TEMPO.CO, Jakarta - Indeks Harga Gabungan Saham pada hari ini dan sepekan kemudian diprediksi akan terus melanjutkan tren positif. Hal ini dikarenakan semakin kuatnya kepercayaan para investor kepada situasi perekonomian negara di tengah situasi perekonomian global yang kurang menguntungkan.
“Luar biasa, IHSG akan terus mencatat rekor baru,” ujar William Surya, Analis dari Indosurya Securities, Minggu, 8 Maret 2015.
IHSG diprediksi akan menyentuh level kisaran 5.426-5.547. Sebelumnya, IHSG pada perdagangan pekan lalu, sempat menyentuh rekor terbaru sepanjang masa di angka 5.499.
“Kepercayaan terlihat dari banyaknya capital inflow yang mengalir di tengah penguatan dollar,” ujar William. Kondisi perekonomian, kata dia, juga menunjukkan sedang dalam kondisi yang stabil.
Sentimen positif turun disumbangkan oleh peningkatan cadangan devisa negara pada Februari yang meningkat menjadi US$ 115,5 miliar, dari US$ 114,2 miliar pada Januari lalu. Karena itu, Surya optimistis dalam jangka pendek, IHSG berpeluang terus menguat.
Adapun beberapa saham yang dianggap Surya bakal mengalami kenaikkan. Saham-saham tersebut di antara lain; Bank Negara Indonesia (BBNI); Jasa Marga (JSMR); Perusahaan Gas Negara (PGAS); Astra Internasional (ASII); Bank Pembangunan Jawa Timur (BJTM); Pakuwon Jati (PWON); Bank Rakyat Indonesia (BBRI); Unilever (UNVR); Indofood (INDF).
ANDI RUSLI
JAKARTA kontan. Setelah berhasil menembus level 5.500, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih akan bergerak menguat. Jumat (6/2) ini IHSG naik 1,17% dibandingkan hari sebelumnya menjadi 5.514,78. Tercatat selama sepekan IHSG menguat 1,18%.
Para analis menilai, pergerakan selama sepakan ini lebih didominasi oleh sentimen dalam negeri. Lanjar Nafi Taulat, Analis Reliance Securities mengatakan dari awal hingga akhir pekan data ekonomi domestik menunjukkan hasil yang positif. Seperti dari data neraca perdagangan, inflasi yang mencatatkan deflasi dan tumbuhnya uang beredar 15,3% year on year (yoy) di Januari 2015.
Tak hanya itu, Analis Net Sekuritas Fadli juga mengatakan data ekonomi lain yang dirilis seperti cadangan devisa negara juga menjadi katalis positif bagi pergerakan indeks. Kemarin data cadangan devisa dicatat naik US$ 1,3 miliar di Februari 2015 menjadi US$ 115,2 miliar. "Data tersebut menjadi pendorong IHSG untuk naik ke level tertingginya," katanya.
Lanjar juga bilang, data tersebut semakin memperkuat rasa optimisme investor asing. Terbukti di akhir pekan, investor asing kembali mencatat net buy senilai Rp 165,76 miliar setelah sehari sebelumnya melakukan net sell Rp 208,21 miliar. "Investor lokal juga terlihat sudah mulai mencatatkan aksi beli setelah di awal pekan melakukan aksi profit taking," terangnya kepada KONTAN.
Jika menengok selama sepekan, IHSG sempat sempat terkoreksi selama dua hari berturut-turut. Lanjar bilang hal itu wajar terjadi lantaran, ia menilai kenaikan IHSG sudah terlalu tinggi. Serta pelemahannya juga dikarenakan sentimen luar. Yakni, dari Eropa yang saat itu para investor tengah menunggu stimulus apa yang akan dikucurkan demi memperbaiki tingkat ekonomi.
Kemudian, indeks saham kembali menguat di pertengahan minggu dan berakhir dengan menembus rekor baru. Selama sepakan ini juga, sentimen positif datang dari laporan keuangan para emiten hasilnya positif. "Para emiten banyak yang mencatatkan laba yang positif," tutur Lanjar. Padahal seperti diketahui, tahun lalu sebagai tahun tantangan bagi para perusahaan karena dari segi ekonomi dan politik yang kurang stabil.
Sementara dari sentimen luar, IHSG di pekan ini cenderung dipengaruhi oleh Eropa yang akan mulai program quantitative easing (QE) di awal pekan.
Alwy Assegaf, Analis Universal Broker Indonesia mengatakan, penguatan IHSG pekan ini justru ditopang oleh investor asing yang dinilainya cukup agresif mencatatkan aksi beli. "IHSG dapat menguat karena diredam oleh asing yang beli ditengah investor lokal melakukan aksi profit taking," jelasnya.
Lanjar juga menambahkan, investor asing yang sempat satu kali melakukan aksi net sell itu dikarenakan berita regional dimana, China memangkas target pertumbuhan ekonominya. Apalagi beberapa sektor manufaktur Tiongkok juga merilis data yang di bawah ekspetasi.
Nah, untuk pekan depan Alwy dan Lanjar bilang IHSG masih akan diwarnai aksi profit taking, terutama pada investor lokal. Pasalnya, di pekan depan minim data penting yang dapat mempengaruhi laju indeks saham. "Seperti pengumuman BI rate dan lain-lain akan diumumkan pada pekan berikutnya," tukas Alwy.
Keduanya juga sepakat, jika dilihat dari sisi teknikal IHSG justru berpeluang terkoreksi di pekan depan. Lanjar bilang, hal itu terlihat dari bollinger band sudah berada di area upper bollinger. Indikator stochastic pergerakannya bearish dari dua hari sebelumnya dan MACD kenaikannya sudah cukup tinggi dengan histogramnya melemah.
Apalagi candlestick dalam jangka menengah masih menunjukkan pola bearish butterfly harmonic yang mengindikasikan negatif. "Jika dilihat dari pola tersebut IHSG dapat terkoreksi hingga 5.300," tambahnya.
Meski begitu Lanjar melanjutkan, di pekan depan IHSG masih berpeluang untuk mencapai rekor barunya. Hal ini terlihat dari indikator RSI momentumnya bullish di area overbought. Ditambah lagi adanya data dari hasil survey penjualan eceran dalam negeri.
Lalu mengenai pelemahan rupiah yang menembus level Rp 13.000 per dollar Amerika Serikat (AS) para analis menilai, hal ini tak menjadi pemberat bagi laju indeks saham selama sepekan ini. Itu berkat perkataan Bank Indonesia yangmana, level tersebut masih dibatas normal. Lagipula, pelemahan yang terjadi ini tak hanya dirasakan oleh rupiah saja, tapi juga oleh mata uang di negara Asia lainnya.
Untuk pekan depan Lanjar bilang, IHSG akan dipengaruhi dari sentimen luar. Seperti Jepang yang akan merilis data GDP yang diprediksikan positif dan China yang akan merilis data inflasinya.
Dengan demikian Fadli dan Lanjar bilang di pekan depan IHSG masih akan berpeluang naik dan masing-masing bergerak di kisaran5.460-5.600 dan 5.430-5.535. Sedangkan Alwy memperkirakan IHSG masih akan cenderung terkoreksi di pekan depan dengan range 5.460-5.550.
Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Harian KONTAN edisi akhir pekan
Sabtu (7/3) memiliki sejumlah berita menarik. Pada halaman tiga rubrik
Bursa ada empat berita pilihan. Pertama ada kinerja PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) di
2014 tidak menggembirakan. Sepanjang tahun lalu, laba bersih emiten
pelat merah ini turun 10,15% menjadi US$ 722,75 juta. Laba per saham
PGAS tercatat stagnan di US$ 0,03 per saham. Padahal, pendapatan PGAS
pada 2014 masih tumbuh 13,5% year on year (yoy) menjadi US$ 3,4 miliar.
Ini karena penguatan mata uang dollar Amerika Serikat (AS) ke yen
membuat penurunan keuntungan selisih kurs. Di 2013, pos laba selisih
kurs US$ 154,08 juta. Sementara di 2014, US$ 49,63 juta. Harga pasar
minyak dunia yang melorot membuat kontribusi anak usahanya, PT Saka
Energi Indonesia (SEI) tak maksimal.
Kedua ada berita soal Asia Color Company (ACC) secara perlahan keluar posisinya sebagai pemegang saham di PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF). Bulan lalu, anak usaha dari CVC Capital Partners ini kembali melepas kepemilikan saham di perusahaan milik Grup Lippo tersebut. Berdasarkan surat resmi ACC yang diterima LPPF, disebutkan ACC telah menjual 116,7 juta saham LPPF. Jumlah itu setara dengan 4% dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh LPPF.
Ketiga, Grup Lippo kembali akan mengantarkan anak usahanya menuju papan pencatatan Bursa Efek Indonesia (BEI). Kali ini, giliran PT Indonesia Media Televisi (IMTV), operator televisi berbayar berbasis satelit, BiG TV. Manajemen Big TV dan penjamin emisi, pada Jumat (6/3), melakukan mini expose di hadapan para pejabat BEI. Big TV berencana menawarkan sebanyak 15% sahamnya ke publik melalui skema penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO). Perseroan tersebut akan menggunakan laporan keuangan November tahun lalu sebagai dasar valuasi. Dengan demikian, Indonesia Media Televisi harus mengantongi izin efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Mei 2015 mendatang. Adapun pencatatan sahamnya bisa dilakukan paling lambat pada Juni tahun ini.
Keempat setelah berhasil menembus level 5.500, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih akan bergerak menguat. Jumat (6/2), IHSG naik 1,17% dibandingkan hari sebelumnya menjadi 5.514,78. Selama sepekan IHSG menguat 1,18%. Para analis menilai, selama sepekan ini sentimen dalam negeri lebih mendominasi. Data ekonomi domestik menunjukkan hasil yang positif seperti neraca perdagangan, deflasi dan tumbuhnya uang beredar 15,3% year on year (yoy) di Januari 2015.
Kedua ada berita soal Asia Color Company (ACC) secara perlahan keluar posisinya sebagai pemegang saham di PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF). Bulan lalu, anak usaha dari CVC Capital Partners ini kembali melepas kepemilikan saham di perusahaan milik Grup Lippo tersebut. Berdasarkan surat resmi ACC yang diterima LPPF, disebutkan ACC telah menjual 116,7 juta saham LPPF. Jumlah itu setara dengan 4% dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh LPPF.
Ketiga, Grup Lippo kembali akan mengantarkan anak usahanya menuju papan pencatatan Bursa Efek Indonesia (BEI). Kali ini, giliran PT Indonesia Media Televisi (IMTV), operator televisi berbayar berbasis satelit, BiG TV. Manajemen Big TV dan penjamin emisi, pada Jumat (6/3), melakukan mini expose di hadapan para pejabat BEI. Big TV berencana menawarkan sebanyak 15% sahamnya ke publik melalui skema penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO). Perseroan tersebut akan menggunakan laporan keuangan November tahun lalu sebagai dasar valuasi. Dengan demikian, Indonesia Media Televisi harus mengantongi izin efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Mei 2015 mendatang. Adapun pencatatan sahamnya bisa dilakukan paling lambat pada Juni tahun ini.
Keempat setelah berhasil menembus level 5.500, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih akan bergerak menguat. Jumat (6/2), IHSG naik 1,17% dibandingkan hari sebelumnya menjadi 5.514,78. Selama sepekan IHSG menguat 1,18%. Para analis menilai, selama sepekan ini sentimen dalam negeri lebih mendominasi. Data ekonomi domestik menunjukkan hasil yang positif seperti neraca perdagangan, deflasi dan tumbuhnya uang beredar 15,3% year on year (yoy) di Januari 2015.
Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA kontan. Pelemahan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut. Sejak awal tahun,
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah anjlok hingga 4,5%. Bank
Indonesia masih menganggap normal pelemahan ini dan tidak melihat adanya
situasi darurat.
Emiten yang tertekan dengan pelemahan nilai tular rupiah juga telah melakukan antisipasi. Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia Franciscus Welirang mengaku sudah mendapat peringatan dari BI terkait fluktuasi rupiah.
Franky memaparkan, BI sempat mengundang asosiasi bersama para emiten dan memberi gambaran terkait kondisi perekonomian dunia. "Sudah ada pre-warning terhadap kemungkinan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS," ungkapnya kepada KONTAN, Jumat (6/3).
Pelemahan mata uang terhadap dollar AS, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun berlaku global. Franky yakin emiten dengan eksposure dollar AS tinggi akan memperhatikan hal tersebut. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah justru menguntungkan emiten dengan pendapatan ekspor tinggi.
Strategi emiten untuk menghadapi pelemahan rupiah salah satunya dengan lindung nilai alias hedging. Hal ini dilakukan oleh PT Indosat Tbk (ISAT). Andromeda Tristanto, Investor Relations ISAT mengaku, 50% dari eksposure dollar AS perseroan telah dilindung nilai. Hal ini telah menjadi kebijakan perseroan sejak lama.
Tahun ini ISAT berencana melunasi utang obligasi sebesar US$ 650 juta yang jatuh tempo tahun 2020. Dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Utama ISAT, Alexander Rusli mengaku berubah pikiran dan hanya akan melunasi sebagian utang tersebut lantaran rupiah yang lebih melemah. "Kami bisa menggunakan hak call option untuk melunasi utang obligasi tersebut mulai 29 Juli mendatang. Kalau ada kemungkinan perubahan akan kami lakukan," ungkap Andromeda.
Hal serupa dilakukan oleh PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN). Emiten pakan ternak ini cukup tertekan dengan pelemahan rupiah mengingat sebagian besar bahan baku pakan ternak diimpor dari luar negeri.
Rudy Hartono, Sekretaris Perusahaan MAIN mengaku sudah melakukan upaya hedging. "Kami juga transfer cost ke customer," ungkapnya.
Disamping itu, MAIN berusaha melakukan efisiensi. Harga komoditas yang melemah pun menjadi dorongan positif di tengah pelemahan rupiah.
MAIN siap menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah hingga nilai berapapun. Namun, perseroan berharap nilai rupiah stabil. "Ini menjadi harapan pelaku industri terutama bagi yang lebih besar impor dibanding ekspor," lanjut Rudy.
Emiten yang tertekan dengan pelemahan nilai tular rupiah juga telah melakukan antisipasi. Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia Franciscus Welirang mengaku sudah mendapat peringatan dari BI terkait fluktuasi rupiah.
Franky memaparkan, BI sempat mengundang asosiasi bersama para emiten dan memberi gambaran terkait kondisi perekonomian dunia. "Sudah ada pre-warning terhadap kemungkinan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS," ungkapnya kepada KONTAN, Jumat (6/3).
Pelemahan mata uang terhadap dollar AS, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun berlaku global. Franky yakin emiten dengan eksposure dollar AS tinggi akan memperhatikan hal tersebut. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah justru menguntungkan emiten dengan pendapatan ekspor tinggi.
Strategi emiten untuk menghadapi pelemahan rupiah salah satunya dengan lindung nilai alias hedging. Hal ini dilakukan oleh PT Indosat Tbk (ISAT). Andromeda Tristanto, Investor Relations ISAT mengaku, 50% dari eksposure dollar AS perseroan telah dilindung nilai. Hal ini telah menjadi kebijakan perseroan sejak lama.
Tahun ini ISAT berencana melunasi utang obligasi sebesar US$ 650 juta yang jatuh tempo tahun 2020. Dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Utama ISAT, Alexander Rusli mengaku berubah pikiran dan hanya akan melunasi sebagian utang tersebut lantaran rupiah yang lebih melemah. "Kami bisa menggunakan hak call option untuk melunasi utang obligasi tersebut mulai 29 Juli mendatang. Kalau ada kemungkinan perubahan akan kami lakukan," ungkap Andromeda.
Hal serupa dilakukan oleh PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN). Emiten pakan ternak ini cukup tertekan dengan pelemahan rupiah mengingat sebagian besar bahan baku pakan ternak diimpor dari luar negeri.
Rudy Hartono, Sekretaris Perusahaan MAIN mengaku sudah melakukan upaya hedging. "Kami juga transfer cost ke customer," ungkapnya.
Disamping itu, MAIN berusaha melakukan efisiensi. Harga komoditas yang melemah pun menjadi dorongan positif di tengah pelemahan rupiah.
MAIN siap menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah hingga nilai berapapun. Namun, perseroan berharap nilai rupiah stabil. "Ini menjadi harapan pelaku industri terutama bagi yang lebih besar impor dibanding ekspor," lanjut Rudy.
Editor: Uji Agung Santosa
Komentar
Posting Komentar