Langsung ke konten utama

IHSG per tgl 21 September 2015 (bahKan PGAS memberi gw +32% dalam 3 minggu)


PENJELASAN TABEL :
... INVES di bawah imbal hasil (potential gain%) INVES + TRADING (bandingkan kotak berbatas garis tebal antara PG%(1) n PG%(2) baek per tgl 10/09/2015 mau pun 18/09/2015
... bandingkan juga dengan tren ihsg (per tgl 18/09/2015), tren imbal hasil INVES + TRADING saham gw MASEH LEBE TINGGI
... sederhana caranya: fokus laba dalam tren turun!!! (SIMAK tren harga saham PGAS)
gw punya cara tersendiri yang memberi BUKT1 dalam maen saham

JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka di zona merah pada awal transaksi perdagangan awal pekan (21/9). Berdasarkan data RTI, pada pukul 09.15 WIB, indeks tercatat turun 0,42% menjadi 4.361,53.

Sementara itu, ada delapan sektor yang menggerus tenaga indeks. Tiga sektor dengan penurunan terbesar di antaranya: sektor keuangan turun 0,73%, sektor barang konsumen turun 0,74%, dan sektor industri dasar turun 0,64%. Sedangkan dua sektor yang bergerak positif yakni sektor agrikultur dan sektor infrastruktur dengan kenaikan masing-masing 0,31% dan 0,04%.

Saham-saham yang berada di jajaran top gainers pagi ini di antaranya: PT Provident Agro Tbk (PALM) naik 14,41% menjadi Rp 675, PT Lionmesh Prima Tbk (LMSH) naik 11,21% menjadi Rp 645, dan PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk (BTEK) naik 10,37% menjadi Rp 1.490.

Pergerakan IHSG sejalan dengan situasi pasar saham regional. Berdasarkan data Bloomberg, pada pukul 10.01 waktu Sydney, indeks MSCI Asia Pacific -di luar bursa Jepang- tergerus 0,6% menjadi 410,10.

Sementara itu, indeks S&P/ASX 200 Australia turun 0,4% dan indeks Kospi Korea Selatan turun 1,1%. Adapun indeks S&P/NZX 50 Selandia Baru turun 0,1%. Hari ini, bursa Jepang ditutup karena libur nasional.

Pasar saham di kawasan regional menurun karena adanya perdebatan oleh sejumlah anggota The Federal Reserve terkait suku bunga acuan yang akan naik pada tahun ini atau tidak. Sekadar informasi, pada pekan lalu, sejumlah anggota The Fed secara terpisah menjelaskan alasan rasional untuk mendukung kebijakan kenaikan suku bunga pada dua pertemuan akhir the Fed di tahun ini. Mereka mengemukakan alasan angka pengangguran dan data-data positif ekonomi AS lainnya yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tahan banting dari perlambatan ekonomi global.

"The Fed sepertinya mendapat kritikan dari banyak sisi. Dengan kejatuhan pasar pasca pertemuan mereka yang dovish, kami yakin kredibilitas mereka saat ini dipertanyakan. Kami terus meyakini, investor jangka panjang harus memegang dana tunai lebih banyak pada saat ini," jelas Stewart Richardson, chief investment officer RMG Wealth Management LLP di London.

http://investasi.kontan.co.id/news/awal-pekan-ihsg-melangkah-tertatih-tatih




Sumber : KONTAN.CO.ID

JAKARTA kontan. Di tengah kondisi pasar yang belum menggembirakan, manajer investasi memilih memarkirkan dananya ke saham-saham sektor konsumer. Salah satunya PT Danareksa Investment Management alias DIM.
Menurut Direktur DIM Prihatmo Hari Mulyanto, dalam meracik reksadana sahamnya, mereka memilih saham sektor konsumer karena jenis saham tersebut tergolong tahan banting. “Saham sektor konsumer di situasi sekarang lebih defensif,” imbuhnya.
Menilik fund fact sheet produk reksadana saham Danareksa Mawar Konsumer 10 per Agustus 2015, lima efek saham terbesar yang digarap DIM untuk produk ini berupa TLKM, UNVR, BBCA, BBRI, serta BMRI.
Sayangnya, Prihatmo enggan menjelaskan lebih lanjut rencana racikan portofolio reksadana saham mereka di waktu mendatang. Yang jelas, DIM akan tetap menyesuaikan portofolio mereka dengan perkembangan pasar.
PT BNI Asset Management (BNI-AM) juga melakukan hal serupa. Senior Fund Manager BNI-AM Hanif Mantiq menyebutkan, saham sektor konsumer memang menjadi pilihan saat volatilitas pasar tinggi. Apalagi penurunan harga komoditas akan menurunkan harga bahan baku emiten sehingga dapat mendongkrak margin tahun ini.
“Barang konsumsi tergolong industri defensif yang tahan terhadap gejolak ekonomi dikarenakan tergolong kebutuhan primer,” jelas Hanif.
Selain itu, BNI-AM juga memilih saham dari sektor kesehatan. Alasannya, Frost & Sullivan memprediksi pengeluaran belanja kesehatan di Indonesia akan menggemuk hingga dua kali lipat dari semula US$ 35 miliar di akhir tahun lalu menjadi US$ 69,5 miliar dalam kurun lima tahun. Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan sektor kesehatan.
Sektor keuangan juga menjadi pilihan BNI-AM. Hanif memandang relaksasi kebijakan loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia serta terkoreksinya biaya dana (cost of fund) akan berdampak positif bagi perbankan. “Memang pertumbuhan kredit diperkirakan masih akan tertekan seiring melambatnya perekonomian, tercermin pada penurunan target pertumbuhan kredit atas tiga dari empat bank terbesar nasional,” paparnya.
Penyerapan anggaran belanja dan pembangunan infrastruktur juga mendasari BNI-AM melirik sektor konstruksi seperti semen. Aksi pemerintah yang menggenjot pembangunan infrastruktur akan mengangkat penjualan semen. Sebab, infrastruktur berkontribusi 30% dari penjualan semen.
Mengacu fund fact sheet produk reksadana saham BNI-AM Inspiring Equity Fund per Agustus 2015, untuk sektor konsumer, BNI-AM memilih saham PT Unilever Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur, PT Indofood CBP Sukses Makmur, PT Gudang Garam, PT Siloam International, PT Matahari Putra Prima, PT Kalbe Farma Tbk.
Untuk sektor keuangan, BNI-AM menghimpun saham PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Central Asia, PT Lippo Karawaci, PT Summarecon Agung, PT Bumi Serpong Damai, dan PT Ciputra Development.
Bagi sektor industri, BNI-AM menggarap saham PT Jasa Marga, PT AKR Corporindo, PT Waskita Karya, dan PT Wijaya Karya.
Hanif menuturkan, jika tahun depan perekonomian Indonesia dan kinerja rupiah pulih, maka BNI-AM akan mengalokasikan dananya kembali ke sektor saham yang lebih agresif. “Kalau inflasi turun dan suku bunga acuan BI juga turun, investasi properti, semen, dan perbankan bisa lari kencang sekali tahun depan,” pungkasnya.

Editor: Yudho Winarto.
Bisnis.com, JAKARTA-- Pasar saham yang fluktuatif di sepanjang tahun ini tidak menyurutkan kinerja 116 saham untuk bergerak menguat jika dibandingkan dengan posisi harga (yang telah disesuaikan dengan aksi korporasi yang dilakukan) di akhir 2014.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga 18 September 2015 sebanyak 116 saham harganya menguat, 39 saham tidak mengalami perubahan harga atau bergerak kembali ke level perdagangan di akhir tahun lalu (atau saat mencatatkan saham perdana di 2015), sedangkan harga 365 saham lainnya masih mengalami pelemahan.
Meskipun jumlah saham yang mengalami pelemahan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah saham yang mengalami penguatan, secara persentase nilai saham yang mengalami penguatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai saham yang mengalami pelemahan.
Persentase kenaikan harga 116 saham secara tahunan (year to date) adalah antara 0,43% hingga 302,73%, sedangkan persentase pelemahan 365 saham secara tahunan adalah antara -0,17% hingga -88%. Harga saham terendah adalah Rp50 yang dimiliki oleh 29 emiten, sedangkan harga saham tertinggi adalah Rp335.000.    
JAKARTA. IHSG bergerak menghijau pasca pengumuman penetapan suku bunga The Fed. Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) berpendapat, penguatan indeks akan berlanjut dan kembali menguat.

"Investor sudah mengantisipasi, dampak buruk sudah terjadi, tidak banyak lagi efek yang akan terjadi," ujar Tito Sulistio, Direktur Utama BEI, Jumat (18/9).

Dengan demikian, sentimen lain yang akan mempengaruhi pergerakan indeks selanjutnya berasal dari domestik. Seperti, tingkat belanja pemerintah, gelontoran likuiditas ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate).

Menurut Tito, jika pemerintah bisa menggenjot belanja pemerintah sesuai target, yakni 94%-96% dan Pilkada yang diperkirakan akan menghabiskan dana hingga Rp 250 triliun, IHSG akan merangkak naik. Penguatan IHSG diperkirakan terjadi di Oktober 2015.
Suku bunga
Bersamaan dengan itu, ia berharap, Bank Indonesia akan melakukan pelonggaran dengan menurunkan suku bunga. Dengan asumsi tingkat inflasi 4%, maka selisihnya dibanding BI Rate adalah 3,5%.

"Spread kalau bisa 2% itu bagus, dampak ke pasar modal juga positif," tutur Tito.

Berarti, jika selisih BI Rate dan inflasi 2%, maka BI Rate perlu dipangkas sebesar 1,5%. Lebih lanjut, ia bilang, pihaknya masih tetap akan memberlakukan batasan autoreject bawah sebesar 10% dan meningkatkan pengawasan.

Ia juga akan memastikan tidak ada aksi short selling serta mendorong adanya produk-produk baru.
Samsul Hidayat, Direktur Penilaian Perusahaan BEI menambahkan, investor akan mulai melihat saham-saham berdasarkan fundamental. "Sekarang kan banyak saham-saham yang undervalue," kata dia.
Sehingga, ia optimistis IHSG akan pulih kembali. Pekan depan, pihaknya akan melakukan rapat internal untuk membahas target-target yang bisa dicapai hingga akhir tahun.

Salah satunya adalah target nilai rata-rata transaksi harian. Saat ini, BEI menargetkan nilai rata-rata transaksi harian di kisaran Rp 7 triliun. Namun, saat ini nilai transaksi harian di BEI sekitar Rp 5,83 triliun.
Editor: Hendra Gunawan.
Bisnis.com, JAKARTA-- Investor diperkirakan akan kembali melakukan langkah wait and see, setelah The Fed batal menaikkan suku bunga Amerika Serikat.
Analis Reliance Securities, Lanjar Nafi, mengatakan langkah The Fed tersebut akan memperpanjang kekhawatiran dan ketidakpastian akan suku bunga AS.
Melihat hal itu, dia menilai tidak akan banyak sentimen yang memengaruhi pergerakan pasar pekan depan.
"Sentimen selanjutnya di pekan depan cukup sepi dan yang menjadi fokus investor hanyalah survei indeks kinerja sektor manufaktur di seluruh dunia," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (19/9/2015).
Pada pekan ini, bursa Asia ditutup mixed dengan pelemahan dipimpin oleh indeks saham di Jepang pasca di-downgrade-nya rating surat utang Jepang. Sedangkan indeks saham China dan regional lain naik terbatas.
Lalu, bursa Eropa dibuka turun karena The Fed memutuskan menahan kenaikan suku bunga sehingga memicu kekhawatiran lebih panjang mengenai pertumbuhan dan dampak dari kebijakan tersebut di global.
JAKARTA KONTAN. Selama sepekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak fluktuatif dengan kecenderungan menguat (bullish). Rapat federal open market committee (FOMC) jadi suguhan utama selama sepekan ini.
Selama sepekan IHSG naik 0,45%. Kemudian, pada penutupan perdagangan hari ini Jumat (18/9) IHSG menguat tipis 0,04% ke level 4.380,32.
Achmad Yaki Yamani, Analis Sucorinvest Central Gani, memaparkan di awal pekan IHSG di warnai sentimen positif dari regional dan Eropa.
Kemudian pada hari kamis penguatan disebabkan oleh naiknya harga komoditas minyak, yang membuat saham- saham emiten migas seperti PGAS naik.
Sementara, sembari menunggu hasil putusan The Fed menurutnya pasar cenderung diwarnai optimisme bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga.
“Namun hasilnya ternyata tidak sesuai ekspektasi market,” imbuh Yaki.
Prediksinya sepekan kedepan IHSG berpotensi naik namun terbatas dalam kisaran 4.270 – 4.511. Dengan data-data ekonomi domestik yang sepi minggu depan, market akan berkiblat pada data-data regional, Eropa, dan Amerika Serikat
Muhammad Isfandy, Analis Samuel Sekuritas, mengatakan IHSG mendapat sentimen positif yang signifikan dari momentum pemberian pinjaman oleh China Development Bank kepada tiga Bank BUMN.
Sedangkan, menurutnya market sudah menebak kebijakan apa yang diambil The Fed pada rapat FOMC.
Isfandi memperkirakan seminggu kedepan IHSG dominan bergerak positif dalam rentang 4.269 – 4.511.
Dugaannya rupiah pekan depan dapat rebound lantaran pekan ini sudah sempat mencapai level resistance kuat. Saham-saham properti akan memimpin pergerakan pekan depan.
Editor: Adi Wikanto.
Bisnis.com, JAKARTA - Penundaan kenaikan suku bunga the Federal Reserve memberi lagi ruang bernafas bagi pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia, tetapi tidak pada ekonomi kawasan itu.
Dalam analisisnya, ekonom Deutsche Bank Taimur Baig menunjukkan kebijakan the Fed untuk tetap mempertahankan suku bunga ultrarendah berkaitan lekat dengan ekonomi China.
Sekalipun pertumbuhan AS mendekati potensi, pasar tenaga kerja pulih, dan akselerasi upah tenaga kerja mendekati tujuan, the Fed juga menghadapi tekanan serius investasi akibat kejatuhan harga komoditas, kemungkinan penurunan ekspor dan keuntungan akibat perlambatan negara berkembang pada umumnya dan China pada khususnya, serta tidak ada tekanan inflasi.
Beberapa ingin the Fed menaikkan suku bunga, tetapi fakta menunjukkan ekonomi global tengah menghadapi kerentanan kian parah, yang disebabkan oleh perubahan prematur kebijakan the Fed.
"Sikap bank sentral AS itu sesungguhnya refleksi terus-menerus kelesuan ekonomi global," kata Taimur dalam keterangan tertulis, Jumat (18/9/2015).
Meskipun tanpa krisis, lanjutnya, perlambatan ekonomi China menimbulkan tantangan bagi ekspor dan investasi serta aliran dana ke Asia. Pelemahan kronis ekspor Asia, walaupun ada permintaan positif dari AS dan Uni Eropa, mencerminkan baik pelemahan China maupun negara berkembang lain, khususnya produsen komoditas,  yang bergantung pada Negeri Tirai Bambu.
Taimur melihat akibat aksi jual di pasar keuangan dan tekanan kurs belakangan ini, ruang pelonggaran kebijakan moneter menjadi terbatas meskipun tak ada tekanan inflasi.
"Melihat latar belakang ini, kami melihat risiko pertumbuhan di Asia kian melambat serta tidak ada risiko inflasi berlanjut ke kuartal IV/2015 dan selanjutnya," ujarnya.
Menurut Taimur, hal terbaik yang dapat dilakukan pemerintah negara-negara Asia adalah mendorong permintaan domestik melalui kebijakan fiskal meskipun dampaknya akan kecil dan bersifat jangka menengah.
Di sisi kebijakan moneter, China akan tetap menempuh pelonggaran. India memiliki ruang untuk memangkas suku bunga paling tidak sekali lagi tahun ini. Negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand, barangkali juga bergulat dengan bagaimana mendorong pertumbuhan.

Risiko krisis mata uang yang disebabkan oleh skenario kenaikan suku bunga, seperti Indonesia dan Malaysia, masih sangat jauh, menurut Deutsche Bank. Bank itu memperkirakan Bank Indonesia akan memangkas BI rate pada semester I/2016 jika rupiah stabil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ihsg per tgl 2-17 OKTOBER 2017 (pra BULLISH November-Desember 2017)_01/10/2019

  RIBUAN PERSEN PLUS @ warteg ot B gw (2015-2017) ada yang + BELASAN RIBU PERSEN (Januari 2017-Oktober 2017) kalo bneran, bulan OKTOBER terjadi CRA$H @ IHSG, well, gw malah bakal hepi banget jadi BURUNG PEMAKAN BANGKAI lah ... pasca diOCEHIN BANYAK ANALIS bahwa VALUASI SAHAM ihsg UDA TERLALU MAHAL, mungkin satu-satunya cara memBIKIN VALUASI jadi MURAH adalah LWAT CRA$H, yang tidak tau disebabkan oleh apa (aka secara misterius)... well, aye siap lah :)  analisis RUDYANTO @ krisis ekonomi ULANGAN 1998 @ 2018... TLKM, telekomunikasi Indonesia, maseh ANJLOK neh, gw buru trus! analisis ringan INVESTASI SAHAM PROPERTI 2017-2018 Bisnis.com,  JAKARTA – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini, Selasa (1/10/2019), akan mendapat sentimen positif dari hijaunya indeks saham Eropa dan Amerika Serikat pada perdagangan terakhir bulan September. Berdasarkan data  Reuters , indeks S&P 500 ditutup menguat 0,50 persen di level 2.976,73, indeks Nasdaq Comp

ISU FUNDAMENTAL perbankan: BBRI, bnii (2022) #1

ASIENk: bbri diintai   BBRI: LCS andalan BBRI : wealth management tumbuh 2021: simpanan orang kaya d perbankan BBRI: restrukturisasi debitur turun UMKM: kredit k perbankan +13,3% / Januari 2022 BBRI: hapus buku utanK (2023) BBRI: optimis kredit 2022   BBRI: sasaran akhir 2022 neh BBRI: bermitra solusi teknologi BBRI: bermetaverse   BBRI: buyback lage   BBRI: tren turun harga saham BBRI 2021: LABA bersih d atas bbca BBRI: jadwal dividen 2021 BBRI: kredit tumbuh d 2022 BBRI: kinerja 2022 diekspektasiken lebe bagus   Per Februari 2022, Perbankan Salurkan Kredit Rp5.741,5 Triliun BBRI: rups bakal ganti direksi BBRI: tren harga saham ctak rekor tertinggi BBRI: market cap Rp 867 T BBRI: makin efisien biaya dananya BBRI: brilink Rp 18,2 T BBRI: 3 taon ke depan BBRI: merek yang TOP BBRI: optimistis 2022 BBRI: #1 @ ihsg   BBRI: dividen Rp 174,23 / saham  BBRI: Rp 43 T lebe dibagikan sbagai DIVIDEN final 2022 BBRI: bagi dividen terbesar bwat pemerintah BBRI: laba bersih naek   BBRI: laba bersih

analisis fundamental : ASRI, saham properti (2019-2020, 2021, 2022)

Lunasi Utang, Agung Podomoro Raih Pinjaman dari Guthrie Venture SG$ 172,8 Juta Agung Podomoro Land Jual Central Park untuk Modal Ekspansi Mulai membaik, kinerja sektor properti diprediksi naik 25% di tahun ini Marketing sales Kawasan Industri Jababeka (KIJA) capai Rp 899 miliar di tahun lalu Stok Rumah Membludak, Jakarta Paling Banyak Rekomendasi Saham Properti saat Penjualan CTRA, BSDE, LPKR, PWON Melonjak Kuartal I/2021 Bisnis Properti Asia Pasifik Kuartal I Positif, Tahun Menjanjikan Covid-19 melonjak, Indonesia Property Watch: Pasar properti bisa terkontraksi 5%-10% Fokus Pasar: Industri Properti Tumbuh Positif pada 2022 Jauh dari Jakarta, Apartemen di Bogor dan Tangerang Lebih Berkembang Gara-gara Pandemi, Jakarta Ditinggalkan Konsumen Properti? Pendapatan Emiten Properti Moncer hingga Kuartal III 2021, Siapa Paling Cuan? Menakar Prospek Saham Emiten Properti TAKAR PROPERTI 2023: rekomendasi (2) INFLASI: prospek properti Pasar Properti: bakal tumbuh positif Pajak : disk