JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
ditutup di zona positif pada akhir sesi perdagangan hari ini (9/10).
Data RTI menunjukkan, pada pukul 16.00 WIB, indeks tercatat naik 0,71%
menjadi 4.993,88.
Jika dilihat, secara sektoral, ada sembilan sektor yang mendaki. Tiga sektor dengan kenaikan terbesar yakni: sektor konstruksi naik 1,75%, sektor keuangan naik 1,12%, dan sektor industri dasar naik 1%.
Sejumlah saham yang masuk ke posisi top gainers hari ini antara lain: PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) naik 18,32% menjadi Rp 323, PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) naik 13,08% menjadi Rp 389, dan PT Lautan Luas Tbk (LTLS) naik 12,12% menjadi Rp 1.480.
Sedangkan sejumlah saham yang masuk ke posisi top losers yakni: PT Tembaga Mulia Semanan Tbk (TBMS) turun 13,97% menjadi Rp 10.775, PT Fortune Indonesia Tbk (FORU) turun 11,49% menjadi Rp 770, dan PT Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO) turun 11,39% menjadi Rp 700.
Jika dilihat, secara sektoral, ada sembilan sektor yang mendaki. Tiga sektor dengan kenaikan terbesar yakni: sektor konstruksi naik 1,75%, sektor keuangan naik 1,12%, dan sektor industri dasar naik 1%.
Sejumlah saham yang masuk ke posisi top gainers hari ini antara lain: PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) naik 18,32% menjadi Rp 323, PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) naik 13,08% menjadi Rp 389, dan PT Lautan Luas Tbk (LTLS) naik 12,12% menjadi Rp 1.480.
Sedangkan sejumlah saham yang masuk ke posisi top losers yakni: PT Tembaga Mulia Semanan Tbk (TBMS) turun 13,97% menjadi Rp 10.775, PT Fortune Indonesia Tbk (FORU) turun 11,49% menjadi Rp 770, dan PT Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO) turun 11,39% menjadi Rp 700.
Editor: Barratut Taqiyyah
JAKARTA. Risiko investasi Indonesia masih
cukup tinggi. Selain sentimen politik, faktor eskternal jadi pemicu
utama kenaikan risiko tersebut.
Mengutip Bloomberg, tingkat credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor 5 tahun per 8 Oktober 2014 sebesar 172,68 mendekati posisi tertinggi sejak Mei 2014 yang sebesar 174,47 yang terjadi pada 29 September 2014. Sepanjang Oktober ini CDS 5 tahun telah naik 3,08%.
Perlu diketahui, makin tinggi CDS berarti makin tinggi pula risiko investasi kawasan tersebut. “CDS merupakan indikator hedging investor untuk membeli obligasi di suatu kawasan,” ujar Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Sekuritas.
Ia menambahkan, tren CDS Indonesia yang cenderung naik juga terjadi di kawasan emerging market lainnya sepeti India dan Turki. Lana menunjukkan sejak pertengahan awal September hingga sekarang, pergerakan CDS Indonesia, India dan Turki punya pola yang sama.
“Kalau diperhatikan sejak awal September, CDS tenor 5 tahun Indonesia, India dan Turki level tertinggi dan terendahnya dicapai pada hari yang sama atau selang 1 hari,” tambah Lana.
Sehingga ia menyimpulkan, tren CDS tiga negara emerging market ini dipengaruhi oleh rencana pemotongan stimulus oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada bulan ini dan berpotensi pada keringnya likuiditas. Ditambah, investor asing juga masih was-was terhadap kepastian kapan The Fed akan menaikkan suku bunganya.
Di pasar obligasi, juga terlihat investor asing menarik dananya di Surat Utang Negara (SUN). Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) mencatat sejak akhir September hingga 6 Oktober ini investor asing telah menarik dananya di SUN hingga Rp 3,61 triliun. Porsi kepemilikan investor asing pun menyusut menjadi 36,76%. Padahal pada akhir September jumlahnya mencapai 37,3%.
Koreksi obligasi juga terjadi di pasar sekunder. Mengutip data Inter Dealer Market Association, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sejak 30 September hingga 8 Oktober 2014 konsisten menyentuh level 8,4%. Ini merupakan yang tertinggi sejak Februari 2014.
Lanjut Lana, tren koreksi kepemilikan asing dan kenaikan yield obligasi ini dipengaruhi oleh sentimen politik domestik, meski terbilang minor. “Di pasar obligasi investor cenderung berhorison investasi jangka panjang. Sehingga memang ada pengaruh politik, tapi tidak begitu signifikan,” ujar Lana.
Mengutip Bloomberg, tingkat credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor 5 tahun per 8 Oktober 2014 sebesar 172,68 mendekati posisi tertinggi sejak Mei 2014 yang sebesar 174,47 yang terjadi pada 29 September 2014. Sepanjang Oktober ini CDS 5 tahun telah naik 3,08%.
Perlu diketahui, makin tinggi CDS berarti makin tinggi pula risiko investasi kawasan tersebut. “CDS merupakan indikator hedging investor untuk membeli obligasi di suatu kawasan,” ujar Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Sekuritas.
Ia menambahkan, tren CDS Indonesia yang cenderung naik juga terjadi di kawasan emerging market lainnya sepeti India dan Turki. Lana menunjukkan sejak pertengahan awal September hingga sekarang, pergerakan CDS Indonesia, India dan Turki punya pola yang sama.
“Kalau diperhatikan sejak awal September, CDS tenor 5 tahun Indonesia, India dan Turki level tertinggi dan terendahnya dicapai pada hari yang sama atau selang 1 hari,” tambah Lana.
Sehingga ia menyimpulkan, tren CDS tiga negara emerging market ini dipengaruhi oleh rencana pemotongan stimulus oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada bulan ini dan berpotensi pada keringnya likuiditas. Ditambah, investor asing juga masih was-was terhadap kepastian kapan The Fed akan menaikkan suku bunganya.
Di pasar obligasi, juga terlihat investor asing menarik dananya di Surat Utang Negara (SUN). Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) mencatat sejak akhir September hingga 6 Oktober ini investor asing telah menarik dananya di SUN hingga Rp 3,61 triliun. Porsi kepemilikan investor asing pun menyusut menjadi 36,76%. Padahal pada akhir September jumlahnya mencapai 37,3%.
Koreksi obligasi juga terjadi di pasar sekunder. Mengutip data Inter Dealer Market Association, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sejak 30 September hingga 8 Oktober 2014 konsisten menyentuh level 8,4%. Ini merupakan yang tertinggi sejak Februari 2014.
Lanjut Lana, tren koreksi kepemilikan asing dan kenaikan yield obligasi ini dipengaruhi oleh sentimen politik domestik, meski terbilang minor. “Di pasar obligasi investor cenderung berhorison investasi jangka panjang. Sehingga memang ada pengaruh politik, tapi tidak begitu signifikan,” ujar Lana.
Editor: Barratut Taqiyyah
Komentar
Posting Komentar