Metrotvnews.com, Jakarta: Indeks harga saham gabungan (IHSG) perdagangan Senin pagi menguat tipis, mengikuti kejayaan pada akhir pekan lalu yang berada di jalur hijau.
IHSG Senin (11/5/2015) dibuka naik 26,32 poin atau setara 0,5 persen ke posisi 5.208. Indeks saham unggulan LQ45 juga naik 5,93 poin ke 904. Sementara JII naik 5,36 poin ke 702.
Adapun pagi ini seluruh sektor, aman berada di zona hijau. Di mana sektor konsumer masih menjadi sektor yang menguat paling tinggi yakni sebesar 13,94 poin. Diikuti sektor infrastruktur 6,67 poin, serta sektor properti 3,76 poin.
Transaksi volume perdagangan pagi ini dibuka sebanyak 246,6 juta lembar saham senilai Rp206,7miliar. Sebanyak 112 saham menguat, 22 saham melemah, 57 saham stagnan, dan 361 saham tidak ada perdagangan.
Saham-saham yang menguat di antaranya PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) naik Rp750 ke Rp72.750, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) menguat Rp400 ke Rp46.600, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) naik Rp300 menjadi Rp14.375.
Sementara saham-saham yang melemah di antaranya PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) melemah Rp1.000 ke Rp10.000, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) turun Rp225 menjadi Rp24.000,dan PT Bank Mega Tbk (MEGA) turun Rp95 ke Rp1.970.
AHL
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/05/11/124535/pagi-ini-ihsg-menguat-26-poin
Sumber : METROTVNEWS.COM
bisnis indonesia Kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun ini menjadi sorotan sejumlah kalangan di dalam negeri. Para pengamat, dan sebagian ekonom, melihat kinerja ekonomi tidak menggembirakan, ditandai dengan pelambatan pertumbuhan. Ini dianggap perkembangan yang mencemaskan.
Dan Presiden Joko Widodo pun mengakui, kinerja ekonomi pada kuartal I kurang memuaskan. Pertumbuhan ekonomi melambat di bawah ekspektasi, hanya 4,71%.
Penyebabnya, antara lain keterlambatan realisasi anggaran. Selama periode 6 bulan pemerintah baru sejak dilantik Oktober tahun lalu, banyak masalah yang hendak diselesaikan di awal, terutama hal-hal yang terkait dengan manajemen mikro.
Namun di level makro, realisasi belanja agak terhambat karena APBN Perubahan baru disahkan pertengahan Februari—meskipun sesungguhnya hal ini justru kejutan karena semula ada kecemasan koalisi oposisi akan menghambat persetujuan APBN, tetapi ternyata tidak—dan proses tender butuh waktu dua hingga tiga bulan.
Karena hal-hal yang bersifat administrasi ketatanegaraan itulah, berbagai proyek yang dibiayai APBN baru bisa dimulai awal Mei. Padahal pemerintahan Presiden Jokowi sebelumnya mengharapkan segala sesuatu terkait dengan APBN bisa lebih dipercepat, setidaknya proses tender sudah bisa dimulai November tahun anggaran sebelumnya. Namun, rupanya pola kerja semacam itu baru bisa dimulai untuk APBN 2016 mendatang.
Itu baru di sisi administrasi APBN dan realisasi anggaran. Belum lagi di sisi wacana dan persepsi, yang berkembang lebih ke arah destabilisasi politik di awal tahun ini.
Berbagai isu permukaan mulai dari pro-kontra yang nyaris setiap hari menghiasi debat media, seperti perseteruan polisi versus Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hal-hal yang bersifat kontraproduktif yang lain termasuk isu soal reshuffle kabinet.
Juga ihwal hukuman mati, dan isu-isu politik praktis lain seperti perpecahan di tubuh partai politik terutama partai Golkar yang menyedot perhatian masyarakat termasuk dunia usaha.
Isu politik yang semula berpusar pada koalisi oposisi yang dianggap akan menghambat jalannya pemerintahan, kemudian justru bergeser kepada isu-isu pinggiran. Padahal, sejumlah isu tersebut tidak terkait langsung dengan hambatan realisasi kebijakan pemerintah, tetapi justru menghantui persepsi negatif: stabilitas politik terganggu.
Hal itu menambah persepsi negatif terhadap kondisi yang lebih riil berupa kenaikan harga-harga konsumen yang dipicu perubahan kebijakan subsidi yang memang ditujukan untuk memperbaiki struktur ekonomi dalam jangka menengah-panjang.
Akibatnya, kemudian banyak pelaku bisnis lantas wait and see, bersikap menunggu. Apalagi kemudian juga terdapat faktor eksternal, menguatnya dolar Amerika Serikat, yang memicu pelemahan nilai tukar rupiah. Isu pelemahan rupiah sesungguhnya adalah cerita tentang penguatan dolar AS yang terjadi di seluruh dunia. Ini yang tidak terkomunikasikan secara gamblang ke publik.
Maka, persepsi menjadi begitu negatif. Dan begitu secara resmi data ekonomi kuartal I keluar, bahwa perekonomian melambat, persepsi negatif menjadi terlegitimiasi: kinerja pemerintah buruk.
Tetapi, harian ini justru melihat dalam arah yang berbeda. Catatan kinerja ekonomi di awal tahun itu, bukanlah kiamat. Indonesia juga bukan satu-satunya yang mengalami tekanan ekonomi maupun nilai tukar mata uang. China dan India juga mengalami hal yang sama, apalagi bahkan negara-negara Asia Tenggara.
Ekonomi dunia memang sedang memasuki apa yang disebut kondisi “new normal”. Mirip dengan pengertian ekuilibrium baru, kondisi ekonomi dunia juga memasuki fase kecepatan pertumbuhan yang melambat. Dan itu terjadi di seluruh dunia. Maka, apa yang terjadi di Indonesia bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan secara berlebihan.
Namun, bukan berarti pemerintah tidak perlu melakukan perbaikan. Sangat perlu dan harus. Perbaikan manajemen pemerintahan, terutama dalam mengelola komunikasi atas kebijakan strategis, perlu menjadi catatan. Ini penting untuk menumbuhkan optimisme.
Persepsi bahwa isu politik mendominasi aktivitas pemerintah, perlu dibalik. Presiden Jokowi perlu mengubah strategi bahwa ekonomi menjadi panglima, dengan lebih agresif dan simultan memaparkan arah kebijakan ekonomi dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Dan itu bisa dimulai, dengan mendisain komunikasi kebijakan yang lebih firm, yang dimulai dari Istana.
IHSG Senin (11/5/2015) dibuka naik 26,32 poin atau setara 0,5 persen ke posisi 5.208. Indeks saham unggulan LQ45 juga naik 5,93 poin ke 904. Sementara JII naik 5,36 poin ke 702.
Adapun pagi ini seluruh sektor, aman berada di zona hijau. Di mana sektor konsumer masih menjadi sektor yang menguat paling tinggi yakni sebesar 13,94 poin. Diikuti sektor infrastruktur 6,67 poin, serta sektor properti 3,76 poin.
Transaksi volume perdagangan pagi ini dibuka sebanyak 246,6 juta lembar saham senilai Rp206,7miliar. Sebanyak 112 saham menguat, 22 saham melemah, 57 saham stagnan, dan 361 saham tidak ada perdagangan.
Saham-saham yang menguat di antaranya PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) naik Rp750 ke Rp72.750, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) menguat Rp400 ke Rp46.600, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) naik Rp300 menjadi Rp14.375.
Sementara saham-saham yang melemah di antaranya PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) melemah Rp1.000 ke Rp10.000, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) turun Rp225 menjadi Rp24.000,dan PT Bank Mega Tbk (MEGA) turun Rp95 ke Rp1.970.
AHL
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/05/11/124535/pagi-ini-ihsg-menguat-26-poin
Sumber : METROTVNEWS.COM
bisnis indonesia Kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun ini menjadi sorotan sejumlah kalangan di dalam negeri. Para pengamat, dan sebagian ekonom, melihat kinerja ekonomi tidak menggembirakan, ditandai dengan pelambatan pertumbuhan. Ini dianggap perkembangan yang mencemaskan.
Dan Presiden Joko Widodo pun mengakui, kinerja ekonomi pada kuartal I kurang memuaskan. Pertumbuhan ekonomi melambat di bawah ekspektasi, hanya 4,71%.
Penyebabnya, antara lain keterlambatan realisasi anggaran. Selama periode 6 bulan pemerintah baru sejak dilantik Oktober tahun lalu, banyak masalah yang hendak diselesaikan di awal, terutama hal-hal yang terkait dengan manajemen mikro.
Namun di level makro, realisasi belanja agak terhambat karena APBN Perubahan baru disahkan pertengahan Februari—meskipun sesungguhnya hal ini justru kejutan karena semula ada kecemasan koalisi oposisi akan menghambat persetujuan APBN, tetapi ternyata tidak—dan proses tender butuh waktu dua hingga tiga bulan.
Karena hal-hal yang bersifat administrasi ketatanegaraan itulah, berbagai proyek yang dibiayai APBN baru bisa dimulai awal Mei. Padahal pemerintahan Presiden Jokowi sebelumnya mengharapkan segala sesuatu terkait dengan APBN bisa lebih dipercepat, setidaknya proses tender sudah bisa dimulai November tahun anggaran sebelumnya. Namun, rupanya pola kerja semacam itu baru bisa dimulai untuk APBN 2016 mendatang.
Itu baru di sisi administrasi APBN dan realisasi anggaran. Belum lagi di sisi wacana dan persepsi, yang berkembang lebih ke arah destabilisasi politik di awal tahun ini.
Berbagai isu permukaan mulai dari pro-kontra yang nyaris setiap hari menghiasi debat media, seperti perseteruan polisi versus Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hal-hal yang bersifat kontraproduktif yang lain termasuk isu soal reshuffle kabinet.
Juga ihwal hukuman mati, dan isu-isu politik praktis lain seperti perpecahan di tubuh partai politik terutama partai Golkar yang menyedot perhatian masyarakat termasuk dunia usaha.
Isu politik yang semula berpusar pada koalisi oposisi yang dianggap akan menghambat jalannya pemerintahan, kemudian justru bergeser kepada isu-isu pinggiran. Padahal, sejumlah isu tersebut tidak terkait langsung dengan hambatan realisasi kebijakan pemerintah, tetapi justru menghantui persepsi negatif: stabilitas politik terganggu.
Hal itu menambah persepsi negatif terhadap kondisi yang lebih riil berupa kenaikan harga-harga konsumen yang dipicu perubahan kebijakan subsidi yang memang ditujukan untuk memperbaiki struktur ekonomi dalam jangka menengah-panjang.
Akibatnya, kemudian banyak pelaku bisnis lantas wait and see, bersikap menunggu. Apalagi kemudian juga terdapat faktor eksternal, menguatnya dolar Amerika Serikat, yang memicu pelemahan nilai tukar rupiah. Isu pelemahan rupiah sesungguhnya adalah cerita tentang penguatan dolar AS yang terjadi di seluruh dunia. Ini yang tidak terkomunikasikan secara gamblang ke publik.
Maka, persepsi menjadi begitu negatif. Dan begitu secara resmi data ekonomi kuartal I keluar, bahwa perekonomian melambat, persepsi negatif menjadi terlegitimiasi: kinerja pemerintah buruk.
Tetapi, harian ini justru melihat dalam arah yang berbeda. Catatan kinerja ekonomi di awal tahun itu, bukanlah kiamat. Indonesia juga bukan satu-satunya yang mengalami tekanan ekonomi maupun nilai tukar mata uang. China dan India juga mengalami hal yang sama, apalagi bahkan negara-negara Asia Tenggara.
Ekonomi dunia memang sedang memasuki apa yang disebut kondisi “new normal”. Mirip dengan pengertian ekuilibrium baru, kondisi ekonomi dunia juga memasuki fase kecepatan pertumbuhan yang melambat. Dan itu terjadi di seluruh dunia. Maka, apa yang terjadi di Indonesia bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan secara berlebihan.
Namun, bukan berarti pemerintah tidak perlu melakukan perbaikan. Sangat perlu dan harus. Perbaikan manajemen pemerintahan, terutama dalam mengelola komunikasi atas kebijakan strategis, perlu menjadi catatan. Ini penting untuk menumbuhkan optimisme.
Persepsi bahwa isu politik mendominasi aktivitas pemerintah, perlu dibalik. Presiden Jokowi perlu mengubah strategi bahwa ekonomi menjadi panglima, dengan lebih agresif dan simultan memaparkan arah kebijakan ekonomi dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Dan itu bisa dimulai, dengan mendisain komunikasi kebijakan yang lebih firm, yang dimulai dari Istana.
Komentar
Posting Komentar