JAKARTA kontan. Spekulasi akan kenaikan suku bunga
The Fed membuat pasar saham kocar-kacir (lihat halaman 6 dan 24).
Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) minus 2,42% sejak awal
tahun sampai dengan 5 Juni 2015 menjadi 5.100,57.
Aksi jual yang dilakukan investor asing dan menarik dananya dari Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin menekan pasar saham lokal. Maklum, pemodal asing mulai mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga The Fed.
Memang, jika menghitung sejak awal tahun ini, dana asing masih mencatatkan beli bersih alias net buy senilai Rp 6,5 triliun. Namun, porsi itu terus tergerus. Akhir pekan lalu, asing mencatat jual bersih alias net sell Rp 394,4 miliar, sementara sejak awal Mei 2015, periode awal aksi jual investor asing, total nilai net sell mencapai Rp 4,78 triliun.
Hitungan Hans Kwee Analis Investa Saran Mandiri, net sell asing bahkan mencapai Rp 11 triliun dalam enam pekan terakhir. "Dana asing akan keluar dalam beberapa bulan ke depan," proyeksi dia.
Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo pun menilai, aksi jual yang dilakukan asing masih dalam taraf wajar dengan rerata harian Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar per hari. "Angka tersebut masih bisa diatasi pemodal lokal," ujar dia.
Sampai kapan aksi jual ini terus terjadi? Hans memperkirakan, ketika ada kepastian kenaikan suku bunga The Fed, asing akan kembali masuk ke Indonesia. Sebab, risiko ketidakpastian sudah berkurang.
Apalagi kenaikan suku bunga The Fed di tahun ini terbilang kecil yaitu 0,5% menjadi 0,75%. Fed berpeluang menaikkan suku bunga lebih tinggi pada tahun 2016. Karena itu, kenaikan suku bunga tahun ini belum terlalu mengguncang perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Selagi masih ada waktu, Satrio berharap Bank Indonesia membuat antisipasi yang jitu. Dia menyayangkan sikap BI yang tetap mempertahankan suku bunga acuan di level tinggi dan belum tampak berniat menurunkan BI Rate. Sikap itu membuat biaya operasi moneter lebih tinggi dan pemerintah sulit memacu pertumbuhan ekonomi di atas 5%.
Padahal untuk mengimbangi keputusan The Fed, ekonomi dalam negeri harus bisa tumbuh di atas 5%. Di sisi lain, pemerintah juga harus merealisasikan proyek infrastruktur. "Sedangkan saat ini, pasar tanpa harapan," ujar Satrio.
Dengan berbagai tersebut, plus faktor-faktor yang ada, indeks saham dalam negeri rasanya sulit bangkit tahun ini. Butuh keajaiban membalikkan fakta ini.
Aksi jual yang dilakukan investor asing dan menarik dananya dari Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin menekan pasar saham lokal. Maklum, pemodal asing mulai mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga The Fed.
Memang, jika menghitung sejak awal tahun ini, dana asing masih mencatatkan beli bersih alias net buy senilai Rp 6,5 triliun. Namun, porsi itu terus tergerus. Akhir pekan lalu, asing mencatat jual bersih alias net sell Rp 394,4 miliar, sementara sejak awal Mei 2015, periode awal aksi jual investor asing, total nilai net sell mencapai Rp 4,78 triliun.
Hitungan Hans Kwee Analis Investa Saran Mandiri, net sell asing bahkan mencapai Rp 11 triliun dalam enam pekan terakhir. "Dana asing akan keluar dalam beberapa bulan ke depan," proyeksi dia.
Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo pun menilai, aksi jual yang dilakukan asing masih dalam taraf wajar dengan rerata harian Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar per hari. "Angka tersebut masih bisa diatasi pemodal lokal," ujar dia.
Sampai kapan aksi jual ini terus terjadi? Hans memperkirakan, ketika ada kepastian kenaikan suku bunga The Fed, asing akan kembali masuk ke Indonesia. Sebab, risiko ketidakpastian sudah berkurang.
Apalagi kenaikan suku bunga The Fed di tahun ini terbilang kecil yaitu 0,5% menjadi 0,75%. Fed berpeluang menaikkan suku bunga lebih tinggi pada tahun 2016. Karena itu, kenaikan suku bunga tahun ini belum terlalu mengguncang perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Selagi masih ada waktu, Satrio berharap Bank Indonesia membuat antisipasi yang jitu. Dia menyayangkan sikap BI yang tetap mempertahankan suku bunga acuan di level tinggi dan belum tampak berniat menurunkan BI Rate. Sikap itu membuat biaya operasi moneter lebih tinggi dan pemerintah sulit memacu pertumbuhan ekonomi di atas 5%.
Padahal untuk mengimbangi keputusan The Fed, ekonomi dalam negeri harus bisa tumbuh di atas 5%. Di sisi lain, pemerintah juga harus merealisasikan proyek infrastruktur. "Sedangkan saat ini, pasar tanpa harapan," ujar Satrio.
Dengan berbagai tersebut, plus faktor-faktor yang ada, indeks saham dalam negeri rasanya sulit bangkit tahun ini. Butuh keajaiban membalikkan fakta ini.
Editor: Yudho Winarto
Kamis, 04 Juni 2015 | 07:56
Asing Akan Kembali Beli Saham, Ekonomi Indonesia Masih Kuat (4-Habis)
Lebih Siap
Terkait saran ekonom Singapura agar otoritas Indonesia menjalankan stress test perbankan untuk nilai tukar rupiah hingga Rp 25.000 per dolar AS, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, BI telah menyiapkan skenario jika sewaktu-waktu The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara cepat maupun bila kenaikannya perlahan.
“Kita mempunyai banyak regulasi yang menerapkan asas kehati-hatian. BI akan tetap menjaga stabilitas ekonomi,” kata dia.
Pada krisis moneter Asia 1997-1998, nilai tukar rupiah melemah hingga lebih dari 500 persen. Pada saat itu, para investor global menarik dananya dari Asia di tengah krisis kepercayaan dan krisis likuiditas perbankan, menyusul tumpukan utang korporasi dalam dolar AS yang macet. Selain itu, kebanyakan utang tersebut diberikan oleh bank yang masih satu kelompok usaha dengan debitor korporasinya.
Namun, pada krisis finansial global 2008, rupiah hanya melemah 37 persen. Pada saat The Fed mengumumkan pengurangan quantitative easing atau QE pertengahan 2013 dan menghentikannya pada akhir 2014, rupiah turun 24 persen.
Saat ini, perekonomian Indonesia jauh lebih siap menghadapi krisis, bahkan lebih baik dibandingkan tahun 2008. Hal itu antara lain ditandai kuatnya modal perbankan dan cadangan devisa terjaga di atas US$ 100 miliar dalam dua tahun terakhir.
Para pejabat The Fed sudah beberapa kali mengatakan akan mulai menaikkan suku bunga acuan AS tahun ini. FFR ini sudah tidak naik sejak Juni 2006 dan sudah bertahan di kisaran nol hingga 0,25 persen sejak Desember 2008.
Sementara itu, analis PT Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia masih bagus. “Ekonom Singapura itu tidak bisa menganalisis karena satu hal saja, dia juga harus melihat kita terus bertumbuh. Contoh lain, cadangan devisa Indonesia untuk 7 bulan ke depan juga masih bagus. Menurut saya, pandangan ekonom Singapura itu terlalu merendahkan Indonesia," ucap dia.
Menurut dia, stress test hingga Rp 15.000 per dolar AS saja sudah cukup baik. Jika rupiah ke level tersebut, pasti membuat Indonesia pontang-panting dan pemerintah akan melakukan berbagai cara untuk membuat tidak sampai ke level tersebut.
"Memang, pasar modal bisa terpengaruh oleh sentimen. Namun, ini juga terpengaruh oleh bagaimana kita bisa menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia. Pasar modal kita masih dikuasai asing bukan hal yang buruk. Tentunya, ini membuat kita bersyukur masih ada asing yang mau masuk,” paparnya.
Ia mengatakan, memang ada beberapa sentimen negatif dari luar, namun masih banyak yang menilai Indonesia positif. Salah satu contohnya, lembaga rating global Standard & Poor's (S&P) menaikkan outlook rating utang Indonesia dari stable ke positif, sekaligus mengafirmasi rating pada BB+.
Emiten-emiten di Indonesia juga bukan perusahaan yang bodoh. Jika market menurun di Indonesia, mereka pasti akan mencari pangsa pasar ekspor, seperti yang dilakukan Astra International. Jadi, emiten tidak melulu mengandalkan satu sisi.
Ia menambahkan, jika ada yang bicara nilai tukar rupiah menjadi Rp 25.000 per dolar AS, bisa jadi negara lain termasuk Singapura akan menjadi kacau keuangannya. "Indonesia masyarakatnya konsumtif dan kita cukup berpengaruh di Asia. Waspada itu perlu, namun untuk mengeluarkan satu statement harus ada compare dengan negara lain. Jika Indonesia terpuruk, tentunya Singapura juga akan kena dampaknya. Di Singapura juga banyak orang Indonesia yang belanja, menyumbang pendapatan di sana. Jika kurs mencapai Rp 25.000 per dolar AS, apakah orang Indonesia akan tetap belanja di Singapura? Tentu tidak," tandasnya.
Terkait saran ekonom Singapura agar otoritas Indonesia menjalankan stress test perbankan untuk nilai tukar rupiah hingga Rp 25.000 per dolar AS, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, BI telah menyiapkan skenario jika sewaktu-waktu The Fed menaikkan suku bunga acuannya secara cepat maupun bila kenaikannya perlahan.
“Kita mempunyai banyak regulasi yang menerapkan asas kehati-hatian. BI akan tetap menjaga stabilitas ekonomi,” kata dia.
Pada krisis moneter Asia 1997-1998, nilai tukar rupiah melemah hingga lebih dari 500 persen. Pada saat itu, para investor global menarik dananya dari Asia di tengah krisis kepercayaan dan krisis likuiditas perbankan, menyusul tumpukan utang korporasi dalam dolar AS yang macet. Selain itu, kebanyakan utang tersebut diberikan oleh bank yang masih satu kelompok usaha dengan debitor korporasinya.
Namun, pada krisis finansial global 2008, rupiah hanya melemah 37 persen. Pada saat The Fed mengumumkan pengurangan quantitative easing atau QE pertengahan 2013 dan menghentikannya pada akhir 2014, rupiah turun 24 persen.
Saat ini, perekonomian Indonesia jauh lebih siap menghadapi krisis, bahkan lebih baik dibandingkan tahun 2008. Hal itu antara lain ditandai kuatnya modal perbankan dan cadangan devisa terjaga di atas US$ 100 miliar dalam dua tahun terakhir.
Para pejabat The Fed sudah beberapa kali mengatakan akan mulai menaikkan suku bunga acuan AS tahun ini. FFR ini sudah tidak naik sejak Juni 2006 dan sudah bertahan di kisaran nol hingga 0,25 persen sejak Desember 2008.
Sementara itu, analis PT Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia masih bagus. “Ekonom Singapura itu tidak bisa menganalisis karena satu hal saja, dia juga harus melihat kita terus bertumbuh. Contoh lain, cadangan devisa Indonesia untuk 7 bulan ke depan juga masih bagus. Menurut saya, pandangan ekonom Singapura itu terlalu merendahkan Indonesia," ucap dia.
Menurut dia, stress test hingga Rp 15.000 per dolar AS saja sudah cukup baik. Jika rupiah ke level tersebut, pasti membuat Indonesia pontang-panting dan pemerintah akan melakukan berbagai cara untuk membuat tidak sampai ke level tersebut.
"Memang, pasar modal bisa terpengaruh oleh sentimen. Namun, ini juga terpengaruh oleh bagaimana kita bisa menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia. Pasar modal kita masih dikuasai asing bukan hal yang buruk. Tentunya, ini membuat kita bersyukur masih ada asing yang mau masuk,” paparnya.
Ia mengatakan, memang ada beberapa sentimen negatif dari luar, namun masih banyak yang menilai Indonesia positif. Salah satu contohnya, lembaga rating global Standard & Poor's (S&P) menaikkan outlook rating utang Indonesia dari stable ke positif, sekaligus mengafirmasi rating pada BB+.
Emiten-emiten di Indonesia juga bukan perusahaan yang bodoh. Jika market menurun di Indonesia, mereka pasti akan mencari pangsa pasar ekspor, seperti yang dilakukan Astra International. Jadi, emiten tidak melulu mengandalkan satu sisi.
Ia menambahkan, jika ada yang bicara nilai tukar rupiah menjadi Rp 25.000 per dolar AS, bisa jadi negara lain termasuk Singapura akan menjadi kacau keuangannya. "Indonesia masyarakatnya konsumtif dan kita cukup berpengaruh di Asia. Waspada itu perlu, namun untuk mengeluarkan satu statement harus ada compare dengan negara lain. Jika Indonesia terpuruk, tentunya Singapura juga akan kena dampaknya. Di Singapura juga banyak orang Indonesia yang belanja, menyumbang pendapatan di sana. Jika kurs mencapai Rp 25.000 per dolar AS, apakah orang Indonesia akan tetap belanja di Singapura? Tentu tidak," tandasnya.
Gita Rossiana/Nuriy Azizah/Devie Kania/Agustiyanti/Muhamad Edy Sofyan/FMB
Investor Daily
Bisnis.com, JAKARTA- Investa Saran Mandiri memprediksi indeks harga saham gabungan (IHSG) sepekan ke depan berpeluang menguat, setelah tertekan dalam minggu ini.
“IHSG sepekan ke depan berpeluang konsolidasi menguat, setelah penurunan sepekan,” kata Managing Partner dari PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe dalam risetnya yang diterima hari ini, Sabtu (6/6/2015).
Secara analisa teknikal, ujarnya, MACD telah dead cross di 3 Juni dan garis MACD masih bergerak ke bawah garis 0.
Indicator Stochastic oscillator (SO) memasuki area oversold. Money flow mengindikasikan aliran dana cenderung keluar. Harga bergerak menembus garis bawah Bollinger band.
Support IHSG di level 5.015 sampai 5.075, dan resisten 5.220 sampai 5.250.
“Lakukan BOW ketika terjadi pelemahan. Trading dengan disiplin,” kata Kiswoyo.
Bisnis.com, JAKARTA- HD Capital memperkirakan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada pekan depan berpotensi untuk naik ke atas 5.200.
“Kami melihat untuk minggu kedua Juni, IHSG berpotensi untuk naik kembali ke price gap atas di 5.200,” kata Periset Senior HD Capital Yuganur Wijanarko dalam riset mingguannya.
Secara teknikal, ujarnya, koreksi akibat aksi jual pelaku pasar hanya merupakan proses untuk mengisi price gap bawah 5.085.
HD Capital mengemukakan saham yang dapat diperhatikan pada perdagangan pekan depan adalah:
Astra International (ASII)
2015 PE 17,8x, PBV 2,25x, ROE 12,65%. BUY. Trading target Rp7.300
Entry buy (1) Rp6.975. Entry buy (2) Rp6.925. Cut loss point Rp6.875
Indofood (INDF)
BUY. 2015 PE 17,49x, PBV 1,48x, ROE 8,41%. Trading target Rp7.175
Entry (1) Rp6.875. Entry (2) Rp6.775. Cut-loss point Rp6.675
Unilever (UNVR)
BUY. 2015 PE 50,2x, PBV 50,9x, ROE 8,4%. Trading target Rp44.250
Entry (1) Rp42.250. Entry (2) Rp41.975. Cut loss point Rp41.575
Ace Hardware (ACES)
2015 PE 23,10x, PBV 4,6x, ROE 20,27%. BUY. Trading target Rp695
Entry (1) Rp665. Entry (2) Rp655. Cut loss point Rp645
“Kami melihat untuk minggu kedua Juni, IHSG berpotensi untuk naik kembali ke price gap atas di 5.200,” kata Periset Senior HD Capital Yuganur Wijanarko dalam riset mingguannya.
Secara teknikal, ujarnya, koreksi akibat aksi jual pelaku pasar hanya merupakan proses untuk mengisi price gap bawah 5.085.
HD Capital mengemukakan saham yang dapat diperhatikan pada perdagangan pekan depan adalah:
Astra International (ASII)
2015 PE 17,8x, PBV 2,25x, ROE 12,65%. BUY. Trading target Rp7.300
Entry buy (1) Rp6.975. Entry buy (2) Rp6.925. Cut loss point Rp6.875
Indofood (INDF)
BUY. 2015 PE 17,49x, PBV 1,48x, ROE 8,41%. Trading target Rp7.175
Entry (1) Rp6.875. Entry (2) Rp6.775. Cut-loss point Rp6.675
Unilever (UNVR)
BUY. 2015 PE 50,2x, PBV 50,9x, ROE 8,4%. Trading target Rp44.250
Entry (1) Rp42.250. Entry (2) Rp41.975. Cut loss point Rp41.575
Ace Hardware (ACES)
2015 PE 23,10x, PBV 4,6x, ROE 20,27%. BUY. Trading target Rp695
Entry (1) Rp665. Entry (2) Rp655. Cut loss point Rp645
WASHINGTON nyt — The International Monetary Fund said Thursday that the Federal Reserve should wait until next year before raising its benchmark interest rate, citing the stubborn persistence of sluggish inflation.
In an annual review
of the United States economy, the I.M.F. said growth had been slower
than it expected, and it cut its 2015 forecast to 2.5 percent, from 3.1
percent. While growth is likely to strengthen in the coming months, the
I.M.F. said the Fed risked moving too quickly if it started raising rates this year.
“We are saying that the economy would be better off with a rate hike in early 2016,” Christine Lagarde, the fund’s managing director, said at a news conference Thursday.
The
I.M.F.’s cautionary message comes as Fed leaders continue to indicate
that they would like to start raising rates this year. The Fed’s
chairwoman, Janet L. Yellen, said last month that she anticipated raising rates as long as growth remained on track.
The
Fed plans to release its own updated economic and policy forecasts
after the next meeting of the Federal Open Market Committee on June 17.
The
Fed has held rates near zero since December 2008, and officials have
said that they are eager to begin the long, slow journey back toward
normalcy. But growth continues to disappoint their expectations. The
economy shrank at an annual rate of 0.7 percent in the first quarter,
according to the latest government estimate. Job growth has weakened.
And the Fed’s preferred measure of inflation rose just 1.2 percent
during the 12 months through April, the government said this week.
The
I.M.F. said that the strength of the dollar, caused partly because of
weakness in the rest of the developed world, was dragging on domestic
growth and that things could get worse.
“There
is a risk that a further marked appreciation of the dollar —
particularly one that takes place in an environment where policies to
address growth deficiencies languish both in the U.S. and abroad — would
be harmful,” it said.
Given
that the American economy has room to grow, the I.M.F. said that the
risks of raising rates too quickly outstripped the risks of waiting too
long.
Ms. Lagarde said it also made sense for the Fed to raise rates slowly.
Fed officials, too, have expressed concern about the global economy. Lael Brainard, a Fed governor, said in a speech this week that “foreign headwinds” were causing problems that could lead the Fed to delay interest rate increases.
She
said the Fed should adopt a stance of “watchful waiting” and offered
the cautious assessment that “liftoff could come before the end of the
year.”
Only a few Fed officials, however, have suggested that the Fed should wait until next year.
One
of those officials, Charles Evans, president of the Federal Reserve
Bank of Chicago, reiterated Wednesday in Chicago that the Fed should
wait to raise rates until inflation strengthens.
“The hurdle is pretty high for raising rates at the moment,” Mr. Evans told reporters.
That
remains a minority view among Fed officials. Surveys of Wall Street
analysts show that most expect the Fed to start raising rates in
September. Goldman Sachs said last week that it expected the Fed to
start either in September or December.
mantap dah artikelnya
BalasHapushttp://obatasamurat.toko-gumilar.com/