Edy Joen investor yang PALING SUKSES dalam 5 taon raup Rp5T dari modal Rp62jt AZA
2 BULAN MENUJU KESTABILAN ihsg 2015
Jakarta detik -Keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang menahan suku bunga membuat dampak positif dan negatif. Beberapa spekulasi makin bermunculan pasca pengumuman The Fed, ada yang memperkirakan suku bunga AS naik tahun ini namun ada juga yang meyakini tahun depan.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute, Destry Damayanti mengatakan soal bunga the Fed yang tidak berubah, dampak negatifnya bagi Indonesia membuat ketidakpastian, namun ada sisi positifnya.
Menurut Destry efek positifnya adalah memberikan waktu untuk BI atau pemerintah untuk fokus membuat kebijakan domestik sehingga tidak dipengaruhi tekanan oleh The Fed.
"Kalau bunga The Fed naik, dalam short time kalau ada gejolak kita bisa duga," kata di acara diskusi Energi Kita ddi Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (20/9/2015).
Ia menambahkan dampak negatifnya adalah ketidakpastian akan timbul, karena ada yang meyakini pada Oktober bunga The Fed akan naik. Namun ada yang meyakini bunga The Fed baru akan naik tahun depan.
"Saya melihatnya nggak mungkin pada 2015 naik, karena Amerika hati-hati dengan situasi ekonomi China yang ekonominya melambat dalam. Sekarang dia (China) sudah all out, menurunkan suku bunga, menurunkan pajak penjualan, PPh segala macam, tapi kurang berhasil," katanya.
Menurutnya dengan melihat ekonomi riil China yang masih melemah ada kemungkinan China terus melakukan depresiasi mata uang untuk mendorong ekspornya. Dampaknya bagi Amerika dan Eropa, barang-barang impornya kurang kompetitif dengan China, saat AS menaikkan suku bunga.
"Amerika bakal mikir, kalau saya naikin bunga , investasi saya pasti kena. Investasi berarti kena ke sisi supply Amerika. Jadi sementara si China ini terus masuk dengan barang yang lebih murah karena ada depresiasi Yuan tersebut. Akhirnya, aku melihat di Amerika ada kemungkinan untuk menggeser lebih lama lagi kenaikan The Fed," katanya.
Ia mengatakan saat ini BI memang masih fokus untuk menekan sisi permintaan (demand) dolar AS dalam mengantisipasi tekanan dari The Fed terkait menjaga rupiah. Misalnya soal pembatasan transaksi dolar AS maksimal US$ 25.000 per bulan di dalam negeri.
"Kami berharap kebijakan ini juga dikembangkan dari sisi supply-nya. Yang dilakukan BI sekarang adalah memperkaya instrumen moneternya. Sekarang belum," katanya.
Selain itu, yang dibutuhkan pelaku bisnis adalah pendalaman di sektor keuangan soal hedging kurs. BI punya salah satu peraturan mengharuskan dunia bisnis yang punya utang luar negeri harus mengamankan 50% utangnya dalam waktu 3 bulan.
"Berarti harus masuk ke hedging, dia harus masuk ke pasar derivatif. Kita tahu utang luar ngeri swasta besar sekali, ada sekitar US$ 195 miliar dan 20%nya dalam jangka waktu 1- 2 tahun, akan besar sekali kebutuhan dolar," katanya.
(hen/hen)
business insider: It was the biggest economic event of the month and nothing happened.
2 BULAN MENUJU KESTABILAN ihsg 2015
Jakarta detik -Keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang menahan suku bunga membuat dampak positif dan negatif. Beberapa spekulasi makin bermunculan pasca pengumuman The Fed, ada yang memperkirakan suku bunga AS naik tahun ini namun ada juga yang meyakini tahun depan.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute, Destry Damayanti mengatakan soal bunga the Fed yang tidak berubah, dampak negatifnya bagi Indonesia membuat ketidakpastian, namun ada sisi positifnya.
Menurut Destry efek positifnya adalah memberikan waktu untuk BI atau pemerintah untuk fokus membuat kebijakan domestik sehingga tidak dipengaruhi tekanan oleh The Fed.
"Kalau bunga The Fed naik, dalam short time kalau ada gejolak kita bisa duga," kata di acara diskusi Energi Kita ddi Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (20/9/2015).
Ia menambahkan dampak negatifnya adalah ketidakpastian akan timbul, karena ada yang meyakini pada Oktober bunga The Fed akan naik. Namun ada yang meyakini bunga The Fed baru akan naik tahun depan.
"Saya melihatnya nggak mungkin pada 2015 naik, karena Amerika hati-hati dengan situasi ekonomi China yang ekonominya melambat dalam. Sekarang dia (China) sudah all out, menurunkan suku bunga, menurunkan pajak penjualan, PPh segala macam, tapi kurang berhasil," katanya.
Menurutnya dengan melihat ekonomi riil China yang masih melemah ada kemungkinan China terus melakukan depresiasi mata uang untuk mendorong ekspornya. Dampaknya bagi Amerika dan Eropa, barang-barang impornya kurang kompetitif dengan China, saat AS menaikkan suku bunga.
"Amerika bakal mikir, kalau saya naikin bunga , investasi saya pasti kena. Investasi berarti kena ke sisi supply Amerika. Jadi sementara si China ini terus masuk dengan barang yang lebih murah karena ada depresiasi Yuan tersebut. Akhirnya, aku melihat di Amerika ada kemungkinan untuk menggeser lebih lama lagi kenaikan The Fed," katanya.
Ia mengatakan saat ini BI memang masih fokus untuk menekan sisi permintaan (demand) dolar AS dalam mengantisipasi tekanan dari The Fed terkait menjaga rupiah. Misalnya soal pembatasan transaksi dolar AS maksimal US$ 25.000 per bulan di dalam negeri.
"Kami berharap kebijakan ini juga dikembangkan dari sisi supply-nya. Yang dilakukan BI sekarang adalah memperkaya instrumen moneternya. Sekarang belum," katanya.
Selain itu, yang dibutuhkan pelaku bisnis adalah pendalaman di sektor keuangan soal hedging kurs. BI punya salah satu peraturan mengharuskan dunia bisnis yang punya utang luar negeri harus mengamankan 50% utangnya dalam waktu 3 bulan.
"Berarti harus masuk ke hedging, dia harus masuk ke pasar derivatif. Kita tahu utang luar ngeri swasta besar sekali, ada sekitar US$ 195 miliar dan 20%nya dalam jangka waktu 1- 2 tahun, akan besar sekali kebutuhan dolar," katanya.
business insider: It was the biggest economic event of the month and nothing happened.
On Thursday, the Federal Reserve kept its benchmark interest rates pegged at 0%-0.25%, where they’ve been since December 2008.
The markets didn’t like it. In the US, both the Dow and S&P 500 closed in negative territory, Japan’s Nikkei was off almost 2% and markets in Europe are almost all red on Friday morning.
Here is what the analysts are saying about it.
Komentar
Posting Komentar