 years ago; Asia in comparison looks favourable.
šŸ‘Ŗ 
Bisnis.com, JAKARTA -- Pergerakan pasar saham Indonesia dibayangi oleh arus investasi asing melalui reksa dana yang dapat diperdagangkan (exchange traded fund/ETF) berisi saham-saham big caps di Bursa Efek Indonesia. 

Director and Head of Equity PT BNP Paribas Investment Partners Aliyahdin Saugi memaparkan empat risiko yang mempengaruhi kinerja pasar modal Indonesia pada tahun ini. Pertama, momentum pertumbuhan laba emiten yang melambat sehingga membuat valuasi saham terlihat mahal. 

Kedua, valuasi saham di seluruh dunia sedang berada pada posisi tertinggi sejak krisis 2008. Kondisi tersebut berisiko memicu aksi ambil untung para investor. 

Ketiga, inflasi Indonesia berada pada level yang relatif rendah. Dari sudut pandang negatif, rendahnya inflasi dapat diasumsikan sebagai lesunya perekonomian sehingga membuat investor khawatir terhadap tingkat pengembalian investasinya. 

"Ada juga risiko dari flow ETF yang beberapa bulan terakhir banyak outflow untuk profit taking. ETF asing banyak koleksi big caps," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia, Senin (14/8). 

Menurutnya, investor asing banyak yang berinvestasi di pasar saham Indonesia melalui wadah ETF. Arus investasi ETF, lanjut Aliyahdin, akan ditentukan oleh kinerja pertumbuhan pendapatan dan laba emiten. 

BEI mencatat nilai transaksi investor asing sepanjang Januari hingga akhir Juli 2017 mencatatkan beli bersih senilai Rp6,73 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan beli bersih investor asing sebesar Rp16,17 triliun sepanjang tahun lalu. 

Lantas sepanjang pekan lalu, asing kembali membukukan jual bersih sebesar Rp1,15 triliun sehingga net buy menyusut menjadi Rp4,29 triliun per Jumat (11/8).

Senada, Direktur Utama Samuel Asset Management Agus Yanuar mengatakan secara historis investor asing cenderung jual bersih pada periode musim panas. Aksi jual bersih terutama dilakukan oleh manajer investasi asing yang mengelola ETF yang sebagian portofolionya berisi efek saham di Indonesia. 

"ETF asing ambil untung sejak awal tahun karena IHSG dan rupiah menguat, mereka profit taking," kata Agus. 

Saat IHSG mencetak return 10,06% pada akhir semester I/2017, investor asing berpotensi mengantongi imbal hasil lebih tinggi 1% menjadi sekitar 11% seiring rupiah yang cenderung menguat terhadap dolar AS kendati The Fed menaikkan tingkat bunga acuannya. 

Hingga Jumat (11/8), IHSG ditutup pada level 5.766,14 atau mencetak kenaikan 8,86% sepanjang tahun ini. Kinerja IHSG secara year-to-date berada pada peringkat ketujuh di antara bursa acuan dunia setelah Hang Seng Hong Kong dengan kenaikan 22,19%, S&P Sansex India 17,19%, PSE Index Filipina 15,9%, Kospi Korea Selatan 14,47%, FTSE Strait Times Singapore 13,85%, dan DJIA Amerika Serikat 10,53%.
šŸ˜ˆ
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan indeks tendensi konsumen (ITK) pada kuartal III/2017 mencapai 103,29. Hal itu menunjukkan kondisi perekonomian masyarakat juga meningkat jika dibandingkan pada kuartal sebelumnya .
“Perkiraan meningkatnya kondisi ekonomi konsumen disebabkan oleh meningkatnya perkiraan pendapatan rumah tangga mendatang dengan nilai indeks 103,84, dan rencana pembelian barang tahan lama, rekreasi, dan pesta/hajatan dengan indeks 102,32,” kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/8/2017).
Namun dibalik peningkatan kondisi ekonomi tersebut, tingkat optimisme konsumen justru diperkirakan lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal II/2017. Indeks tendensi konsumen ialah indikator perkembangan ekonomi konsumen yang dihasilkan melalui survei terhadap 13.899 rumah tangga. Indeks ini menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada triwulan berjalan dan perkiraan triwulan mendatang.
Penurunan kepercayaan pada diri konsumen juga dialami oleh pebisnis. Memasuki kuartal III/2017, BPS memperkirakan indeks tendensi bisnis (ITB) berada di posisi 108,82 atau lebih rendah bila dibandingkan ddengan kuartal sebelumnya yang mencapai 111,63. Kendati demikian, indeks tersebut menggambarkan pebisnis masih cukup optimistis dengan kondisi bisnis pada kuartal III/2017.
šŸ’™
Jakarta detik - Pasar saham merespons negatif data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2017 yang tumbuh 5,01%. Angka tersebut tidak sesuai harapan dari pelaku pasar modal.

Respons negatif dari pelaku pasar modal terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merosot secara tiba-tiba. Pada sesi I perdagangan kemarin, IHSG terus menguat bahkan menyentuh level tertinggi 5.812. Namun di pertengahan sesi II langsung merosot jauh ke zona merah dan berakhir melemah 28,19 poin atau 0,49% ke 5.749.

Menurut Kepala Riset MNC Sekuritas, Edwin Sebayang, pergerakan IHSG tersebut menjadi gambaran kekecewaan pelaku pasar terhadap kondisi ekonomi Indonesia di kuartal II-2017. Seharusnya dengan adanya Lebaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih baik.

"Kami di pasar kecewa dengan pertumbuhan ekonomi yang flat dengan kuartal satu kemarin. Secara historis itu di kuartal II, PDB (Pendapatan Domestik Bruto) harusnya tumbuh apalagi ada hari raya (Lebaran)," tuturnya saat dihubungi detikFinance, Selasa (8/8/2017).



Pelaku pasar sebenarnya berharap pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2017 berada di level 5,08%-5,1%. Dengan begitu, masih ada kesempatan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah tahun ini sebesar 5,2%.

Kekecewaan pelaku pasar juga tercermin dari keluarnya dana asing di pasar saham. Kemarin, investor asing melakukan aksi jual dengan catatan net sell Rp 347 miliar.

"Itu jadi semakin confirm mereka (investor asing) keluar karena perlambatan pertumbuhan ekonomi. Enggak heran asing keluar hampir sekitar Rp 23 triliun selama 2 setengah bulan," tambah Edwin.



Pelaku pasar juga kecewa dengan catatan laju konsumsi rumah tangga yang masih melambat. Pada kuartal II-2017, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 4,95%, lebih rendah dibanding kuartal II-2016 sebesar 5,07%. Penurunan konsumsi rumah tangga pun seakan terasa terhadap kinerja keuangan para emiten ritel di semester I-2017 yang sebagian mengalami penurunan.

Sementara Analis First Asia Capital, David Sutyanto, menilai lesunya konsumsi masyarakat sebenarnya juga disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah sendiri. Seperti semakin ketatnya kebijakan perpajakan.

"Apalagi barang mewah dinaikkan pajaknya, akhirnya kita kehilangan PDB. Memang ada berbagai situasi yang membuat masyarakat kelas menengah turun," ujarnya.



Selain itu, menurut David, dengan didorongnya penggunaan jaminan kesehatan lewat BPJS Kesehatan kepada seluruh masyarakat, juga mempengaruhi konsumsi rumah tangga terhadap obat-obatan. Tidak hanya itu, dengan dicabutnya subsidi BBM juga turut mempengaruhi konsumsi rumah tangga.

"Memang di satu sisi baik bagi masyarakat karena tidak jadi konsumtif, tapi bagi pertumbuhan ekonomi kita menjadi melambat," imbuhnya.



Sedangkan Kepala Riset Reliance Securities, Robertus Yanuar Hardy, memandang bukan hanya konsumsi rumah tangga yang memprihatinkan, tapi juga konsumsi pemerintah yang justru minus 1,93%. Padahal di kuartal I-2017 tumbuh 2,68%.

"Komponen PDB paling besar itu dari government spending (konsumsi pemerintah) dan consumer spending (konsumsi masyarakat), dua-duanya masih kurang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Yang dapat mendorong di atas 5% itu dari posistifnya neraca perdagangan yang ditopang peningkatan harga komoditas," terangnya.



Kendati begitu, Robertus masih yakin konsumsi pemerintah bisa membaik di semester kedua tahun ini. Hal itu seiring dengan siklus proyek infrastruktur yang tengah menjadi fokus pemerintah.

"Tren peningkatan government spending biasanya terjadi menjelang akhir tahun," tukasnya. (wdl/wdl)

šŸ‘½
JAKARTA kontan. Komposisi kepemilikan efek dari investor asing dan lokal tahun ini menujukkan tren yang berbeda dengan tahun lalu. Dari data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 21 Juli 2017 menunjukkan kepemilikan lokal kini lebih besar daripada asing.
Riska Afriani analis OSO Sekuritas menyatakan pada tahun lalu, asing melakukan nett sell dan membuat domestik mengalami panic selling. Sehingga prosentase perbandingan komposisi tidak berubah. "Tapi berbeda dengan yang sekarang, asing net sell, tapi domestiknya net buy," kata Riska kepada KONTAN, Kamis (3/8).
Jadi menurutnya ini yang membuat harga saham masih cukup bertahan 5700-5800. Bahkan kemarin pada Mei, kondisi yang sama mencatatkan rekor baru. Rekor baru itu pada level 5.800-5.900 ketika asing masih nett sell. "Nah, ketika itu kan berarti domestik masih cukup optimistis terhadap pergerakan saham kita," lanjutnya.
Dia mengatakan hal itu juga semata-mata pengaruh The Fed yang ingin menaikkan suku bunga. Sehingga, adanya nett sell asing bukan karena Indonesia jelek. Pada Juni terdapat keputusan The Fed menaikan suku bunga. Ternyata jadi menaikkan suku bunga untuk kedua kali tahun ini. "Jadinya, di sini juga ada kecenderungan untuk asing melakukan nett sell, ini hal wajar," ujarnya.
Tahun ini, perilaku pasar domestik memang berbeda. Menurutnya, domestik masih mencermati apiknya kinerja kuartal I-2017. Sehingga membuat domestik percaya terhadap pasar Indonesia. Misalnya saja, saham-saham big caps yang memiliki pertumbuhan luar biasa. Baik dari sektor perbankan maupun lainnya.
Dia menyatakan, saat ini kalangan menengah banyak menyimpan dananya di bank. Ada kecenderungan orang untuk membelanjakan sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini direspon oleh pasar, sehingga membuat harga saham terus menurun. "Sebenarnya ini hanya sesaat, sampai akhir tahun, potensinya masih menarik," terangnya.
Dia memprediksi, asing akan kembali masuk lagi ke Indonesia pada akhir kurtal III dan menjelang kuartal IV. Sekitar bulan Oktober November. Pasalnya, asing bukan hanya mencermati laporan keuangan emiten, namun juga data GDP Indonesia, serta defisit APBN yang masih melebar.
Menurutnya, potensi asing masuk kembali ke Indonesia juga besar lantaran mendapat peringkat Standard and Poors. Namun sayangnya, hal itu belum direspon oleh pasar. "Asing saat ini lebih merespon The Fed dan kebijakan Donald Trump," tambahnya.
Selain itu, dia melihat indeks Downjones, S&P dan Nasdaq saat ini valuasinya sudah cukup tinggi. Sehingga ada kecenderungan investor asing mencari saham yang valuasinya lebih murah. "Mereka melihat saham Indonesia yang likuid. Ini juga jadi kecenderungan asing masuk ke pasar saham kita," pungkasnya.
šŸ˜‰

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal I 2017 tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan (yoy). Adapun Bank Indonesia (BI) menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini berada pada kisaran 5 sampai 5,4 persen (yoy).

Ekonom dan pengajar senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) A Tony Prasetiantono menyebut, pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5 persen tersebut sebenarnya bukan angka yang baik bagi Indonesia. Namun, angka ini lebih baik dibandingkan banyak negara, termasuk di kawasan.

"Pertumbuhan ekonomi kita 5 persen itu tidak baik, tapi kalau dibandingkan negara-negara lain yang suffering (menderita), 5 persen itu baik," ujar Tony pada acara Permata Wealth Wisdom di Jakarta, Rabu (2/8/2017).

Tony menjelaskan, angka pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya memang tidak jelek. Akan tetapi, bagi Indonesia, angka pertumbuhan ekonomi sebenarnya bisa mencapai 6 hingga 7 persen. 

Mengapa demikian? Pria yang juga menjabat Komisaris Independen PT Bank Permata Tbk tersebut menuturkan, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 persen, maka semua angkatan kerja baru bisa diserap oleh kegiatan perekonomian.

Apabila pertumbuhan ekonomi kurang dari 7 persen, ada beberapa dugaan yang terjadi. Pertama, tingkat pengangguran Indonesia bisa jadi meningkat. Kedua, tenaga kerja terserap, namun tidak di sektor formal melainkan sektor informal.

"Jadi, jual bakso, soto, sate. (Kondisi serapan tenaga kerja ke sektor informal yang terlalu banyak) itu tidak baik," jelas Tony.


JAKARTA. Di tengah posisi pelaku pasar yang mengambil posisi jangka pendek seiring sentimen Federal Open Market Committee (FOMC), justru mulai muncul isu dari kondisi makro dalam negeri. Sayangnya isu tersebut cenderung negatif.

Asing mulai memperhatikan utang pemerintah dan penerimaan pajak. "Ini yang harus menjadi catatan khusus," imbuh Aditya Perdana Putra, analis Semesta Indovest, Rabu (26/7).

BACA JUGA :
FOMC masih tentukan arah IHSG
IHSG dalam fase konsolidasi wajar
Utang yang terus membesar itu memang dialokasikan untuk tujuan produktif seperti pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang dibangun juga memang semakin ramai.

Tapi, aktivitas tersebut belum memberikan efek hingga ke sektor yang lebih mikro. Kondisi ini tercermin dari daya beli masyarakat yang masih rendah. Rendahnya daya beli masyarakat bisa terlihat dari sektor industri ritel dan properti yang masih cenderung tertekan.

Aditya mengatakan, masih cukup optimistis indeks menuju level 6.000 hingga akhir tahun ini. "Tapi, agak was-was juga, kalau break 5.600 dengan cepat, agak sulit menembus 6.000," ujarnya.

Oleh sebab itu, faktor fiskal seperti utang pemerintah, inflasi, pelemahan kurs, ekspor-impor Indonesia serta pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. Jika hasilnya bagus maka bisa positif dan begitu pula sebaliknya.

Makro dalam negeri harus sepenuhnya kuat. Hal ini dibutuhkan untuk mengkompensasi jika ternyata Janet Yellen memberikan sikap hawkish dalam rapat tersebut.

Apabila hawkish, indeks berpeluang besar untuk tertekan. Sebab, dana asing akan deras keluar. "Untuk daily trend, IHSG masih dalam keadaan bullish, kecuali jika menyentuh di bawah level 5.700," ujar M. Nafan Aji, analis Binaartha Parama Sekuritas.


Sementara itu, Direktur PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee menyoroti kecenderungan keluarnya modal asing di pasar saham Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
“Potensi penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia tengah terkendala dengan aksi keluarnya aliran dana investor asing di pasar modal,” ucapnya kepada Investor Daily di Jakarta, kemarin.
Padahal, kata Hans Kwee, dalam beberapa bulan sebelumnya tahun ini, investor asing sempat mencatatkan aksi beli bersih (net buy) saham tertinggi sebesar Rp 28,8 triliun. Namun, berikutnya terjadi aksi penjualan bersih (net sell) yang membuat net buy investor asing sepanjang tahun ini turun menjadi Rp 8,53 triliun. Pada pekan lalu, net sell mencapai Rp 4,04 triliun.
Sedangkan pada penutupan perdagangan saham 24 Juli 2017 di Bursa Efek Indonesia terlihat, IHSG menguat 36,16 poin (0,63%) menjadi 5.801,59. Kendati demikian, kemarin, investor asing masih membukukan net sell sebesar Rp 321,7 miliar.
Hans menjelaskan, sebagian investor asing yang masih melanjutkan aksi net sell lebih dilatarbelakangi sentimen dari global. Ini misalnya dari rencana Federal Reserve System (The Fed) yang berniat kembali menaikkan suku bunga acuan Amerika Serikat, serta persoalan sisi neraca keuangan bank sentral AS itu. (bersambung)

šŸ‘€
TEMPO.CO, Jakarta - Sektor manufaktur Indonesia terkontraksi untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir. Indeks manufaktur pada Juni berada di angka 49,5 dari sebelumnya 50,6 pada Mei.

Indeks di atas 50 mengindikasikan ekspansi manufaktur. Sebaliknya, indeks di bawah 50 menandakan sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi.

Ekonom IHS Markit, Pollyanna De Lima, menyatakan perlambatan kinerja manufaktur dipicu anjloknya permintaan domestik. Penurunan permintaan domestik itu menjadi penyebab pabrikan menahan produksi.

Baca: BPS: Industri Manufaktur Mikro dan Kecil Bertumbuh 6,63 Persen

“Pelemahan permintaan domestik memicu penurunan produksi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin, 3 Juli 2017. 

Sebaliknya, permintaan produk manufaktur dari pasar ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa, justru memperlihatkan tren penguatan.

Sektor industri pengolahan dalam negeri juga menghadapi tekanan inflasi bahan baku. Menurutnya, berbagai bahan baku di Indonesia mengalami lonjakan harga pada Juni, di antaranya bahan baku makanan, tekstil, bahan kimia, kertas, plastik, dan karet.

Simak: Sejak 2015, Indonesia Masuk 9 Besar Industri Manufaktur Dunia

Secara umum, kata dia, rata-rata indeks manufaktur Indonesia pada kuartal kedua masih berada di wilayah ekspansi. Data itu, ujarnya, memperlihatkan upaya sektor memperkuat kontribusi terhadap produk domestik bruto.

Pelemahan manufaktur Indonesia juga linier dengan anjloknya manufaktur negara-negara anggota ASEAN lain. Indeks manufaktur ASEAN juga turun ke angka 50,0 pada Juni dari posisi 50,5 pada Mei.

Di ASEAN, ekspansi manufaktur hanya dialami empat negara, yaitu Filipina (53,9), Vietnam (52,5), Thailand (50,4), dan Singapura (50,3). Sedangkan sektor manufaktur negara ASEAN lain turut mengalami kontraksi.

Umumnya, negara-negara ASEAN turut mengalami penurunan permintaan domestik. Kenaikan permintaan dari pasar ekspor masih berada dalam tren penguatan, tapi pabrikan juga dibayangi tekanan inflasi harga bahan baku.

BISNIS.COM
šŸ’¤
Bisnis.com, JAKARTA — Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon II terhenti akibat keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mengabulkan gugatan tentang izin lingkungan. Pengoperasian pembangkit listrik berkapasitas 1.100 megawatt (MM) itu terancam molor dari jadwal semula pada 2020.
Putusan PTUN tersebut atas gugatan warga tentamg izin lingkungan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, selaku lemberi izin lingkungan.
Pekerjaan konstruksi pembangkit tersebut telah dimulai sejak 31 Maret 2016 dengan penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) Terbatas kepada kontraktor (EPC) yang dipimpin oleh HDEC (Hyundai Engineering Corporation).
Pembangunan itu juga melibatkan sejumlah korporasi yaitu Marubeni (Jepang), Indika Energy (Indonesia), Samtan dan Komipo (Korea) dan Jera (Jepang).
Heru Dewanto, Presiden Direktur PT Cirebon Energi Prasarana, mengatakan saat ini proyek pembangkit tersebut dihentikan.
"Kita berharap pemerintah segera menyelesaikan permasalahan perkara izin lingkungan agar pembangunan PLTU Cirebon Power II bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya," katanya, di Jakarta, Rabu (7/6).
Dia mengungkapkan, hal ini juga mengakibatkan pihak pemberi pinjaman belum mau mengucurkan dana. Cirebon Power telah menandatangani perjanjian pendanaan (loan agreement) dengan tiga lembaga keuangan, yakni Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Korea Eximbank (KEXIM) dan Nippon Export and Investment Insurance(NEXI) senilai US$ 1,74 miliar atau lebih dari Rp23 triliun untuk proyek tersebut, April lalu.
PLTU yang berlokasi di Kabupaten Cirebon itu akan menggunakan bahan bakar batu bara kalori 4.000—4.500 dengan total kebutuhan sebanyak 4 juta ton per tahun. Perjanjian jual beli tenaga listrik atau power purchase agreement pembangkit itu telah dilakukan pada 23 Oktober 2015 dengan PLN. 
PLTU Cirebon Power II diproyeksikan menghasilkan energi 7.533 GWh per tahun. Daya yang dihasilkan akan memperkuat sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali menggunakan transmisi 500 KV melalui koneksi gardu induk Mandirancan.
PLTU Cirebon Power II yang merupakan ekspansi PLTU Cirebon Power I yang merupakan salah satu penopang sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali dengan menyumbang 4.914 GwH per tahun.
Cirebon Power Unit I telah menjaga tingkat ketersediaan pasokan listrik di atas 90%, dan tingkat emisi kurang dari sepertiga ambang batas nasional.
šŸ‘¹
JAKARTA. Status layak investasi atau investmet grade oleh lembaga pemeringkat Standard and Poors (S&P) bukan babak akhir perjuangan Indonesia. Pemerintah masih harus berjuang mempertahankan atau bahkan meningkatkan status tersebut.

Peringkat surat utang jangka panjang BBB- yang diberikan S&P, naik dari sebelumnya BB+, Indonesia masih berada di level lower medium grade paling buncit. Jauh tertinggal dari Malaysia (A+), Filipina (BBB), Singapura (AAA), dan Taiwan (AA-).

BACA JUGA :
Kado rating layak investasi dari S&P
Pendapat analis asing tentang investment grade S&P
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, perjuangan Indonesian untuk mempertahankan status layak investasi cukup berat. "Mencapainya tak mudah, tapi untuk mempertahankannya lebih sulit," kata Faisal, seperti dikutip KONTAN dari laman pribadinya.

Menurutnya, tantangan besar yang dihadapi pemerintah ialah mengamankan penerimaan pajak, sebab sejauh ini penerimaan pajak belum cukup menggembirakan. Oleh karena itu, ada baiknya sedia payung sebelum hujan, yakni mengendalikan belanja modal. Kalau perlu, menunda beberapa proyek infrastruktur yang tidak terlalu mendesak. Tanpa pengendalian defisit anggaran negara berpotensi membengkak.

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani mengingatkan, bila rating S&P tidak diikuti kesiapan proyek infrastruktur yang baik, investasi hanya akan masuk di sektor keuangan dan pasar modal. Oleh karena itu, kualitas dan kecepatan belanja APBN dan APBD harus lebih baik.

Sedangkan Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta menilai, pemerintah harus tetap fokus ke reformasi fiskal yang mendukung pembangunan infrastruktur baik hard maupun soft. Pemerintah boleh ambisius terhadap target pertumbuhan, tetapi jangan mengorbankan kestabilan fiskal dan perekonomian secara umum


Memperkuat fiskal


Eforia kenaikan rating utang memang belum berakhir. Apalagi Indonesia harus menunggu lebih dari enam tahun untuk mendapatkan rating tersebut. Kenaikan peringkat dipercaya dapat menambah kepercayaan investor asing terhadap Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan, setelah masuk dalam peringkat layak investasi tahun ini, maka tahun depan, S&P akan kembali memberi kado indah berupa kenaikan outlook Indonesia dari stable menjadi positive. "Ini akan memacu kami untuk bekerja lebih keras lagi," kata Ani.

Peringkat S&P ini akan mengikuti empat lembaga rating lain, yaitu Fitch, Moody's, JCR, dan Rating and Investment Information Inc (R&I) yang sudah menaruh Indonesia di investment grade dengan outlook positive.

Dia berharap peringkat layak investasi ini membuat minat terhadap surat utang negara meningkat. Termasuk dalam hal ini samurai bond. Kami berharap memberikan dampak positif terhadap yield yang akan tercapai, katanya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menambahkan, pemerintah akan memperkuat sinergi kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi sektor riil. "Di kebijakan fiskal, terus kita upayakan APBN yang efisien, produktif, dan kredibel, agar memperkuat confidence," ungkap, Minggu (21/5).

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir bilang, untuk menjaga kepercayaan investor, pemerintah akan memperbaiki iklim investasi. Caranya dengan konsisten menerapkan 14 paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis sejak September 2015.

"Kami juga akan konsisten menerapkan kebijakan meningkatkan daya saing, efisiensi ekonomi dan ease of doing bussiness, serta percepatan pembangunan infrastruktur," katanya. Pemerintah juga akan merealisasikan upaya memperkuat daya saing dan pemerataan ekonomi dengan pemerataan ekonomi dan reforma agraria. Dalam program ini, pemerintah mendorong pemerataan kepemilikan lahan, kesempatan, dan kapasitas sumber daya manusia (SDM).
šŸ’‚

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,01 juta orang di Februari 2016. Angka pengangguran ini mengalami penurunan 10 ribu orang dibanding periode yang sama 2016 sebanyak 7,02 juta orang.

Kepala BPS, Suhariyanto yang akrab disapa Kecuk ini mengungkapkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2017 sebesar 5,33 persen atau turun dibandingkan Februari 2016 sebesar 5,50 persen. Paling tinggi TPT di perkotaan 6,50 persen dan 4,0 persen.

BACA JUGA
BPS: Ekonomi RI Tumbuh 5,01 Persen di Kuartal I 2017
Jelang Puasa, Pemerintah Harus Waspadai Kenaikan Harga Ayam
Apa Dampak Pencabutan Bebas Visa 49 Negara bagi Pariwisata RI?

"Dari jumlah angkatan kerja 131,56 juta orang, jumlah pengangguran 7,01 juta orang di Februari 2017. Sedangkan 124,54 juta orang merupakan penduduk yang bekerja," kata Kecuk saat Rilis PDB Kuartal I-2017 di kantor BPS, Jakarta, Jumat (5/5/2017).

Jika dilihat, jumlah pengangguran 7,01 juta orang di bulan kedua ini mengalami penurunan 10 ribu orang dari realisasi bulan yang sama 2016 yang sebanyak 7,02 juta orang. Sementara Agustus 2016, jumlah pengangguran sebanyak 7,03 juta orang.

Tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan, Kecuk menambahkan, paling rendah 3,54 persen terdapat pada penduduk berpendidikan SD ke bawah. Sedangkan yang tertinggi, penduduk yang jenjang pendidikannya SMK dengan TPT 9,27 persen.

Pengangguran dengan tingkat pendidikan SMP, TPT tercatat 5,36 persen, penduduk dengan pendidikan SMA‎ mencatatkan TPT 7,03 persen. TPT untuk penduduk yang mengecap bangku kuliah Diploma 6,35 persen, dan pendidikan Universitas atau Perguruan Tinggi 4,98 persen.

Dari data BPS, jumlah angkatan kerja di Februari 2017 sebanyak 131,55 juta orang dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 69,02 persen. TPAK ini naik 0,96 persen dibanding Februari 2016 yang sebesar 60,06 persen.

"Jumlah angkatan kerja ini naik 3,88 juta orang dibanding Februari 2016 sebanyak 127,67 juta orang.‎ Dan meningkat 6,11 juta orang dibanding Agustus lalu yang sebanyak 125,44 juta orang," tandas Kecuk.

Jika pada tahun 2018 laju pertumbuhan ekonomi hanya 5,6%, maka Presiden Jokowi gagal mendorong laju pertumbuhan ekonomi hingga 6% dalam lima tahun pemerintahannya. Lebih tragis lagi, sekadar pertumbuhan ekonomi 5,5% pun, Indonesia tak mampu mencapainya.

Kalangan ekonom umumnya merespons negatif ketika pemerintah mencanangkan laju pertumbuhan ekonomi 5,6% untuk tahun fiskal 2018. Angka pertumbuhan yang bakal menjadi asumsi RAPBN 2018 yang akan disampaikan Presiden empat bulan akan datang saat mengantarkan nota keuangan dianggap realistis oleh pemerintah. Dalam situasi ekonomi dunia yang masih dilanda turbulensi, pertumbuhan ekonomi 5% saja sudah hebat.

Laju pertumbuhan ekonomi 5% bisa bagus jika bersifat inklusif atau dinikmati oleh seluruh rakyat. Laju pertumbuhan ekonomi di bawah 6% bisa bagus bila disertai pemerataan. Namun, jika hanya sektor padat modal dan padat teknologi yang bertumbuh, mayoritas rakyat tidak ikut menikmati. Hingga saat ini, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak inklusif seperti terlihat pada rasio gini yang mencapai 0,39.

Akan tetapi, buat Indonesia, negara dengan PDB per kapita US$ 3.400, pertumbuhan ekonomi harus dipacu hingga di atas 7% atau minimal 6%. Pertumbuhan tinggi penting untuk membuka lapangan pekerjaan bagi 7 juta penganggur terbuka dan 2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahun. Pertumbuhan tinggi penting untuk memangkas jumlah penduduk miskin. 

Selama pertumbuhan ekonomi kurang dari 6%, angka kemiskinan absolut yang masih 28 juta sulit dipangkas. Selama pertumbuhan di bawah 6%, PDB per kapita akan stagnan di level US$ 3.500 dan Indonesia terancam masuk middle income trap. Indonesia sulit naik peringkat ke level negara maju dan bisa jadi tergelincir menjadi negara gagal.

Oleh karena itu, mendorong laju pertumbuhan ekonomi hingga di atas 6% adalah sebuah keharusan. Jika tahun ini hanya 5,3%, pada tahun 2018, ekonomi harus bisa melaju di atas 6%. Sebagai negara yang memiliki banyak potensi, pertumbuhan ekonomi sebesar itu bisa dicapai asalkan semua kemampuan benar-benar dioptimalkan.

Pertama, belanja infrastruktur harus terus ditingkatkan. Meski dikritik sejumlah pihak karena terus membesarnya belanja infrastruktur, pemerintah tak boleh kendor. Infrastruktur Indonesia sudah terlalu ketinggalan. Infrastruktur transportasi, energi, dan telekomunikasi merupakan prasyarat untuk menarik minat investor dan kemajuan masyarakat.

Kedua, niat pemerintah untuk mempercepat realisasi proyek yang dibaiayai APBN perlu benar-benar dilaksanakan. Merujuk pada pengalaman 2015 dan 2016, realisasi proyek pemerintah masih menumpuk di kuartal ketiga dan keempat. 

Ketiga, menekan belanja rutin, khususnya belanja yang tidak terkait langsung dengan peningkatan kinerja birokrasi. Seperti pernyataan Presiden Jokowi, menteri harus ikut mengatur dan mengawasi anggaran belanja di kementeriannya. Tidak boleh ada dirjen, direktur, dan pimpinan di bawahnya yang mengelola anggaran seenaknya. Tanpa sepengetahuan menteri dan tanpa pengawasan menterinya. 

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lebih dari 30% anggaran di kementerian dan lembaga tidak digunakan untuk kegiatan yang menopang kinerja birokrasi untuk melayani rakyat. Tidak sedikit anggaran yang digunakan untuk perjalanan dinas dan kegiatan diklat atau bimtek yang bisa disederhanakan.

Tidak sedikit pula anggaran yang dikorupsi. Pengalaman puluhan tahun membuat para birokrat cukup piawai dalam menilap uang rakyat. Para birokrat sangat pandai dalam membuat laporan yang sesuai standar BPKP. 

Keempat, selama belanja negara digunakan untuk kegiatan produktif dan demi peningkatan kualitas birokrasi, pemerintah tak perlu ragu meningkatkan pinjaman hingga defisit menembus 3% dari PDB.

Kelima, pembangunan industri jangan hanya slogan. Dalam lima tahun terakhir, laju pertumbuhan industri manufaktur di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Dengan angkatan kerja yang banyak terserap di sektor agribisnis, pendapatan rakyat sulit mengalami peningkatan yang signifikan. 

Laju pertumbuhan ekonomi di atas 6% pada tahun 2018 bisa dicapai jika kebijakan pemerintah mendukung. Dengan jumlah penduduk yang sudah menembus 260 juta, penduduk di bawah garis kemiskinan 28 juta, dan penganggur terbuka 7 juta, pertumbuhan ekonomi di atas 5% sama dengan resesi. ID

šŸ’†
JAKARTA – Perekonomian Indonesia dinilai terus mengalami perbaikan dan sudah keluar dari masa sulit. Setelah masa-masa cukup berat pada 2013-2015, memasuki tahun 2016 perekonomian Indonesia sudah mulai membaik yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02% dibandingkan 4,88% pada 2015

Sementara itu, inflasi tahun 2016 tercatat cukup rendah yakni 3,02% atau turun dibandingkan inflasi tahun sebelumnya sebesar 3,35%. Bahkan, angka inflasi pada 2013 masih cukup tinggi yakni 8,38% dan tahun 2014 sebesar 8,36%.

Kemudian, utang luar negeri swasta juga terus mengalami penurunan pasca pengendalian regulasi lindung nilai (hedging) yakni menjadi US$ 159 miliar dari sebelumnya US$ 168 miliar.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, perbaikan tersebut terjadi karena aksi-aksi yang dilakukan oleh bank sentral, pemerintah, dan Otoritas jasa keuangan (OJK).

“BI telah banyak belajar dari periode taper tantrum pada 2013. Saat itu, inflasi berada di kisaran 8,3% dan utang luar negeri swasta sebesar US$ 168 miliar,” ujar Mirza dalam diskusi dan peluncuran buku Laporan Perekonomian Indonesia 2016, di Jakarta, Kamis (27/4).

Menurut dia, pada Mei 2013 terjadi guncangan pada perekonomian nasional. Saat itu, bank sentral mengakhiri rezim suku bunga rendahnya, kemudian pemerintah juga memangkas subsidi BBM secara signifikan.

Dia mengatakan, penting bagi BI untuk menjaga stabilitas. Apabila kenaikan suku bunga acuan bukan menjadi pilihan, maka inflasi harus dikendalikan. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral bertujuan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dengan kurs yang stabil mencerminkan kondisi fundamental ekonomi nasional. (bersambung)

Baca selanjutnya di http://id.beritasatu.com/macroeconomics/neraca-pembayaran-harus-dijaga-kesehatannya/159516
šŸ’‡
ID: Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, ketidakjelasan definisi menyebabkan kebijakan tax allowance dan tax holiday belum bisa menarik banyak investor.

Investor, kata dia, masih bingung berapa banyak penyerapan tenaga kerja minimum untuk mendapatkan insentif pajak. Sebab, masing-masing sektor memiliki kondisi yang berbeda.


“Itu dari sisi syarat penyerapan tenaga kerja. Belum soal definisi memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor, seperti di Pasal 3 PP 18/2015. Prosedur pengajuan insentif fiskal juga masih menjadi hambatan bagi pengusaha. Izinnya cukup rumit,” tandas dia kepada Investor Daily.

Bhima menambahkan, hal serupa terjadi pada pengajuan insentif-insentif lain dalam paket kebijakan pemerintah, seperti insentif potongan tarif listrik industri padat karya, yakni perlu izin ke Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). 


“Sehingga prosesnya lama sampai pemerintah memberi surat resmi. Karena rumit dan kurang clear,investor cenderung acuh tak acuh,” ujar Bhima. 

Akhirnya, kata dia, tidak banyak perusahaan yang mendapat insentif fiskal tersebut, itu pun perusahaan-perusahaan lama, bukan investor baru.


Menurut Bhima, masalah prosedur pengajuan insentif juga banyak muncul di daerah. “Prosedur pengajuan insentif banyak terhambat di daerah. Disinsentif ini yang kontraproduktif dengan semangat PP 18/2015,” tandas dia. (ns/rw/jn)


Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, revisi PP tersebut akan memberikan kemudahan untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.
Pengusaha, menurut Rosan, memandang 2017 sebagai tahun yang cukup meyakinkan namun penuh kehati-hatian.

“Indonesia bakal dihadapkan pada iklim ekonomi yang optimistis, tapi penuh kehati-hatian. Apalagi, ekonomi Tiongkok yang sedang mencari keseimbangan baru di tengah perlambatannya membuat kinerja perdagangan dengan Indonesia ikut goyah,” ujar Rosan kepada Investor Daily.
Di sisi lain, kata dia, kebijakan Presiden AS Donald Trump juga perlu terus diamati. Rosan menilai, Indonesia memiliki kerjasama dagang yang cukup besar dengan AS. Rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS hingga tiga kali pada 2017 ini juga dinilai memberikan sinyal kehati-hatian bagi Indonesia.
“Dampak ini harus dianalisa, apakah membuat barang kita jadi lebih murah atau (rupiah) jadi lebih murah sehingga ekspor lebih mudah ke negara lain. Dengan Vietnam Malaysia kita jadi lebih compete untuk barang-barang ekspor (karena TPP dibubarkan),” ujar Rosan.
Menurut Rosan, era Masyarakat Ekonomi Asean menjadi ajang pasar bebas harus lebih menguntungkan Indonesia. Kadin bersama elemen-elemen terkait lainnya wajib meningkatkan kapabilitasnya untuk dapat bersaing dengan negara-negara anggota Asean lainnya.

“Bakal ada aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara Asean. Tapi Kadin harus menjadi kunci sukses bagi kemajuan ekonomi Indonesia,” jelas dia. (ns/rw/jn)
šŸ‘€
Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund /IMF) memperingatkan jika pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang melambat pada tahun ini, seiring langkah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang menaikkan suku bunga acuan dan meningkatnya rencana negara maju untuk membatasi perekonomiannya.

Di sisi lain, menurut IMF, sebenarnya negara berkembang tengah kembali menikmati pasar, seiring kenaikan harga komoditas dan aliran modal pasca krisis keuangan pada tahun 2000.
Negara berkembang pulih dari dampak krisis keuangan yang terjadi di dunia dan upaya China untuk menyeimbangkan kembali ekonominya dengan mengurangi ekspor komoditas.
Dalam laporan bertajuk World Economic Outlook, melansir laman CNBC, Selasa (11/4/2017), IMF menilai peningkatan retorika proteksionisme dan pengetatan sektor keuangan di beberapa negara maju menimbulkan ancaman baru bagi pasar negara berkembang.

"Pertumbuhan pasar negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir sekali lagi akan tampak heterogenitas - percampuran antara meruncing, terhenti, membalik dan menguat dalam beberapa kasus. Perubahan ini terjadi di tengah kondisi eksternal, termasuk memudarnya potensi pertumbuhan ekonomi negara maju, melambat dan rebalancing di Cina, serta pergeseran siklus komoditas yang telah mempengaruhi eksportir," jelas IMF dalam laporannya.
Dikatakan pula, bersamaan dengan risiko proteksionisme di negara maju dan kondisi pengetatan sektor keuangan yang merupakan bagian normal dari kebijakan moneter AS, perubahan ini membuat lingkungan menjadi lebih menantang bagi pasar dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang ke depannya.

IMF menilai bahwa negara yang sedang berkembang dan membangun, yang memberikan lebih dari 75 persen ke pertumbuhan global dalam output dan konsumsi,  saat ini  menghadapi lingkungan eksternal yang paling rumit dalam beberapa dekade terakhir.
Namun, IMF menunjukkan bahwa negara-negara berkembang memiliki ruang untuk mengimbangi dampak dari kondisi eksternal tersebut.

"Dihadapkan dengan lingkungan eksternal yang kurang mendukung dibandingkan sebelumnya, pasar negara berkembang dan negara yang tengah membangun bisa mendapatkan hasil maksimal dari dorongan pertumbuhan yang melemah akibat kondisi eksternal," jelas IMF.
Menurut IMF, hasil maksimal bisa diperoleh negara berkembang dengan memperkuat kerangka kelembagaan dan mengadopsi bauran kebijakan yang melindungi integrasi perdagangan yang memungkinkan fleksibilitas nilai tukar. "Dan memastikan bahwa kerentanan yang berasal dari defisit neraca transaksi berjalan dan utang luar negeri, seperti tingginya utang publik," saran IMF dalam laporannya.

šŸ˜Ž
JAKARTA kontan. Program amnesti pajak baru saja berakhir, pada akhir Maret 2017. Sejatinya, realisasi program tersebut dinilai tak sesuai harapan. Misalnya, dari target dana repatriasi Rp 1.000 triliun, hanya menghasilkan komitmen senilai Rp 147 triliun.
Toh, hanya sebagian kecil dana hasil amnesti pajak yang masuk ke pasar modal. Angkanya ditaksir berkisar Rp 10 triliun. Meski realisasi amnesti pajak di bawah ekspektasi, pasar saham Indonesia tak akan terlalu terpengaruh.
Memang ada faktor lain yang mengompensasi sentimen negatif itu. Salah satu yang paling ditunggu-tunggu adalah Standard & Poor's (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia ke level investment grade. Namun, merayu S&P jelas perkara sulit. Banyak PR yang harus dibenahi pemerintah.
Nah, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menyebutkan, dana amnesti pajak banyak masuk ke instrumen surat utang negara (SUN), reksadana, obligasi dan saham. Hanya sebagian kecil yang masuk Bursa Efek Indonesia.
Namun hal tersebut tak menjadi sentimen negatif bagi indeks saham lokal. IHSG masih terus memperbarui rekornya. Pada transaksi kemarin (6/4), IHSG kembali mengukir rekor tertinggi sepanjang masa di level 5.680,24.
Amnesti pajak memang tak sepenuhnya mencapai target. Namun dibandingkan negara lain, Indonesia menjadi salah satu negara paling sukses dalam penyelenggaraan program pengampunan pajak itu. "Investor melihat ini sebagai hal yang positif," ungkap M. Nafan Aji, Analis Binaartha Parama Securities, kemarin.
Secara total, dana yang diperoleh dari amnesti pajak mencapai Rp 4.850 triliun. Kelak, dana itu akan digunakan untuk keperluan negara, terutama membangun infrastruktur.
Proyek pembangunan infrastruktur akan berpengaruh positif bagi kondisi makro nasional. Pada akhirnya, hal itu akan berimbas positif bagi pasar modal. Tahun ini, target IHSG menembus level 6.000 bukan hal mustahil. "Paling dekat mengkonfirmasi 5.750 dulu," imbuh Nafan.

Peringkat Indonesia

Hal senada disampaikan analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra. Menurut dia, pasar sudah mendiskon sentimen negatif soal amnesti pajak yang tak mencapai target. Sentimen tersebut tereliminasi oleh ekspektasi terkereknya peringkat utang Indonesia oleh lembaga rating global, S&P, pada tahun ini.
Tapi di sisi lain, peringkat dari S&P justru bisa berbalik menjadi sentimen negatif. "Yang dikhawatirkan, S&P tidak menaikkan rating Indonesia, sehingga dana asing berpotensi keluar secara masif," jelas Aditya.
Belum lagi jika hasil pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini ternyata di bawah estimasi, yakni di bawah 4,95%-5%. Ini akan menjadi kabar buruk bagi investor. Skenario terburuknya, IHSG akan menyentuh 5.450-5.500 pada kuartal II-2017.
Pasar juga berharap, kinerja emiten di kuartal I-2017 sesuai ekspektasi. Sebab, hal itu akan merefleksikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Jika faktor-faktor ini berhasil dijaga, maka Indonesia cukup kuat menahan tekanan eksternal," kata Aditya.
Apabila sentimen positif itu muncul, maka target realistis IHSG berada rentang 5.750 hingga 5.800. Sentimen positif lainnya adalah, fund manager global masih optimistis dengan Indonesia karena return on equity (RoE) Indonesia tahun ini diestimasikan sekitar 16,1%. "Level itu cukup tinggi," ungkap Aditya.
Pertumbuhan earning per share (EPS) emiten juga diprediksi membaik. Hal lain yang berefek positif ke domestik adalah penguatan harga sejumlah komoditas di pasar global. "Penguatan itu akan menambah surplus ekspor serta meningkatkan return komoditas, khususnya tambang dan CPO," kata Aditya.
šŸ’Ŗ
JAKARTA kontan. Masih lesunya perekonomian domestik sudah terlihat sejak awal tahun ini. Sebagai contoh, rendahnya penjualan semen pada dua bulan pertama 2017. Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), konsumsi semen secara nasional pada Januari-Februari 2017 menyusut 1,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Ekonom INDEF Abra Talattov menyebut, penyebab rendahnya penjualan semen dikarenakan masih minimnya pengerjaan proyek-proyek pemerintah terutama proyek infrastruktur. Mengikuti siklus anggaran pemerintah, biasanya proyek-proyek fisik Kementerian/Lembaga baru akan terealisasi mulai pertengahan hingga akhir tahun. Namun tidak demikian untuk proyek-proyek pemerintah yang menggunakan skema tahun jamak.

Selain itu, masih rendahnya penjualan semen juga disebabkan belum berjalannya proyek-proyek investasi swasta. Masih lesunya sektor properti juga punya andil terhadap penjualan semen. Tantangan mendasar industri semen nasional sebetulnya adalah surplus pasokan.

Meskipun kinerja ekspor mengalami kenaikan pada Januari-Februari 2017 (yoy) sebesar 19,20% dan ekspor nonmigas 20,11%, tapi secara month on month (mom) justru tumbuh negatif -6,17% dan ekspor nonmigas -6,21%.

Lesunya kinerja ekspor nonmigas menurut Abra pada awal tahun ini tidak lepas dari dampak kebijakan pemerintah terutama kebijakan pelarangan ekspor konsentrat bahan tambang per 11 Januari.

“Buktinya, ekspor kelompok barang bijih, kerak, dan abu logam pada bulan Februari merosot tajam sehingga minus 316%,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu.

Begitupun dengan kinerja impor yang masih lesu di awal tahun ini. Pertumbuhan negatif pada impor Bahan Baku/Penolong (-363,2%) dan Barang Modal (-216,9%) pada bulan Februari (mom) mencerminkan masih terkontraksinya sektor riil. Padahal kedua jenis barang tersebut merupakan barang yang dibutuhkan oleh sektor manufaktur dalam negeri.

“Ini artinya sektor industri dalam negeri masih menahan volume produksinya. Dengan daya beli masyarakat yang semakin terpuruk akibat inflasi pangan dan harga yang diatur pemerintah, produsen dalam negeri masih ragu untuk meningkatkan produksi di awal tahun ini,” jelasnya.

Abra menilai, jika melihat pola pertumbuhan dan situasi ekonomi dalam dua tahun terakhir, sepertinya agak sulit bagi pemerintah untuk mengejar pertumbuhan 5,1% di tahun 2017 ini.

Beberapa faktor penyebabnya, yaitu inflasi pada 2017 ini diperkirakan akan lebih tinggi dari target pemerintah 4%. Bahkan IMF pun memperkirakan inflasi Indonesia pada tahun ini bisa mencapai 4,5%. Tingginya tingkat inflasi tentu akan berdampak langsung baik terhadap sektor riil maupun bagi rumah tangga konsumen.

Adapun inflasi yang tinggi berpengaruh terhadap kenaikan suku bunga kredit perbankan. Pelaku usaha semakin terbebani dengan bunga pinjaman tersebut yang kemudian berdampak terhadap kenaikan biaya produksi dan juga harga jual produk.

Implikasi berikutnya, rumah tangga konsumen semakin terpukul dengan kenaikan harga-harga barang. Kinerja sektor riil pun memburuk dengan penurunan laba perusahaan yang pada gilirannya berdampak terhadap penurunan pajak yang akan disetor pada pemerintah.

“Pemerintah harus berusaha ekstra keras untuk mendulang sumber-sumber penerimaan negara, baik berasal dari Penerimaan Pajak maupun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ucapnya

Masalahnya, menurut Abra, upaya menggenjot penerimaan negara biasanya berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan sektor riil. Dengan bekal penambahan Wajib Pajak dari program tax amnesty serta basis data pajak yang mutakhir, mestinya bisa meningkatkan tax ratio yang pada gilirannya akan membantu pencapaian target penerimaan pemerintah.

Nah, dengan anggaran yang terbatas, selain memprioritaskan pembangunan infrastruktur, menurut dia pemerintah harus lebih jeli mengembangkan potensi-potensi perekonomian domestik terutama dalam jangka pendek.

“Sektor pariwisata bisa menjadi opsi prioritas kebijakan pemerintah dalam jangka pendek. Sektor pariwisata memiliki nilai strategis karena memiliki efek multiplier yang besar, terutama terhadap sektor transportasi, hotel, perdagangan, dan lainnya,” pungkasnya

Asal tahu saja, sekor pariwisata berkontribusi hingga 9,5% terhadap PDB (WTTC, 2015), menghasilkan devisa sampai Rp140 triliun, dan menciptakan kesempatan kerja hingga 11 juta jiwa.
šŸ’Ŗ
JAKARTA okezone - Ekonom Destry Damayanti mengatakan mendorong pertumbuhan industri tidak dapat hanya berharap dari dana perbankan karena berjangka pendek, salah satu pilihan adalah agar pasar modal yang memiliki investasi jangka panjang.
"Industri tumbuh tidak bisa mengharapkan dana perbankan. Kebutuhan investasi Rp5.000 triliun untuk lima tahun sedangkan dana di perbankan sebesar Rp4.500 triliun itu dana jangka pendek," kata dia dalam Investment Discussion and Economic Analysis (IDEA) 2017 di BEI, Jakarta, Sabtu (11/3/2017).
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan itu menilai rendahnya investasi pasar modal dibandingkan perbankan disebabkan kurangnya pemahaman pasar modal oleh masyarakat.
Sebagai solusi anggaran yang terbatas agar lebih efektif, reformasi fiskal dilakukan pemerintah, misalnya memastikan pengeluaran berdampak pada berbagai sektor, katanya.
Ia melihat reformasi dilakukan secara signifikan dengan subsidi yang sebelumnya diberikan secara kolektif akan dikurangi dan bentuknya lebih tertarget.
Mendorong sektor industri untuk tumbuh, kata Destry, juga tidak bisa hanya mengandalkan sektor primer, melainkan harus membuat proses lebih dulu.
Harga komoditas andalan, seperti batu bara, CPO dan minyak yang anjlok juga berdampak pada pajak korporasi sehingga menjadi ancaman penerimaan di bawah target.
Menurut dia, paket-paket kebijakan pemerintah belum dirasakan secara signifikan sehingga pemerintah terus mengejar agar lebih berdampak.
Secara garis besar, Destry menilai dengan potensi yang ada, prospek ekonomi Indonesia besar, tergantung pada peninkatan implementasi dan bagaimana kebijakan dijalankan dengan tepat.
(dni)
šŸ‘‚

JAKARTA. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai, dua tahun pertama pemerintah Jokowi-JK, perekonomian dijalankan secara ugal-ugalan.
"Dua tahun pertama, Jokowi ini ugal-ugalan. Growth turun, tapi (target penerimaan) pajak dinaikkan luar biasa," kata Faisal dalam diskusi bertajuk Indonesia's Economic Outlook 2017, di Jakarta, Selasa (7/3) malam.
Faisal mengatakan, pada tahun 2015 pemerintah mematok target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp 1.489 triliun atau 29,8% dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.147 triliun.
Target yang hampir mencapai 30% itu, menurut Faisal, mustahil direalisasikan mengingat perekonomian masih melambat.
Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 hanya 5,02%, melambat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 5,58%. Bahkan kalaupun dilakukan extra effort, ia memperkirakan penerimaan pajak hanya tumbuh sekitar 11%.
Pada tahun 2016 pemerintah kembali mematok target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp 1.539 triliun atau 24,11% dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.240 triliun.
Target pertumbuhan 24,11% ini cukup ambisius melihat realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 kembali melambat hanya mencapai 4,79% dan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak 2009.
'Keugal-ugalan' yang diulang ini pun menyebabkan realisasi penerimaan pajak 2016 hanya mencapai Rp 1.284 triliun. Itu pun, kata Faisal, sudah memasukkan penerimaan dari pengampunan pajak yang sebesar Rp 103,3 triliun.
"Jadi kalau tanpa tax amnesty, penerimaan pajak 2016 hanya Rp 1.180,7 triliun, turun 4,78% dibandingkan realisasi 2015," kata Faisal.
Tahun 2017, tax amnesty sudah berakhir. Pemerintah pun mencoba mengoreksi target penerimaan pajak dalam APBN 2017.
"Seolah-olah konservatif, penerimaan dan belanja sama-sama turun. Tetapi ternyata, masih agak ugal-ugalan," kata Faisal.
Hal itu ia lihat dari sisi belanja yang tidak mempertimbangkan kemampuan anggaran. Misalnya, untuk proyek kereta cepat ringan atau light rapid transit(LRT), perusahaan pelat merah disuruh membangun terlebih dahulu baru memikirkan pendanaanya kemudian.
Dia pun menyarankan agar PT Kereta Api Indonesia, yang menjadi salah satu konsorsium, tidak terlalu berharap pada Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 4 triliun, sebab sejauh ini belum dianggarkan dalam APBN 2017.
Entah akan dianggarkan dalam APBN Perubahan atau tidak. Memang kata Faisal, utang Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia relatif rendah.
Akan tetapi, jika waktunya mepet, maka pasar akan memberikan bunga tinggi dan bisa-bisa bunga utangnya lebih besar dibandingkan dengan belanja modal yang dibutuhkan.
"Lama-lama saya rasa Bu Sri Mulyani pening kepalanya. Karena rumusnya pak Jokowi, 'pokoknya'," kata Faisal. (Estu Suryowati)
šŸ’ƒ
the economist: IN THE more rugged, poor and far-flung areas of the vast archipelagoes of Indonesia and the Philippines, mining is one of the few industries that shows much promise. Last year the Philippines exported nearly $1.7bn of minerals and ore—4% of the country’s exports. Mining employs over 200,000 people. By the same token, the Indonesian unit of Freeport McMoRan, an American firm that operates Grasberg, a vast copper and gold mine high in the mountains of Papua, has paid more than $16.5bn in taxes over the past 16 years. Freeport plans to expand Grasberg; over the next 25 years it expects to cough up a further $40bn. Yet the governments of both countries are imperilling this bonanza.
Three years ago, in an effort to boost the economy by spurring domestic processing, Indonesia banned the export of unrefined metal ores. (Smelting copper ore adds little value, so it was exempted.) Mining collapsed: the output of bauxite, from which aluminium is refined, fell from 56m tonnes in 2013 to 1m tonnes in 2015 (see chart). Some firms did begin building expensive smelters—but not nearly enough to process all the ore that had previously been mined. Indonesia now has the capacity to process 3m tonnes of bauxite a year, for example. Instead, the law’s most noticeable effects were the closure of hundreds of mines, the loss of thousands of jobs and a collapse in government revenue from mining.





















In January the government—in search of jobs and revenue—relaxed the ban, allowing some exports of unprocessed nickel and bauxite for the first time in four years. But, perhaps to show that it was not a soft touch, it also insisted that all mining firms operating under an older, more secure form of mining licence, including Freeport, convert them into a newer sort in order to receive export permits. Freeport, which has a controversial history in Indonesia, has refused. It has halted production and suspended investment. It is also laying off workers. “You cannot produce a product that you are not allowed to sell,” says its boss. The company has also muttered about international arbitration, eliciting splutters from the minister of mines.
Advertisement
Indonesia’s ore-export ban made the Philippines the world’s leading nickel producer, but that may soon change. On February 3rd Gina Lopez, the environment secretary (and a longtime green activist before joining government), ordered 23 of the country’s 41 mines to close permanently, and another five to suspend operations indefinitely, for alleged environmental violations. Most of the mines to be closed produce nickel, and are responsible for around half the country’s annual output of 530,000 tonnes. On February 14th Ms Lopez cancelled another 75 mining projects, some still in the exploratory stage, on the grounds that they would harm ecologically sensitive areas.
The industry has cried foul. Ronald Recidoro of the Chamber of Mines in the Philippines, a trade group, said that his members had not seen copies of the audits that led to the closures, nor have there been cases filed against them for violations of the clean water and air acts (Ms Lopez has invited companies to inspect the audits in her office). He also notes that a government team that reviewed the audits recommended fines or suspensions, not closures. They fear that Ms Lopez intends to interpret environmental regulations so strictly as to make mining impossible.
Both countries may yet pull back from the brink. In the Philippines, mines remain open during what will doubtless be a lengthy appeal process. Carlos Dominguez, the finance minister, says that he reminded Ms Lopez that “it was important for her to follow due process.” A lawyer in Jakarta predicts that “mine owners will be given relatively short extensions of the right to export and this will be reviewed on a regular basis with the threat of being shut down.” Miners make convenient political villains. But neither Indonesia nor the Philippines can afford to let political posturing deprive them of much-needed revenue from rising commodity prices.




















This article appeared in the Asia section of the print edition under the headline "Shafted"
šŸ‘‚
Jakarta - JPMorgan Chase & Co pada hari Senin (16/1) telah meningkatkan peringkat saham Indonesia menjadi netral dari sebelumnya underweight. Riset ini berubah dari riset terakhir pada November lalu.

Dengan dinaikkannya peringkat tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyambut baik langkah JPMorgan memperbarui risetnya. Tak banyak komentar yang keluar dari Sri Mulyani, ia hanya menuturkan bahwa langkah tersebut merupakan langkah yang bagus.

"Bagus," ujar Sri Mulyani singkat di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2017).

Selain itu, ditemui di tempat yang sama Menko Perekonomian Darmin Nasution menyambut baik langkah JPMorgan tersebut. Menurut Darmin, dinaikkannya peringkat saham Indonesia ke netral lebih mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia saat ini.

"Bagus lah. Iya lah, kalau Trump jadi presiden ada pengaruhnya sedikit, itu masuk akal. Tapi karena ada pengaruhnya banyak, turun itu berlebihan, ya bagus kalau dia mengkoreksi," tutur Darmin. (ang/ang)

šŸ‘¼

JAKARTA kontan. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di awal tahun ini masih cenderung flat. Di sisi lain, price to earning ratio (PER) IHSG terus naik. Bahkan, PER IHSG cenderung lebih tinggi ketimbang bursa lain.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), PER IHSG kemarin sebesar 17,1 kali. Angka ini naik ketimbang posisi akhir Januari 2016 lalu yang masih di angka 12,95 kali. Pada periode yang sama, nilai kapitalisasi pasar BEI naik 17,55% dari Rp 4.899,66 triliun per akhir Januari 2015 menjadi Rp 5.759 triliun pada Rabu (4/1).
Analis NH Korindo Sekuritas Bima Setiaji menghitung, PER IHSG berada di level 15,2 kali, ini lebih tinggi dibandingkan beberapa bursa di Asia. Seperti PER Singapura sekitar 13,2 kali, PER China 13,1 kali atau PER Thailand yang sebesar 13,4 kali.
Menurut dia, salah satu penyebab tingginya PER IHSG adalah menurunnya laba dari emiten di bursa. Contohnya, laba dari sektor tambang, sektor properti dan CPO, yang turun tahun lalu.
"Namun penurunan tersebut tidak diikuti oleh penurunan harga sahamnya, sehingga PER IHSG semakin mahal," kata Bima kepada KONTAN, Rabu (4/1)
Bima optimistis, valuasi IHSG akan semakin murah seiring mulai pulihnya ekonomi Indonesia yang menyebabkan peningkatan laba emiten.
Sementara Analis Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan, PER IHSG dinilai lebih mahal dibandingkan PER bursa lain karena pertumbuhan ekonomi belum begitu tinggi. Jika asumsi pertumbuhan ekonomi di 2018 meningkat menjadi 5,5%, tentunya PER IHSG akan semakin murah.
Alfred memprediksi tahun ini proyeksi pertumbuhan laba per saham alias earning per share (EPS) emiten akan berkisar 15%–18%. "Tentunya PER bursa saham juga akan lebih murah," ungkap dia.
Analis senior Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada bilang, sejatinya kurang tepat membandingkan IHSG dengan bursa saham lain menggunakan PER. Menurut dia, perbandingan menggunakan PER harus apple to apple. Sementara kondisi IHSG dengan bursa lain tentu tidak akan sama.
Reza menambahkan, valuasi IHSG memang lebih tinggi dibandingkan sejumlah bursa saham lainnya. Ini tidak lantas berarti buruk. "Artinya kalau valuasi saham kita dinilai lebih tinggi, berarti kepercayaan investor terhadap saham kita besar. Tentunya jika terus terjadi transaksi akan makin tinggi," ungkap dia.
Selain itu, jumlah emiten yang tercatat di BEI hanya sekitar 560 emiten. Emiten-emiten ini juga tidak 100% aktif, sedang emiten di bursa lain ada yang sudah ribuan. Artinya, pembagi pada PER IHSG cenderung lebih kecil dibandingkan bursa lain.
Sebagai perbandingan, jumlah emiten di BEI yang sekitar 560 emiten masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki emiten lebih dari 1.000. Jumlah perusahaan terbuka di Hong Kong bahkan mencapai lebih dari 2.000 emiten.
"Ini yang kadang ada salah persepsi, melihat valuasi IHSG lebih mahal atau murah dari PER," katanya.
Menurut Reza, untuk membandingkan pasar saham Asia lebih cocok dari sisi pertumbuhan emiten atau dari pertumbuhan IHSG. Pada tahun lalu, IHSG mencetak pertumbuhan 15,32%, tertinggi kedua setelah bursa saham Thailand.
šŸ‘ƒ
KOMPAS.com - Kondisi perekonomian global diperkirakan masih melaju lambat pada 2017. Apakah berarti para pelaku usaha cukup berpasrah diri saja dan bersiap menyambut lonceng kematian? Atau ada strategi untuk tetap berjaya?
Proyeksi Dana Moneter Internasioal (IMF) dan Bank Dunia, ekonomi global pada 2017 hanya tumbuh 3,4 persen. Prediksi Bank Indonesia (BI) malah lebih rendah, yaitu di kisaran 3,2 persen.
BI membuat proyeksi itu berdasarkan perkembangan perekonomian dan politik di berbagai kawasan, seperti Brexit di Inggris dan kemenangan Donald Trump di Amerika.
Bagaimana dengan Indonesia?
IMF memperkirakan perekonomian Republik ini akan tumbuh 5,3 persen pada 2017. Lembaga tersebut berpendapat, kinerja ekonomi Indonesia masih biasa-biasa saja, sekalipun angkanya tercatat paling tinggi di kawasan Asia Tenggara pada tahun itu.
Menurut IMF, negara lain di kawasan tersebut bakal mencatatkan kinerja keuangan lebih baik dibandingkan Indonesia, meski angka pertumbuhannya tak lebih besar. Belum lagi, daya saing Indonesia diperkirakan makin melemah di kawasan ini.
Laporan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 yang dirilis World Economic Forum (WEF), misalnya, menyebutkan, daya saing Indonesia melorot dari peringkat ke-37 menjadi ke- 41. Total, ada 138 negara yang masuk daftar tersebut.
Belum pulihnya perekonomian dunia juga memberikan imbas negatif bagi ekonomi domestik. Salah satunya, daya beli masyarakat melemah. Bila dibiarkan berlarut-larut, situasi tersebut bisa menjadi ancaman menakutkan bagi dunia usaha.
“Lantaran daya beli masyarakat melemah, turunnya suka bunga acuan BI belum banyak berdampak pada investasi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi RI tidak bisa lebih tinggi,“ papar ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan, Muhammad Chatib Basri seperti dikutip Kontan, Kamis(17/11/2016).
Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilansir BI pada Desember 2016, mendapati Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Oktober 2016 hanya tumbuh 7,6 persen year on year (yoy). Angka ini turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 10,7 persen. IPR merupakan indikator yang mengukur pertumbuhan penjualan eceran di masyarakat.

Tergerusnya nilai IPR pun sejalan dengan semakin meningkatnya tren angka inflasi bulanan sejak Agustus 2016. Menurut data BI, inflasi pada November 2016 bertengger di level 3,58 persen, sementara pada Agustus masih berada di posisi 2,79 persen.
Pertumbuhan kegiatan usaha pada kuartal III 2016 pun ikut melandai, dengan penurunan terbesar terjadi di sektor pengolahan. Perlambatan terbesar urutan berikutnya, berturut-turut terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran, pertambangan dan penggalian, listrik, gas, serta air bersih.
Indikasi tersebut terbaca dari data Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang juga dilansir BI. Data itu menyebutkan, Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kuartal III/2016 adalah 13,20 persen, anjlok dari 18,40 persen pada kuartal II/2016. SBT didapat dari perkalian antara saldo bersih dan bobot masing-masing sub-sektor ekonomi.
Gambaran yang sama diperkirakan masih menghiasi wajah perekonomian Indonesia pada 2017. Apa strategi jitu yang harus dirancang dan dijalankan pelaku usaha untuk menyelamatkan kelangsungan bisnisnya?
Mulai dari efisiensi
Ada banyak pilihan strategi bisa dilirik pelaku usaha untuk menghadapi tantangan perekonomian global dan nasional. Penghematan, misalnya.
Corporate Finance and Transaction Support RSM AAJ, Wiljadi Tan mengatakan, efisiensi merupakan langkah pertama yang harus perusahaan ambil saat menghadapi gejolak ekonomi.
“Untuk bisa survive, apa yang harus dirampingkan harus dilakukan. Intinya, mengencangkan ikat pinggang agar lebih langsing," tutur Wijadi, seperti dimuat Kontan pada Jumat (28/8/2016).

Meski begitu, dia mewanti-wanti efisiensi yang dilakukan jangan sampai mengurangi kualitas produk atau jasa yang dihasilkan.
Langkah seperti saran dan pesan Wijadi bisa ditengok salah satunya di PT Antam (Persero) Tbk. Perusahaan ini menekan serendah mungkin biaya produksi di tengah anjloknya harga komoditas mineral global.
Salah satu cara yang dilakukan adalah menata ulang manajemen bahan bakar. Untuk pembelian, mereka menggunakan sistem Vendor Held Stock Marine Fuel Oil (MFO).
“Kami isi tangki penuh dulu, nanti dibayar sesuai dengan pemakaian. Jadi proses produksi dapat berjalan tanpa mengeluarkan uang lebih dahulu sehingga efisien,” papar Direktur Keuangan Antam, Dimas Wikan Pramudhito, kepada Kompas.com, Senin (7/11/2016).
Selain itu, Antam menghemat pula penggunaan bahan-bahan di kegiataan operasional unit bisnisnya. Mereka juga menegosiasi ulang kontrak dengan pihak ketiga agar kerja sama lebih menguntungkan.
Hasilnya menggembirakan. Per kuartal III 2016, salah satu BUMN itu berhasil menghemat biaya operasional sebesar Rp 23,1 miliar.
Strategi Inovasi
Biasanya, niat konsumen membeli kembali suatu produk akan muncul jika ada pembaruan. Selain menarik daya beli, inovasi dapat mempertahankan perusahaan tetap kompetitif.
Merujuk lagi ke Antam, inovasi produk emasnya bisa jadi contoh. Bila dahulu perusahaan ini hanya menjual emas batangan dengan desain polos, sekarang sudah ada produk emas batangan bermotif batik dan perhiasan.
“Dengan desain menarik dikombinasikan elemen-elemen lain seperti batu permata, orang akan memilih membayar ekstra untuk mendapatkannya,” kata Dimas.

Jadi, proyeksi suram bukan selalu berarti lonceng kematian buat kegiatan usaha, bukan?
JAKARTA - Tahun baru yang tinggal menghitung hari, memiliki harapan baru bagi pelaku pasar modal dan begitu juga dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Di mana keyakinan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 yang akan jauh lebih baik akan membawa angin segar bagi target BEI yang diyakini mampu mendatangkan 35 emiten baru. Namun optimisme tersebut, dinilai pesimistis lantaran kondisi ekonomi global yang belum seluruhnya pulih.
Deputy Head of Equity Research Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja menyebutkan, target BEI bisa merangkul 35 perusahaan untuk melantai (IPO) di pasar modal Indonesia pada 2017sangat susah. Sebab, masih banyak perusahaan yang wait and see kejadian yang terjadi di global maupun domestik. ”Karena memang bulan pertama di tahun depan impact Donald Trump ke ekonomi global sangat besar. Jadi pertumbuhan pasar tidak akan bisa cepat dari awal tahun depan. Sebanyak 20 emiten saja sudah bagus,"ujarnya di Jakarta, kemarin.
Demi meningkatkan kinerja pasar modal di 2017, menurut Tjandra, pemerintah harus bisa memberikan keamanan yang lebih kondusif di negeri ini, serta menjaga kondisi inflasi, agar memberikan dorongan bagi ekonomi Indonesia di tahun depan."Tapi, semua itu akan tidak memberikan dampak, jika keadaan global tidak baik. Global itu paling utama," tegas dia.
Pada saat ini, lanjut Tjandra, produk pasar modal sudah cukup banyak untuk dinikmati oleh para investor. Sehingga masih cukup bersaing bila dibanding dengan bursa yang lainnya, khususnya yang ada di ruang lingkup Asia."Kalau dibanding negara lain mungkin produk kita kurang, untuk sementara masih oke. Masih bisa diperbaiki, kita tidak kalah baik dibanding lainnya,"ungkapnya.
Menurut dia, perusahaan IPO di bursa untuk meningkatkan nilai yang ada di pasar. Pada akhirnya, pelaku pasar memiliki kepercayaan yang besar untuk masuk ke saham perusahaan yang IPO."Pada dasarnya perusahaan mau IPO karena ingin mewariskan value di market yang bagus, mungkin mereka ingin memperbaiki kinerja keuangannya. Dengan go public,company orang bisa melihat dengan jelas, jadi semua stakeholder tahu," tuturnya.
Sebelumnya, BEI mengklaim pasar IPO tahun 2017 akan lebih semarak dari tahun 2016. Apalagi, beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menyampaikan minat membawa anak usahanya go public di 2017. Sebut saja, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II yang memastikan tiga anak usahanya bakal listing di lantai bursa pada tahun 2017. Maka tidak heran, target IPO sebanyak 35 perusahaan di 2017 diyakini akan tercapai.
Apalagi, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat menyampaikan optimistis dengan kinerja pasar modal di 2017. Hal itu diakibatkan adanya efek positif dari perjalanan bursa sepanjang tahun ini. Di mana sepanjang 2016, pasar modal Indonesia menduduki posisi kedua di Asean. Peringkat tersebut memang cukup bagus, meskipun ada penurunan indeks setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS.”Tahun depan Insya Allah selalu aja ada optimisme, dan dengan raihan di 2016 saya kira 2017 cukup optimis dan antusiasme perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan pasar modal cukup baik,"ujarnya.
Kinerja pasar modal Indonesia yang positif selama 2016, menurut Samsul, karena didorong oleh berbagai kebijakan pemerintah dan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang telah berlangsung sejak Juli 2016 hingga saat ini. Walaupun merasa optimistis di tahun depan, lanjut Samsul, manajemen bursa juga mengharapkan keamanan menjadi lebih baik. Pasalnya, keamanan merupakan salah satu faktor yang menentukan keinginan investor asing untuk masuk ke pasar Indonesia."Salah satu yang menggerakkan market kita itu kan investor asing. Kalau keamanan tidak terjamin, maka dunia investasi juga terpengaruh. Kita ingin juga selain support ekonomi juga didukung oleh sisi keamanan dalam negeri," kata Samsul.
BEI memasang target ambisius di 2017 berupa rata-rata nilai transaksi harian tembus Rp8 triliun meski dua tahun terakhir harus merevisi target yang sudah ditetapkannya. Adapun emiten baru diproyeksikan bertambah 35 perusahaan. Dirut BEI,Tito Sulistiopernah bilang,minat investor dari dalam maupun luar negeri untuk masuk ke pasar saham berpotensi meningkat pada tahun depan. Pasalnya, indikator ekonomi Indonesia pada 2017 diproyeksi mengalami perbaikan, di mana pertumbuhan ekonomi melaju 5,1%, tingkat inflasi 4% plus minus 1%, nilai tukar rupiah Rp13.300/dolar AS, dan suku bunga acuan Bank Indonesia (7-day Reverse Repo Rate) diperkirakan berada pada level 5%.“Pertumbuhan minat investor akan dibarengi dengan penambahan wakil perantara perdagangan efek aktif menjadi 5.400 orang, mendirikan lembaga securities financing pada semester II/2017, serta penerapan relaksasi marjin,” ujarnya. (kmj)
(rhs)
šŸ’Ŗ

JAKARTA kontan. Banyak yang berharap, kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada 2014-2019 bakal menghasilkan pemerintahan mumpuni. Dengan Nawa Cita-nya, Jokowi menjanjikan akslerasi pertumbuhan ekonomi nasional yang bertumpu pada industri manufaktur, industri pangan, sektor maritim, dan pariwisata.
Nyatanya, sejauh ini kinerja Jokowi-JK dalam angka pertumbuhan ekonomimasih gagal menandingi prestasi Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga tahun 2015, pertumbuhan ekonomi semakin melemah. 
Termasuk pada tahun 2016 ini, diperkirakan juga belum bisa bangkit. Pemerintah pun sudah menganalisa, pertumbuhan ekonomi 2016 maksimal 5,1%, tapi banyak ekonom hanya menaruh angka 5%.
Masalahnya, Jokowi-JK juga bakal kembali sulit merealisasikan janji akselerasi perekonomian nasional 2017. Pasalnya, semakin banyak hambatan yang bakal menyulitkan pemerintah Kabinet Kerja. 
Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, risiko fiskal tetap membayangi perekonomian Indonesia 2017. Bahkan Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, Anton H Gunawan saat outlook ekonomi Indonesia 2017 yang digelar Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta 10 November 2016 menyebut risiko fiskal adalah hal utama penghalang ekonomi nasional. "Shortfallpajak (selisih kekurangan penerimaan pajak terhadap target) berpotensi terjadi, sehingga defisit anggaran bakal melebar," kata Anton.

Selain risiko fiskal, konsumsi rumah tangga yang melemah juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi RI. Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri bilang, konsumsi rumah tangga masih akan flat. 
Walau Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuannya, tetapi itu belum banyak berdampak pada investasi lantaran lemahnya permintaan masyarakat. Investasi diperkirakan juga belum terdongkrak. Rasio tabungan domestik saat ini yang hanya 30%-32% dari PDB, belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi 6% tahun depan. "Kalau pertumbuhan ekonomi dipaksa 6% maka defisit anggaran melompat. Kalau dibiayai portofolio, risiko sudden reversal," kata Chatib.
Tekanan juga kembali datang dari global. International Monetary Fund (IMF) memang memproyeksikan perekonomian dunia 2017 bisa tumbuh 3,4%, lebih baik dibandingkan perkiraan 2016 hanya 3,1%.
Namun, IMF juga mengakui akan ada pelambatan di China, dari perkiraan 6,5% (2016) menjadi 6,2% (2017). Pelambatan di China menjadi batu sandungan terbesar bagi Indonesia. 
Sumber: Kemenko Perekonomian
Mengingat, China merupakan pasar ekspor andalan Indonesia. "Elastisitas perekonomian China terhadap Indonesia paling besar mencapai 0,11%, AS hanya 0,05% dan Jepang hanya 0,06%," jelas Anton.
Terkait AS, kebijakan proteksi ekonomi AS yang disinyalkan Presiden Donald Trump juga menimbulkan kekhawatiran baru bagi Indonesia. Ekspor ke AS bisa merosot jika Trump benar-benar merealisasikan janji kampanyenya.
Ekspor Indonesia juga masih akan sulit bangkit karena harga komoditas akan flat dan cenderung melemah pada tahun 2017. Anton mencontohkan, tiga komoditas andalan ekspor yakni batubara diperkirakan akan diperdagangkan pada harga rata-rata US$ 5,23 per metrik ton (MT) tahun depan, lebih rendah dari proyeksi tahun ini US$ 53,4 per MT.  
Lalu minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dari perkiraan harga US$ 2,59 per MT tahun ini menjadi US$ 2,54 per MT 2017. Hanya karet yang diperkirakan membaik, yakni dari proyeksi tahun ini US$ 1,05 per MT menjadi US$ 1,23 per MT.
Optimalkan peluang
Meski hambatan kian banyak, Anton meyakini perekonomian Indonesia tetap bisa sukses melewati tahun 2017 dengan pertumbuhan yang tinggi. Syaratnya, pemerintah harus bisa memanfaatkan sejumlah peluang pendongkrak perekonomian nasional.
Pertama, pemerintah tetap melanjutkan program hilirisasi di sektor komoditas. Pengolahan komoditas akan meningkatkan nilai tambah. Anton memberi contoh, harga CPO hanya US$ 795 per MT. Namun jika diolah menjadi biodiesel, harganya naik menjadi US$ 885 per MT.
Kedua, mengoptimalkan potensi wisata di Indonesia guna menarik wisatawan asing. Pemerintah wajib membentuk Bali baru di daerah lain yang banyak potensi wisata. Oleh karena itu, tak hanya promosi, pemerintah juga harus gencar memperbanyak sarana infrastruktur di tempat pariwisata baru.
Ketiga, pemerintah melanjutkan program pengembangan e-commerce yang sudah dirintis selama ini. Market size e-commerce Indonesia merupakan yang terbesar se-ASEAN mencapai US$ 2,2 billion tahun 2014. Ini potensi yang bisa mendorong perekonomian nasional.
Sejauh ini, Anton masih menghasilkan perhitungan pertumbuhan ekonominasional 2017 yang moderat seperti target pemerintah, yakni 5,1%. Namun, jika ketiga potensi itu berhasil terlaksana, Anton pede laju ekonomi kian besar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui perlambatan ekonomi global diperkirakan masih berlanjut. Selama dua tahun terkahir, perekonomian global terpukul karena permintaan yang lemah dan harga komoditas menurun.
Dari sisi domestik, konsumsi rumah tangga diakuinya akan tertekan karena pemerintah mencabut subsidi listrik dan 900 volt ampere (va). "Makanya angka 5,1% bukan karena pemerintah tak ambisius, tapi ini adalah titik kombinasi yang seimbang antara optimisme dan kehati-hatian," ujar Sri Mulyani dalam acara Economic Outlook di Gedung bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (23/11).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menambahkan, pemerintah akan menghadapi berbagai hambatan itu dengan kebijakan yang tepat. Ia sepakat dengan usulan Anton Gunawan terkait industri pariwisata.
Belakangan ini pemerintah memang gencar mengoptimalkan pariwisata sebagai pendongkrak ekonomi nasional. Pemerintah sudah memberikan fasilitas yang memudahkan wisatawan asing berkunjung ke sejumlah daerah yang menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata.
Fasilitas itu antara lain pengurusan visa on arrival and multiple visit visa. Ada juga fasilitas bebas visa berkunjung ke Indonesia bagi 169 negara.
Tabel Target Pengembangan Sektor Pariwisata Hingga Tahun 2019
Sumber: Kemenko Perekonomian
Diharapkan, kebijakan itu bisa menjadikan Indonesia sebagai tujuan pariwisata dunia. Ujungnya adalah, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional melonjak jadi 13% pada tahun 2017.
šŸ’Ŗ

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) menilai masih sulit bagi Indonesia untuk kembali mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen. ‎Ekonomi Indonesia pernah tumbuhan lebih dari 6 persen pada 2013 lalu.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, salah satu sebab sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu karena kondisi ekonomi global yang‎ mengalami perlambatan. Termasuk, ekonomi Tiongkok yang sulit kembali tumbuh double digit.
"Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2007 itu 10 persen-12 persen dan ‎Tiongkok merupakan ekonomi terbesar di dunia. Tiongkok sekarang di level 6,5 persen. Jadi agak sulit kita keluar dari siklus ekonomi dunia," ujar dia dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2017 di Hotel Kempinski, Jakarta, Jumat (16/12/2016).

Mirza menyatakan, kondisi ekonomi Tiongkok juga mempengaruhi perekonomian Indonesia. Sebab, Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia‎ sehingga jika perekonomiannya melambat, permintaan bahan baku dan produk dari Indonesia juga akan menurun.

"Bersyukur Tiongkok tidak drop di bawah 6 persen. Jika tahun depan 6,5 persen-6,7 persen juga, paling tidak kita 5 persen-5,4 persen itu sudah bagus," kata dia.

Meski demikian, menurut Mirza, jika berkaca pada ekonomi global, pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai Indonesia pada saat ini sudah cukup bagus. Sebab, ekonomi negara-negara lain di Asia Tenggara tumbuh jauh di bawah Indonesia.

"Thailand di bawah 3 persen. Singapura di bawah 3 persen. Di Asia Tenggara, Indonesia tertinggi," tandas dia.
new toyota (c-hr) for non toyotalike buyers

Komentar

  1. Hai semua,

    Adakah anda diperah kewangan?
    Adakah anda mencari dana untuk membayar kredit dan hutang?
    Adakah anda mencari dana untuk menubuhkan perniagaan anda sendiri?
    Adakah anda memerlukan peribadi atau perniagaan Pinjaman untuk pelbagai tujuan?
    Adakah anda mencari pinjaman untuk melaksanakan projek-projek besar?
    Mendapatkan pinjaman daripada nombor satu pinjaman menyediakan syarikat benar ini hari ini dan mula dengan sesuatu yang bermanfaat.
    urusniaga kami adalah 100% dijamin kerana kami juga memastikan hubungan yang baik dengan semua pelanggan.
    Kami menawarkan Pinjaman tanpa Cek kredit, Tiada cagaran, langkah-langkah mudah, pembiayaan cepat dan kadar faedah rendah sebanyak 2%.
    Mengapa kekal dalam pecahan kewangan?
    Membebaskan diri daripada kemiskinan hari ini.

    Dapatkan borang pinjaman pelanggan anda hari ini melalui e-mel: kathleenfosterloanfirm@gmail.com
    Atau Ibu Pejabat di: kathleenfosterloanfirmus@gmail.com

    Terima kasih!

    BalasHapus
    Balasan



    1. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

      Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

      saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

      Pembayaran yang fleksibel,
      Suku bunga rendah,
      Layanan berkualitas,
      Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

      Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

      Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

      Hapus
  2. Saya Widya Okta, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.

    Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)

    Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.

    Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ihsg per tgl 2-17 OKTOBER 2017 (pra BULLISH November-Desember 2017)_01/10/2019

  RIBUAN PERSEN PLUS @ warteg ot B gw (2015-2017) ada yang + BELASAN RIBU PERSEN (Januari 2017-Oktober 2017) kalo bneran, bulan OKTOBER terjadi CRA$H @ IHSG, well, gw malah bakal hepi banget jadi BURUNG PEMAKAN BANGKAI lah ... pasca diOCEHIN BANYAK ANALIS bahwa VALUASI SAHAM ihsg UDA TERLALU MAHAL, mungkin satu-satunya cara memBIKIN VALUASI jadi MURAH adalah LWAT CRA$H, yang tidak tau disebabkan oleh apa (aka secara misterius)... well, aye siap lah :)  analisis RUDYANTO @ krisis ekonomi ULANGAN 1998 @ 2018... TLKM, telekomunikasi Indonesia, maseh ANJLOK neh, gw buru trus! analisis ringan INVESTASI SAHAM PROPERTI 2017-2018 Bisnis.com,  JAKARTA – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini, Selasa (1/10/2019), akan mendapat sentimen positif dari hijaunya indeks saham Eropa dan Amerika Serikat pada perdagangan terakhir bulan September. Berdasarkan data  Reuters , indeks S&P 500 ditutup menguat 0,50 persen di level 2.976,73, indeks Nasdaq Comp

ihsg per tgl 15 Desember 2014

JAKARTA – Investor asing dipastikan masih bertahan di Indonesia. Kendati bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga hingga 100 bps tahun depan, imbal hasil (yield) portofolio di Indonesia tetap lebih atraktif, sehingga kenaikan Fed funds rate tidak akan memicu gelombang pembalikan arus modal asing (sudden reversal). Imbal hasil surat utang negara (SUN) dan obligasi korporasi Indonesia bertenor lima tahun saat ini berkisar 7-8%, jauh lebih baik dibanding di Eropa dan AS yang hanya 2-2,5%. Begitu pula dibanding negara-negara lain di Asia, seperti Korea dan Thailand sebesar 2,5-3,5%. Di sisi lain, dengan pertumbuhan laba bersih emiten tahun ini sebesar 10-15% dan price to earning ratio (PER) 14 kali, valuasi saham di bursa domestik tergolong murah. Masih bertahannya investor asing tercermin pada arus modal masuk (capital inflow). Secara year to date, asing membukukan pembelian bersih (net buy) di pasar saham senilai Rp 47,54 triliun. Tren

Waspada: ekonomi 2024

  INFLASI: +0.04% (Januari 2024) INFLASI: +0.34% (Februari 2024) INFLASi: inflasi pangan Maret 2024 PDB: +5.05% (2023, yoy) Cadangan Devisa : $144 M, aza Cadangan Devisa: $140,4 M, aza Cadangan Devisa : $136,2 M (April 2024) SBY v. Jokowi: ekonomi yang lebe bagus šŸ’